Ambruknya Fungsi Partai Politik

asi-sakinahOleh :
Asi Sakina
Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMM, Aktivis Pecinta Riset dan Menulis-Pers Malang
Persaingan antar partai politik mulai terlihat mendekati pemilu 2014 ini. Berbagai partai politik mulai berkoar terang-terangan melakukan sosialisasi sedikit demi sedikit guna mengambil hati masyarakat. Akan tetapi, kampanye yang dilakukan tidak menawarkan suatu wacana politik, hanya menampakkan hingar bingar kampanye semata.
Parahnya lagi para petinggi parpol tak segan-segan saling menjatuhkan satu sama lain. Berbagai cara pun mereka lakukan untuk mendapat kekuasaan mulai dari money politics yang dapat kita lihat dalam pemilihan bupati, gubernur dan juga kepala desa yang diakhir tahun 2013 kemarin baru dilaksanakan, hingga komentar tak pantas pun keluar dari mulut para calon pemimpin bangsa kita ini.
Sangat disayangkan sekali jika negara kita ini harus dipimpin oleh orang yang tidak bermoral dan beretika seperti mereka. Dan nampak sekali partai politik bukannya melakukan suatu usaha pendewasaan politik akan tetapi yang terjadi justru sebaliknya, pembodohan politik terhadap masyarakat.
Posisi partai politik yang dikenal sebagai pilar demokrasi terkesan begitu jauh dari pengolahan yang demokratis. Di Indonesia, semua parpol cenderung dikuasai elite-elite politik saja. Hal itu diungkapkan Ramlan Surbakti dan Didik Supriyanto dalam buku “Mendorong Demokratisasi Internal Parpol” yang mengutip Robert Michels.
Menurut Michels, Organisasi besar dan rumit seperti parpol cenderung dikelola secara oligarki dan lebih melayani kepentingan sendiri ketimbang kepentingan organisasi. Pengelolaan yang didominasi sekelompok kecil elite awalnya dibuat untuk mengefektifkan pengambilan keputusan. Namun, dalam praktiknya pemimpinlah yang mengontrol para anggota.
Menurut pandangan saya, partai politik saat ini sudah benar-benar keluar dari fungsinya. Partai politik seharusnya bisa dipimpin oleh generasi muda yang lebih luas pemikirannya. Bukan seperti sekarang, partai politik memang memasukkan generasi muda dalam kepengurusan akan tetapi para pemimpin terdahulu masih menancapkan kukunya dalam-dalam dan mengendalikan semuanya dari belakang. Sebenarnya bukan ini yang kami ingin sebagai generasi muda, kami ingin bisa dipercaya dalam memimpin bangsa ini. Karena pengalaman akan tercipta jika saja para pemimpin terdahulu memberikan sedikit ruang bagi generasi muda untuk berperan langsung dalam dinamika politik.
Terlepas dari semua itu, usia partai-partai politik yang ada di Indonesia yang cenderung masih tergolong muda juga menjadi masalah sehingga membutuhkan waktu yang lama untuk mematangkan dan menguatkan struktur dan infrastruktur agar dapat merealisasikan fungsi-fungsi partai politik tersebut. Juga ideologi partai yang masih kurang matang dan terorganisir, tidak seperti pada zamannya Bung Karno yang memiliki ideologi Marhaenisme untuk memajukan kaum Marhaen atau rakyat kecil. Karena dengan ideologi tersebut gerakan yang dilakukan lebih terarah. Lain halnya dengan partai-partai politik sekarang yang cenderung bertindak secara emosional dan reaktif.
Menilik lagi dari fungsi yang dijalani parpol begitu banyak penyimpangan yang telah dilakukan, salah satunya banyaknya para kader parpol yang terjerat kasus korupsi. Bahkan tidak kira-kira korupsi yang dilakukan begitu mengejutkan dan sangat merugikan negera. Salah satu parpol yang begitu disorot media adalah Demokrat. Beberapa kader Demokrat yang menjadi tersangka korupsi adalah Amrun Daulay, tersangka dugaan korupsi dalam pengadaan mesin jahit dan sapi impor senilai Rp 25 miliar. Nazaruddin, tersangka dalam kasus dugaan suap pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang, Sumatera Selatan, dengan nilai proyek mencapai Rp 191 miliar. Angielina Sondakh, Korupsi Pada pembangunan Wisma Atlet serta di Kementrian pendidikan (Sumber: Koruptor Indonesia.com). Slogan anti korupsi yang menjadi tagline partai besutan SBY tersebut pun tak mampu mengilhami para kadernya. Elektabilitas Demokrat pun susut partai ini makin limbung.
Fungsi partai politik benar-benar sudah tidak bisa dijalankan. Namun tidak Demokrat saja berbagai kader partai politik besar lain pun juga ikut terseret dalam kasus korupsi. Kepercayaan masyarakat kepada petinggi parpol juga semakin menurun dengan ambruknya fungsi partai politik yang kita lihat sekarang ini. Sepertinya sudah tidak ada lagi pemimpin yang benar-benar dapat menyongsong masyarakat. Para pemimpin yang disuguhkan oleh partai politik sudah tidak sesuai dengan harapan masyarakat kita. Tak dapat dipungkiri masyarakat pun mulai dihantui kecemasan dalam memilih pemimpin yang baik di tahun 2014 ini. Pemimpin yang ideal belum dapat kita temui. Pemimpin yang beretika dan bermoral masih jauh sekali, melihat tindakan para pemimpin bangsa kita.
Menurut saya, sebenarnya begitu banyak pemimpin bangsa ini yang dapat memajukan negara Indonesia. Akan tetapi, kurangnya moral yang dimiliki para pemimpin ini justru membuat Indonesia semakin merosot kebelakang. Partai politik sebagai pintu masuknya kekuasaan politik seharusnya bisa berperan aktif dalam menjalankan fungsinya. Tidak menyimpang seperti sekarang ini karena untuk memajukan bangsa ini kita harus memiliki pemimpin yang ideal. Ideal dalam arti dapat mengatur masyarakatnya dan dapat mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi serta memiliki etika dan moral sehingga bisa mencegahnya melakukan berbagai tindakan penyimpangan.
Akhirnya, haruskah kita membatasi jumlah partai politik di Indonesia?. Sehingga pemilihan umum bisa terealisasikan secara lebih aman tanpa ada perebutan kekuasaan yang berlebihan seperti sekarang ini. Demokrasi yang dianut Indonesia pun seperti sudah tidak dihiraukan maknanya oleh para aktivis partai politik. Penyimpangan yang mereka lakukan pun sudah diluar kendali dalam memuaskan kepuasaan kepenguasaannya. Entah siapa yang bakal menjadi pemimpin bangsa kita selanjutnya, kita berharap dapat mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dan membuatnya lebih baik lagi.

Rate this article!
Tags: