Berburu Subsidi Pendidikan

Subsidi, selalu diburu berbahai pihak sebagai tambang dana segar, tak terkecuali pada ormas kependidikan. “Subsidi” terutama dipungut dari orangtua murid, sehingga biaya sekolah terasa mahal. Paradigma pengelolaan lembaga pendidikan telah bergeser, yang semula wadah sosial menjadi bagai usaha komersial. Kini perburuan dana hibah kependidikan juga diikuti “ormas” milik perusahaan swasta (konglomerat) nasional.

Kementerian Pendidikan seyogianya waspada terhadap “ormas” abal-abal. Karena dana hibah bisa menggusur partisipasi ormas kependidikan yang selama puluhan tahun berjuang memajukan pendidikan nasional. Kementerian Koordinator PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan), dan Kemenkopolhukam dapat membatalkan pelaksanaan hibah POP (Program Ormas Penggerak). Begitu pula Kementerian Keuangan bisa membekukan anggaran dana hibah POP manakala tidak tepat sasaran.

POP merupakan kegiatan peningkatan kompetensi pendidikan dan tenaga kependidikan yang dilakukan oleh ormas. Subsidinya berupa dana hibah sebesar Rp 595 milyar. Konon seleksi calon penerima hibah dilakukan pihak ketiga bidang riset. Tetapi hasilnya, banyak ormas abal-abal bisa memperoleh dana hibah. Juga “ormas” milik perusahaan swasta nasional yang pernah tersangkut kasus hukum penggelapan pajak. Mahkamah Agung (MA) menjatuhkan vonis pidana, serta denda sebesar Rp 1,3 trilyun.

Dana hibah POP, berdasar definisinya, diberikan kepada ormas (organisasi kemasyarakatan) penggerak. Sangat aneh manakala ormas “sayap” badan usaha komersial swasta turut memperoleh dana hibah. Ormas yang lolos seleksi akan dikucuri anggaran, sesuai kualifikasi. Yakni, ormas sebesar Rp 20 milyar, ormas menengah diberi hibah Rp 5 milyar, dan ormas kecil sebesar Rp 1 milyar. Daftar ormas calon penerima dana hibah POP disahkan oleh Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan.

Sangat janggal, manakala ormas “sayap” perusahaan konglomerat bisa memperoleh dana hibah pendidikan. Karena lazimnya ormas “sayap” telah menerima subsidi dari perusahaan secara akuntantif internal. Kucuran perusahaan terhadap ormas “sayap” juga diperhitungkan dengan keringanan pajak. Sekaligus sebagai kewajiban pelaksanaan CSR (Corporate Social Responsibilty) tanggungjawab sosial perusahaan.

Maka seharusnya “haram” meminta dana pemerintah (dan daerah). Sehingga anggaran hibah pemerintah (bersumber APBN dan APBD) tidak boleh diberikan kepada ormas “sayap” perusahaan. Akan menjadi kasus hukum manakala perusahaan telah menerima pengurangan pajak, sedangkan ormas “sayap” memperoleh subsidi hibah pemerintah. Dapat bermakna perusahaan menerima dua kali keringanan pajak. Berpotensi konsekuensi hukum tindak pidana korupsi.

Pendidikan diamanatkan dalam konstitusi sebagai kewajiban pemerintah. UUD pasal 31 ayat (3) menyatakan, “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa … .” Berdasar konstitusi, visi pendidikan bukan komersial. Melainkan “meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia.” Nyata-nyata diamanatkan beraltar keagamaan (iman dan takwa).

Begitu dalam UU Nomor 20 tahun tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, altar spiritual keagamaan dan ketakwaan, diulang-ulang. Yakni dalam pasal 1 (Ketentuan Umum) angka ke-1, pasal 3, dan pasal 4. Maka wajar ormas keagamaan (antaralain NU, dan Muhammadiyah) juga meng-utamakan kinerja pendidikan. Serta ormas keagamaan Katolik, dan Kristen Protestan, juga memiliki lembaga sekolah sangat banyak.

Seharusnya Kemendikbud meng-utamakan ormas keagamaan memperoleh dana hibah POP. Kemendikbud juga tidak perlu “membayar” pihak ketiga melakukan assesmen penerima POP, karena Ditjen Guru dan Tenaga Kependidikan, telah memiliki catatan dan data ormas pendidikan. Maka pemberian dana hibah POP kepada ormas “sayap” konglomerat perusahaan swasta merupakan “keganjilan.”

Kegaduhan dana penyalkuran dana hibah POP patut diselidiki seksama penegak hukum, tidak menjadi pembiaran negara.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: