26 siswa Berkebutuhan Khusus (ABK) Ikuti Simulasi Tanggap Bencana

Suasana simulasi tanggap bencana yang juga diikuti siswa berkebutuhan khusus (ABK) di SMPN 28 Surabaya. Simulasi ini merupakan hasil kerjasama SMPN 28 Surabaya dan Dirjen Kemendikbud dalam menciptakan sekolah aman bencana.

Ciptakan Sekolah Aman Bencana Bagi Inklusi
Surabaya, Bhirawa
Sebagai salah satu sekolah yang menerima bantuan pemerintah dalam penerapan Program Sekolah dan Madrasah Aman Bencana, SMPN 28 Surabaya gelar simulasi tanggap bencana yang diikuti 1977 siswa, 160 guru dan karyawan serta 100 orang mulai dari unsur masyarakat yang terdiri dari Linmas, Damkar (pemadam kebakaran, BPBD kota Surabaya) yang terlibat. Pendidikan tanggap bencana ini merupakan hasil kerjasama dengan Dirjen Kemendikbud.
Kepala SMPN 28 Surabaya, Triworo Parnoningrum menjelaskan sebagai salah satu penyelanggara sekolah inklusi yang termasuk lama di Surabaya, pihaknya berkesempatan untuk mengedukasi siswa terkait pentingnya pendidikan bencana. Khususnya, dalam simulasi kebakaran dan gempa bumi.
“Simulasi kebakaran dan becana gempa bumi ini penting dilakukan. Tapi tidak sedikit masyarakat yang masih menganggap remeh adanya simulasi ini. Oleh karena itu kita melakukan pendidikan tanggap bencana ini,”ungkap kepala SMPN 28 yang akrab di sapa Woro ini.
Sebelum dilakukan simulasi, Woro menambahkan jika ada pembekalan simulasi semalam dua minggu. Mulai dari persiapan SOP, pelatihan tanggap bencana, pelatihan penanggulangan bencan hingga pelatihan paska bencana.
Diakui Woro, sebelum dilakukan simulasi besar, pihaknya juga melakukan simulasi dalam kelas kecil yang hanya di ikuti beberapa kelas saja. Kendati demikian, pihaknya sempat mengalami kesukitan ketika sebagian siswa berkebutuhan khusus (ABK) mengalami tantrum karena rasa panik.
“Kita sudah sampaikan ke mereka kalau kita “pura-pura” mengalami bencana. Tapi mungkin mereka melihat teman-temannya berlarian jadi ikutan panik. Selama beberapa hari mereka tantrum dan trauma. Tapi Alhamdulillah kami sudah bisa memulihkan rasa trauma dan menenangkan mereka kembali,” kata Woro.
Pihaknya berharap kedepan para siswa bisa menginformasikan kepada keluarga, masyarakat dan teman-temannya jika pendidikan tanggap bencana penting dilakukan. “Kami harap mereka bisa menginformasikan bagaimana cara melindungi dan menyelamatkan diri ketika terjadi bencana,” tutup dia.
Sementara itu, Kasie Peserta Didik Sekolah Menengah Dinas Pendidikan (Dindik) Kota Surabaya, Heri Setiawan mengungkapkan sebagai salah satu wilayah yang berpotensi terjadi gempa bumi, pihaknya meminta agar masyarakat, maupun sekolah harus siap siaga dengan melakukan pendidikan tanggap bencana.
“Sejauh ini, kita sudah melakukan berbagai sosialisasi di Surabaya untuk pendidikan tanggap bencana. Tapi kadang, sekolah-sekolah juga melakukan simulasi sendiri,” ungkap dia.
Di samping itu, Heri menjelaskan ada sebanyak 25 sekolah dengan layanan inklusi. Namun dalam penerapan tanggap bencana SMPN 28 dipilih untuk menyelenggarakan pendidikan sekolah aman bencana.
“Untuk sekolah dengan layanan inklusi, ini pertama kalinya digelar simulasi besar tanggap bencana. Yah, semoga ini bisa diikuti oleh 25 sekolah dengan layanan inklusi lainnya,” kata dia.

Masyarakat Harus Paham Cara Penyelamatan Diri
Upaya melindungi diri dan menyelamatkan diri dari bencana baik kebakaran maupun gempa bumi rupanya memiliki cara yang berbeda. Hal itu diungkapkan oleh Kasubid Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana dan Linmas kota Surabaya, Nanang Hariadi. Dalam dua kasus tersebut ia mengungkapkan jika masyarakat masih belum faham.dan mengerti cara penyelamatan diri sesuai dengan standart keselamatan. Misalnya ketika terjadi gempa bumi masyarakat justru tidak diperkenankan panik dan lari. Sedangkan dalam kasus kebakaran justru sebaliknya. Masyarakat diminta mencari titik aman untuk berkumpul dan
“Dua kasus ini punya cara penyelematan berbeda. Orang tidak banyak yang tahu soal ini. Dalam kejadian ini, mereka lebih mengutamakan kepanikan dibanding berhati-hati saat melakukan penyelamatan,” ujar dia.
Untuk kasus kebakaran, lanjut Nanang, banyak sekolah di Surabaya yang masih belum mempunyai jalur evakuasi. Sehingga, jika terjadi kebakaran di lingkungan sekolah bisa ditangani dengan aksi cepat tanggap. “Setiap sekolah seharusnya mempunyai jalur evakuasi, harus ada tangga darurat juga apar (alat pemadam api ringan). Melakukan simulasi saja tidak cukup jika tidak dilengkapi jalur evakuasi,” ujar dia.
Sedangkan dalam kasus gempa bumi, lanjut Nanang, masyarakat harus mencari tempat berlindung yang aman dengan posisi tangan melindungi kepala. Pihaknya juga tidak memperkenankan masyarakat untuk berlari. Karena menurut dia hal tersebut justru mengakibatkan resiko yang fatal untuk dirinya.
Siswa kelas 9 SMPN 28 Surabaya Ismawati mengatakan dari simulasi tersebut ia bisa mengetahui cara penyelamatan diri dan melindungi diri dengan benar sesuai. Selain itu, ia juga ingin memberikan informasi kepada keluarga dan masyarakat dilingkungan rumahnya terkait pendidikan tanggap bencana yang ia dapatkan di sekolah. [ina]

Tags: