Badai Pandemi Pasti Berlalu

(Jihad “Sabar Di Rumah” Melawan Virus Corona)
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Oenggiat Dakwah Sosial Politik
Seluruh aktifitas kehidupan dunia bagai terpuruk, digempur pandemi global virus corona. Perekonomian (industri dan perdagangan), dan tata hubungan sosial mengalami distorsi paling dahsyat sepanjang sejarah. Melebihi dampak Perang Dunia II (tahun 1939 – 1945). Seluruh negara-negara di dunia menyatakan “takluk” terhadap CoViD-19. Negara maju, seperti Amerika, Jerman, dan Inggris, takluk di-wabahi virus corona. IMF (International Monetary Fund, Dana Moneter Internasional) mewaspadai CoViD-19 sebagai pemicu resesi global.
Di Jerman, tercatat hampir 10 ribu kasus positif virus corona dalam sehari! Sampai diberlakukan “social distancing” ketat. Seluruh restoran hanya melayani pesanan antar, tidak dimakan di tempat. Tentara dan Kepolisian dikerahkan menghalau kerumunan orang yang lebih dari dua orang. Sekarang WHO (World Health Organisation) sangat khawatir, Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menjadi epicentrum pe-wabah-an CoViD-19. Pe-wabah-an melonjak sangat cepat melebihi kawasan Asia.
Masih banyak pejabat tinggi di Eropa dan AS, serasa percaya tak percaya terhadap wabah virus corona. Sudah dinyatakan lockdown, tetapi masyarakatnya masih suka berkerumun di taman kota. Padahal di AS angkanya cukup fantastis, mencapai 85 ribu kasus positif CoViD-19. Sehari bertambah 17.100-an kasus baru! Di New Yorka saja, dalam sehari terdapat korban jiwa sebanyak 100 orang per-hari. Ada juga yang sembuh, sebanyak 295 orang.
Presiden AS Donald Trump, galau, membandingkannya dengan penyakit flu. Ribuan kasus, tetapi tidak pernah terjadi lockdown. Juga banyak korban kecelakaan dengan berkendaraan, tetapi tidak pernah meminta perusahaan kendaraan berhenti produksi mobil. Namun akhirnya, Trump memilih ada “hari doa nasional.” Dalam akun twitter-nya, bahwa “manusia perlu berserah diri pada Tuhan di tengah wabah.”
“… We are a Country that, throughout our history, has looked to God for protection and strength in times like these … .” Pemerintah AS bakal menggelontor anggaran sebesar US$ 50 milyar (sekarang setara Rp 823 trilyun) untuk mengobati pandemi CoViD-19. Trump berharap, seluruh kawasan AS akan kembali “terbuka bebas” pada jelang perayaan Paskah (10 April 2020). WHO mengkhawatirkan AS bisa menjadi epicentrum baru wabah CoViD-19, disebabkan masyarakatnya meng-anggap sepele wabah virus corona.
Hal yang sama (meremehkan wabah CoViD-19) juga terjadi di Eropa. Suspect positif virus corona di Inggris tercatat 8.000 kasus, dengan angka kematian sebanyak 422 orang (prevalensi 5,22%). Dua hari setelah ditetapkan lockdown, malah terjadi pelonjakan kasus. Koran Daily Mail mencatat, semula 54 orang per-hari, menjadi 87 orang terinfeksi (pada Selasa, 24 Maret 2020). Pewaris utama tahta kerajaan Inggris, Pangeran Charles, telah positif CoViD-19. Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson, juga positif terjangkit CoViD-19.
Terdepan Lawan CoViD-19
Di Eropa, dan AS, seluruh bar, restoran dan tempat hiburan malam tutup operasional. Spanyol, Perancis, Inggris, dan Italia, sudah me-lockdown beberapa kota metropolitan. Begitu pula mega-politan New York City telah di-lockdown, karena menjadi epicentrum wabah terbanyak. Serta “kota judi” Las Vegas ditutup. Sebelumnya, negara bagian California juga di-lockdown. Sekitar 40 juta penduduk California, diminta tinggal di rumah, sebagai social distancing yang ketat.
Bahkan Donald Trump telah meminta bantuan China, Indonesia, dan Korea Selatan, mengirim obat-obatan, dan peralatan medis. Terutama alat pemeriksaan (Rapid test) CoViD-19. Korea Selatan dinilai WHO sukses “mengendalikan” penambahan suspect virus corona melalui rapid test (uji cepat), sambil drive thru. Di Korea Selatan, tidak perlu lockdown. Partisipasi masyarakat dengan sukarela memeriksakan diri, menjadi kunci keberhasilan. Hasilnya, yang sakit (sedang dan parah) segera dikarantina. Sedangkan gejala ringan diminta meng-isolasi di rumah.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan produksi chloroquine terbesar di dunia. Chloroquine diproduksi oleh BUMN (PT Kimia Farma Tbk). Sejak lama digunakan sebagai obat utama malaria. Namun pada kasus positif corona, chloroquine bukan obat utama. Melainkan secondline, karena obat anti virus corona belum ditemukan di seluruh dunia. Di beberapa negara (China, Korea Selatan, dan Jepang) pemberian chloroquine ternyata cocok. Banyak yang membaik dan sembuh.
Indonesia memiliki persediaan chloroquine sebanyak 3 juta tablet. Walau tergolong obat generik yang dijual bebas di apotek, tetapi merupakan “obat keras.” Membelinya harus dengan resep dokter secara ketat). Digunakan mengobati pasien positif corona kategori sedang dan berat. Di pedesaan yang jauh dari jangkauan tenaga medis, masyarakat mengkonsumsi tanaman obat (herbal). Jahe, kunyit, dan sereh dalam minuman. Serta bawang merah (lebih banyak) dalam menu masakan.
Masyarakat Indonesia melaksanakan social distancing (diikuti phisical distancing) secara ketat. Sampai disarankan tidak melaksanakan shalat Jumat (pada daerah wabah) juga direspons positif. Masjid negara Istiqlal di Jakarta, juga meniadakan shalat Jumat, selama dua pekan. Ini pertama kali dalam sejarah ke-masjid-an (selama 75 tahun), sejak lepas perang kemerdekaan, November tahun 1945. Saat itu diumumkan “perang jihad” fi sabilillah melalui resolusi ulama NU (Nahdlatul Ulama).
Sejak 3 November 1945 masjid-masjid sepi, ditinggal jamaahnya berperang. Bahkan tidak terdengar adzan pada waktu-waktu shalat. Sebagian masjid ditinggal ustadz-nya mengungsi. Karena Surabaya di-bombardir tentara Sekutu, dari udara (dengan pesawat pengebom), dan darat melalui meriam. Intelijen juga keluyuran mencari senjata api yang dikuasai rakyat (pejuang kemerdekaan).
Jihad Ibadah di Rumah
Hari perang Surabaya (10 November) merupakan “buah” dari perkumpulan ulama NU di Surabaya (21- 22 Oktober 1945). Yakni, pernyataan “Resolusi Jihad” oleh kalangan Ulama se-Jawa dan Madura. Resolusi diberitakan koran harian Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, edisi, Jumat Legi, 26 Oktober 1945. Karena keterbatasan sarana komunikasi saat itu, berita tentang Resolusi Jihad, baru diterbitkan setelah ulama Yogyakarta pulang dari Surabaya.
Resolusi Jihad pada klausul “Mengingat,” terdapat tiga kondisi riil yang menjadi pertimbangan. Secara tekstual dinyatakan, “Bahwa oleh pihak Belanda (NICA) dan Jepang yang datang dan berada di sini telah banyak sekali dijalankan banyak kejahatan dan kekejaman yang mengganggu ketenteraman umum.” Resolusi berpuncak pada klausul “memutuskan,” dengan menyatakan, “… melanjutkan perjuangan bersifat “sabilillah” untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.”
Saat ini, seluruh rakyat Indonesia sedang ber-jihad melawan virus corona. Perlawanan dipimpin oleh Presiden RI Jokowi, dilaksanakan oleh BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Melawan CoViD-19, berpatokan pada dua undang-undang (UU) sekaligus. Yakni, UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Serta UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Kedua undang-undang (UU) memberi kewenangan pemerintah menjalin hubungan internasional. Termasuk bantuan negara sahabat. Pemerintah juga telah melaksanakan protokol ke-karantina-an, berupa “social distancing.” Mengurangi kumpulan yang melibatkan banyak orang. Rekomendasi utama berupa kegiatan di rumah. Proses belajar (sekolah), bekerja, dan ber-ibadah, semua dilakukan di rumah. Sekolah ditutup sementara, termasuk pondok pesantren.
Sekitar satu juta santri yang tersebar di 6.600 pondok pesantren se-Jawa Timur, dipulangkan lebih awal. Ada yang disusul orangtua. Ada pula yang diantar petugas pesantren hingga terminal bus, dan bandara. Ini sekaligus melaksanakan libur akhiris-sanah (akhir tahun ajaran) lebih awal. Sesuai anjuran pemerintah melaksanakan proses belajar di rumah masing-masing.
Tidak mudah memulangkan santri. Karena peserta didik di pesantren bukan hanya lintas kabupaten dan kota. Melainkan juga lintas propinsi. Bahkan lintas negara. Di Jawa Timur tercatat hampir seribu santri dari luar negeri. Terutama dari Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina, Vietnam, dan Jepang. Bahkan ada yang dari Eropa, Australia, jazirah Arab, serta Amerika (dan Kanada).
Seluruh pondok pesantren melakukan social distancing. Seluruh santri diliburkan lebih panjang sebagai antisipasi pe-wabah-an virus corona. Pesantren sudah lengang. Adzan panggilan shalat fardlu (lima waktu) tetap dilakukan, namun shalat hanya diikuti kalangan asatidz (guru) yang menetap di pesantren. Juga warga sekitar pesantren.
Ulama, kyai, ustadz, dan segenap santri, kukuh melaksanakan social distancing, bagai resolusi jihad. Santri pulang ke kampung halaman, sembari mengajarkan “titipan” doa-doa (dari ulama). Serta menulis rajah (tulisan warning terhadap makhluk ghaib wabah). Diyakini, wabah virus sebagai makhluk hidup yang bisa muncul sesuai suasana. Haqqul yaqin pula, tidak ada wabah tanpa akhir.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: