Batik Colet Jatipelem, Batik Khas Jombang

Batik Colet dari Desa Jatipelem, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang. [Arif Yulianto]

Pemasaran Memanfaatkan Medsos dan Sistem Getok Tular
Kab Jombang, Bhirawa
Hampir semua daerah di Indonesia memiliki motif batik yang berbeda, misalnya batik Yogjakarta berbeda dengan Solo ataupu n Pekalongan. Demikian juga di Jatim, batik Madura pasti memiliki corak maupun warna berbeda dengan Tulungagung, Trenggalek maupun Jombang. Kondisi inilah yang membuat daerah terus mempromosikan produk batiknya agar bisa dikenal di masyarakat.
Jika berbicara tentang batik, kebanyakan orang terbayang dengan nama kota penghasil batik seperti Solo dan Pekalongan. Namun sebenarnya di Jombang juga ada industri rumahan pembuat batik dan hasilnya tidak kalah dari batik asal dua kota tersebut. Batik ini dari Desa Jatipelem, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang.
Sejak memulai usaha pada tahun 2010 lalu, Sutrisno, pemilik industri rumahan batik colet sudah memakan asam garam menjalankan usaha ini. Dari mulai merintis, memproduksi kemudan mengenalkan hingga saat ini sudah banyak masyarakat di luar Jombang tertarik dengan hasil karyanya.
Ditemui di kediamannya, pria berusia 50 tahun itu mengatakan kalau industri rumahan miliknya membuat tiga macam batik. Yakni, batik tulis, batik cap serta batik semi cap – tulis. Sedangkan untuk lama pembuatannya, lanjut Sutrisno, tiga jenis batik ini memang memiliki perbedaan. Pembuatan batik lukis menjadi yang terlama, proses pembuatan batik tulis membutuhkan waktu paling cepat dua minggu. Kemudian batik cap membutuhkan waktu sekitar 1 minggu. Untuk batik semi cap – tulis hampir dua minggu. Lamanya pembuatan batik tulis karena prosesnya dilakukan dengan serba manual.
“Mulai dari pembuatan motif dilakukan satu per satu, mencanting yang cukup lama, mewarnai, membersihkan sisa-sisa warna hingga finishing dilakukan dengan sangat hat-hati. Sedangkan pembuatan batik cap, proses canting diganti dengan mengecap dengan menggunakan sebuah alat cap,” terang Sutrisno.
Kendati memiliki perbedaan dalam proses pembuatan, Sutrisno menjamin jika kualitas batik tetap sama. “Ya memang kalau batik lukis memang kadang hasil motifnya tidak sama, dalam hal ini tidak simetris,” urainya.
Sedangkan untuk bahhnya, kain yang paling banyak digunakan adalah jenis kain sutra, dengan kisaran harga mulai Rp 100 ribu hingga Rp1,2 juta. Untuk motif yang di buat menyesuaikan dengan keinginan pembeli. Apabila pembeli mempunyai motif sendiri, proses produksi dilakukan setiap saat. Selain dijual dalam bentuk kain, ia juga menjual dalam bentuk pakaian jadi dengan mematok harga ratusan hingga 1,4 juta rupiah. “Membuat batik dibantu enam karyawan,” katanya.
Saat disinggung mengenai sistema pemasaran, Sutrisno mengatakan kalau produksi batiknya sudah banyak dipesan oleh konsumen dari dalam maupun luar Jombang. Untuk luar Jombang ia memanfaatkan sosial media (medsos), sedangkan untuk warga Jombang cukup dengan sistem getok tular (dari mulut ke mulut).
“Sekarang pemasaran sudah sampai luar daerah. Untuk pemasaran luar daerah saya menggunakan media sosial (medsos) dan kalau pemasaran di Jombang ini cukup secara getok tular atau dari mulut ke mulut saja. Ada yang pesan untuk seragam, ada yang dijual ulang, untuk oleh-oleh juga,” paparnya.
Sementara untuk urusan harga batik, Sutrisno mengaku jika harga tergantung dengan tingkat kesulitan pembuatan. Untuk batik tulis, per kain dihargai sekitar Rp 250 ribu. Untuk harga batik cap cenderung lebih murah yakni sekitar Rp 160 ribu. Sementara, untuk batik semi cap – tulis dihargai sidikit lebih murah dari batik tulis yakni, Rp 200 ribu. [Arif Yulianto]

Tags: