Achmad Khumaidi, Peraih Gelar Doktor Usia Muda Asal Situbondo

Achmad Khumaidi, doktor muda asal Situbondo saat bersama kedua orang tua, istri dan anak semata wayangnya di rumahnya. [Sawawi]

Agar Kuliah Lancar, Terpaksa Nyambi Menjadi Pembantu Rumah Tangga
Kabupaten Situbondo, Bhirawa
Achmad Khumaidi, tercatat sebagai salah satu mahasiswa peraih gelar doktor berusia muda asal Kota Santri Situbondo. Betapa tidak, diusianya yang kini baru menapaki 30 tahun, Achmad Khumaidi sudah berhasil menyelesaikan gelar bergengsi dalam dunia pendidikan, S3 atau doktor. Gelar ini menjadi suatu harapan dan keinginan sebagian besar mahasiswa atau masyarakat dalam setiap jenjang pendidikan.
Ketika ditemui Bhirawa, Achmad Khumaidi menceritakan, ekonomi keluarganya tergolong kurang mampu. Kondisi memprihatinkan itu tidak menjadi penghalang baginya untuk menorehkan prestasi dibidang pendidikan. Dia bahkan bercita-cita bisa menuntaskan gelar puncak pendidikan akademik yakni doktor.
Dalam pandangan Khumaidi, selagi masih berusia muda, ia harus sukses menyandang gelar doktor. “Awal kisah pendidikan saya ini tidak mulus. Bahkan harus melewati jalan yang terjal. Saya harus jatuh bangun untuk melalui semuanya. Berkat adanya keinginan yang kuat, saya akhirnya berhasil,” ujar Khumaidi.
Masih kata Achmad Khumaidi, untuk memenuhi biaya selama menempuh pendidikan kuliah hingga jenjang S3 ia harus banting tulang siang malam. Buktinya, aku Khumaidi, ketika mulai kuliah S1 di Malang, dia nekat menjadi seorang pembantu rumah tangga (PRT) di salah satu pemilik kost disana. “Kala itu ada seorang pemilik kost mencari seorang pembantu. Begitu ada lowongan pekerjaan itu saya langsung menawarkan diri. Alhamdulillah langsung bekerja,” ucap Khumaidi.
Diawal bertemu dengan pemilik kost, Khumaidi mengaku siap menjadi pembantu rumah tangga dengan mengajukan satu syarat yaitu diperbolehkan ke kampus jika ada jam kuliah. Usulan itu, lanjut Khumaidi, ternyata di setujui pemilik kost untuk bekerja sambil kuliah. “Saya sangat bersyukur karena pemilik kos memenuhi syarat yang saya ajukan. Namun, saya berkomitmen tidak akan pernah meninggalkan pekerjaan sebelum semuanya selesai,” tegas Khumaidi.
Khumaidi membeberkan, sebagai PRT hari harinya dia lalui dengan berbelanja kebutuhan dapur, mencuci piring, menyapu dan membersihkan rumah serta menyirami tanaman. Selain itu, katanya, ia juga harus antar-jemput anak pemilik kos ke sekolahan. Kegiatan rutin itu, menurut Khumaidi, ia jalani dengan ikhlas setiap hari. “Saat saya ke pasar, sempat melewati kampus Universitas Brawijaya (UB). Begitu melintas, saya terbersit ingin bisa diterima di kampus ternama di Kota Dingin itu. Saya selalu berdoa agar bisa melanjutkan program pasca sarjana di universitas tersebut. Doa saya ternyata terkabulkan. Tahun 2013, benar benar menjadi mahasiwa di UB,” ujar Khumaidi.
Lebih jauh Khumaidi menceritakan, diterimanya Kumaidi di UB berkat almamater tempat sebelumnya dia menimba ilmu, pondok pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo memberikan beasiswa untuk kuliah S2. Setelah bulat, urai Khumaidi, dia memilih mendaftar di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FKIP) UB Malang. Setelah menjalani kuliah, ahirnya Khumaidi berhasil diwisuda tahun 2015. “Tahun 2017, saya mencoba kembali mendaftar pada program Doktor FPIK UB melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPP-DN) Kemenristekdikti. Di tingkat universitas ini saya juga dinyatakan lulus,” kenang Khumaidi.
Ditengah perjalanan, Khumidi sedikit menemui kendala karena saat memulai pendidikan di jenjang S3 harus membayar uang kuliah tunggal (UKT) sebesar Rp 10 juta. Itu terjadi, tutur Khumaidi, karena SK penetapan penerima beasiswa dari Kemenristekdikti tidak segera turun. Dengan berbagai cara, tutur Khumaidi, ia mencari solusi. “Saya harus mencari pinjaman uang kemana-mana untuk bisa membayar UKT. Setelah sebulan menjalani kuliah, saya sempat berpikir untuk berhenti. Sebab nama saya di SK penetapan Beasiswa BPP-DN Kemenristekdikti tidak muncul. Selanjutnya saya mengabari istri dan kedua orang tua karena tidak mendapatkan beasiswa,” katanya.
Kabar kurang enak itu justeru tidak mengecilkan hati istri dan kedua orang tua Achmad Khumaidi. Mereka malah memberikan semangat kepada Khumaidi agar terus melanjutkan kuliah S3. Salah satu solusinya justeru datang dari sang istri Khumaidi, Rusmiyati. Belahan hati Khumaidi itu bersedia menjual barang-barang miliknya yang ada di rumah. Bahkan tanah yang dimiliki pun ikut dijual Rusmiyati demi memenuhi biaya kuliah Khumaidi. Berkat dorongan istri dan kedua orang tua ity, Khumaidi semakin bersemangat menuntaskan pendidikannya. “Berbagai usaha kami lakukan agar kuliah S3 bisa cepat selesai. Alhamdulillah tepat 19 Juni 2020 berhasil lulus ujian disertasi. Saat ini saya hanya menunggu prosesi yudisium saja,” tegas Khumaidi.
Rismiyati, isteri Akhmad Khumaidi menimpali, orang tua Khumaidi hanya bekerja sebagai satpam di ponpes Salafiyah Syaf’iyah Sukorejo Situbondo. Di samping itu, aku dia, mertuanya itu juga nyambi sebagai tukang becak. Suaminya, lanjut Rusmiyati, mengawali sejak pendidikan sekolah dasar hingga diploma di pesantren terbesar di Situbondo tersebut. Bahkan, ulasnya, Khumaidi menjadi dosen di pondok pesantren asuhan KHR Azaim Ibrahimy itu. “Ya sempat menjadi dosen di pesantren tersebut,” papar Rusmiyati.
Sebagai isteri Khumiadi, Rusmiyati mengaku sangat bangga karena orang yang dia cintai mampu menyelesaikan jenjang S3. Kata dia, kesuksesan suaminya itu didapat berkat pertolongan Sang Ilahi serta adanya dukungan dari orang tua dan keluarga. “Berkat adanya do’a dari orang tua dan para guru, alhamdulillah suami saya (Achmad Khumaidi, Red) bisa selesai jenjang kuliah S3-nya,” pungkas Rusmiyati. [Sawawi]

Tags: