Berganti Profesi

Oleh :
Luhur Satya Pambudi

Semula tidak mudah bagiku untuk meyakinkan kekasihku maupun kedua orangtuanya bahwa bekerja di bidang yang kutekuni selama ini memiliki masa depan gemilang. Begitu mereka melihatku mampu memperbaiki rumah orangtuaku dan membeli sebuah sepeda motor baru yang sanggup kubayar tunai, mereka pun mulai percaya dan tak lagi meragukanku. Maka secara resmi kulamar Rafika sesudah hampir dua tahun kami berpacaran. Tanggal akad nikah sekaligus resepsi sudah ditentukan, yaitu sesudah Lebaran. Saat itu kompetisi liga sedang diistirahatkan, sehingga hanya perlu kuminta izin cuti sedikit hari. Namun, apa yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Organisasi tempatku bernaung dibekukan sang menteri dan aktivitas sepak bola nasional mengalami mati suri. Padahal aku sudah mengalokasikan gajiku dalam semusim untuk memenuhi awal kebutuhan hidupku bersama istri setelah menikah nanti.

“Bagaimana rencana pernikahan kita, Mas? Apakah akan tetap dilanjutkan, sementara sekarang kau tidak memiliki pekerjaan?” tanya Rafika yang mulai resah.

“Aku tak tahu mesti melakukan apa. Memang masih kumiliki tabungan, tapi itu kupergunakan untuk mempersiapkan tempat tinggal kita nanti. Lantas, bagaimana kupenuhi keperluan hidup kita selanjutnya, sementara perseteruan para penguasa entah kapan berakhirnya?” keluhku.

Kami pun meminta pendapat orangtuaku maupun kandidat mertuaku. Bapak dan ibuku meminta agar rencana kami tetap dijalankan. Mereka siap sedia membantuku semampunya yang lambat laun mengalami kesulitan secara materiil karena musibah yang mendera kehidupan sepak bola di tanah air. Aku dan Rafika kemudian menghadap orangtua bakal istriku untuk berkonsultasi lagi.

“Kalian tetaplah menikah pada waktu yang sudah ditentukan. Bapak dan Ibu tidak keberatan jika harus mengurangi jumlah tamu undangan dan akomodasi, sehingga sisa anggarannya bisa kalian manfaatkan untuk menjalani saat awal pernikahan,” ucap calon bapak mertuaku.

“Terima kasih atas pengertian yang besar dari Bapak dan Ibu,” kataku rada lega.

Menjadi pemain sepak bola profesional adalah cita-citaku semenjak bocah. Dengan segala perjuangan keras, kujalani proses yang panjang dengan segala lelikuannya demi hal itu. Hasratku mengikuti jejak idolaku, seperti : Widodo Cahyono Putro, Aji Santoso, Bima Sakti, dan Kurniawan Dwi Julianto. Dalam dua tahun terakhir aku sudah mulai mewujudkannya, biarpun belum sampai dipanggil tim nasional. Tentu kusyukuri sanggup melangkah sejauh ini, tapi apa dayaku ketika kenyataan buruk menimpa kami sebagai insan sepak bola. Aku tak bisa mengikuti jalan pikiran sang menteri yang menghalangi kami berkarya. Terus terang, tak kupahami soal pengaturan skor yang konon melibatkan sejumlah pemain. Di tempatku bekerja, aku hanya mendapatkan rezeki halal dari gaji bulanan dan bonus kemenangan. Bisa jadi keputusan penguasa itu mampu membuat mereka yang bekerja kotor kehilangan penghasilan, tapi mengapa kami yang bekerja bersih mesti ikut menanggung akibatnya? Sekian bulan berlalu tanpa perubahan apa-apa. Saldo tabunganku kian menipis. Aku nyaris putus asa melihat kondisi yang ada.

Aku dan Rafika tetap jadi menikah. Terang saja kurasakan kebahagiaan tiada tara. Segala duka pun menyingkir untuk sementara. Rencana kami semula, istriku akan mengikuti diriku yang bekerja di lain kota. Sudah kupersiapkan rumah sewaan yang cukup nyaman bagi kami berdua. Namun, ketika kontrakku sebagai pemain sudah diputus pihak klub yang menghentikan aktivitasnya, maka batallah rencana itu. Kami pun tinggal di rumah orangtuaku setelah menikah dan tak pergi ke mana-mana. Ketimbang tidak mendapat penghasilan selama berbulan-bulan, aku sudi melakukan apa saja. Berkat bantuan dari adikku, aku bisa bekerja di tempatnya dengan menjadi sopir mobil sewaan, biarpun hanya menjadi cadangan. Maka sang pemain sepak bola kini resmi berganti profesi.

Kucoba menikmati belaka pengalaman berbeda dengan duduk terpaku di belakang kemudi, melakukan perjalanan demi perjalanan, dan menjumpai banyak orang baru dalam hidupku. Paling tidak, aku tak berpangku tangan semata dan tak sempat bermuram durja lagi. Biarlah kulupakan sejenak cita-cita masa kecilku dan sesuatu yang kucintai sejak dahulu. Memang sedih nian rasanya mesti memutus begitu saja kisah panjangku sebagai seorang olah ragawan profesional yang selama ini membuatku begitu percaya diri dan mampu hidup mandiri. Namun, satu hal paling signifikan yang tak boleh dilupakan, aku telah menunjukkan tanggung jawabku dalam menghidupi rumah tangga yang baru belum lama mulai kuanyam bersama Rafika. Kendati untuk sementara aku terpaksa melakukan sesuatu di luar idealismeku selama ini.

Kudengar kabar bahwa sejumlah temanku mulai bisa kembali bermain sepak bola di pertandingan tarkam. Jika dalam sebulan bisa tampil lima sampai enam kali, hasilnya mungkin hanya setara dengan separuh gaji bulanan sebagai pemain profesional. Namun, bagi mereka lebih baik seperti itu ketimbang total menganggur dan tidak memiliki pendapatan sama sekali. Sebenarnya beberapa kali aku mendapat tawaran serupa, tapi kupilih satu dua pertandingan yang tidak jauh dari kotaku belaka, tentu momentumnya ketika aku sedang tidak bertugas mengemudi. Terus terang, aku tak mau jika sampai mendapat cedera parah dan hal itu nyatanya terjadi pada teman karibku yang berasal dari daerah yang sama. Dia tidak punya pilihan selain kembali ke rumah orangtuanya setelah mengalami apa yang kukhawatirkan. Kebetulan dia belum berkeluarga.

“Aku menyesal benar ikut tarkam Minggu kemarin. Meski bayarannya lumayan, tapi akhirnya tidak cukup untuk memulihkan cederaku ini. Malah sekarang aku tak berdaya begini. Beruntunglah kamu memilih melakukan pekerjaan lain dan sesekali saja mau bermain tarkam,” ucapnya kepadaku yang tengah mengunjunginya.

“Masalah kita kan sebenarnya sama. Cuma bagaimana kita menemukan solusinya memang berbeda-beda. Aku juga kangen sekali bisa bertanding lagi di depan banyak penonton yang memenuhi stadion,” kataku sembari menerawang.

“Mau sampai kapan nasib kita tidak jelas begini, ya? Aku harap, mereka yang dengan kekuasaannya sudah membuat hidup kita menjadi susah, di sisa hidupnya akan berlipat ganda susahnya ketimbang kita.”

“Hei, jangan mendoakan hal yang buruk begitulah. Kita berprasangka baik saja agar mereka akhirnya sadar telah melakukan tindakan yang salah, lantas kemudian berupaya keras memperbaikinya.”

“Tapi, jika mereka tak kunjung sadar dan tetap ngeyel, lantas bagaimana, kawan? Tidak adakah sesuatu yang bisa kita lakukan?”

“Yah, kita pasrahkan saja pada Yang Mahakuasa. Siapa yang berlaku adil pasti akan mendapat balasan setimpal, demikian pula yang berbuat sebaliknya. Yang penting untuk diingat, kita masih mendapatkan kemurahan rizki-Nya, bukan?”

Temanku sebatas mengangkat bahu seraya tersenyum kecut menanggapi ucapanku. Dia pun meminum kopi tanpa gula yang dibuatkan ibunya untuk kami berdua.
———– *** ———-

Biodata Penulis :
Luhur Satya Pambudi lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat sejumlah media cetak maupun daring, seperti Horison, Suara Merdeka, Radar Surabaya, dan kompas.id. Kumpulan cerpen pertamanya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).

Rate this article!
Berganti Profesi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: