Bias Teknologi Energi Terbarukan dan Solusinya

Oleh:
Habibah Auni
Penulis adalah Mahasiswa Teknik Fisika UGM. Menjabat sebagai Redaktur Gebrak Gorontalo.

Krisis energi pokok seperti energi minyak dan batu bara, telah menjadi keresahan bersama, baik itu bagi negara maju dan negara berkembang. Apa yang diresahkan adalah bagaimana mendapatkan energi yang murah, namun dengan sumber yang melimpah. Berangkat dari hal inilah, kemudian dunia mulai terdorong mencari berbagai energi terbarukan, yang dianggap mampu menjawab persoalan krisis energi.

Dari sini pula, mulai banyak pihak yang tertarik dengan energi terbarukan, termasuk bagaimana implikasinya terhadap aspek teknologi, politik, sosial, dan ekonomi. Akibatnya, energi terbarukan tidak bisa hanya dipandang sebagai produk ekonomi hasil hilirisasi saja. Melainkan ia, harus dipandang secara komprehensif dan holistik. Hal ini mengingat dari hulu ke hilir, terdapat kontestasi yang memperebutkan kendali penuh – atas teknologi, politik, sosial, dan ekonomi – atau ownership terhadap energi terbarukan.

Kendati demikian, kita juga tidak dapat membiarkan kemungkinan adanya intrik konflik energi terbarukan dari segi konsumsi. Apa yang dimaksud dalam hal ini adalah – bias terhadap teknolgi energi terbarukan – yang terjadi antara elite dan masyarakat, wajib diperhitungkan.

Hal ini nyatanya sesuai dengan perkataan Langdon Winner (1977), yang menyebutkan bahwa bahwa kepemilikan, desain, kontrol, otonomi, dan tanggung jawab yang berhubungan dengan teknologi tidak ditentukan dari karakteristik teknologi. Melainkan setting refleksi sosial yang berpengaruh paling besar terhadap pengontrolan manusia atas teknologi energi terbarukan (Bryne, et al., 2006).

Dengan demikian, apabila bias ini tidak diperhatikan, maka teknologi energi terbarukan, berpotensi besar dimalfungsikan oleh segelintir pihak yang tidak mau bertanggung jawab. Dimana teknologi energi terbarukan, akan disalahgunakan sebagai penindas oleh pelaku hulu (secara langsung), ataupun menciptakan kelas-kelas sosial baru yang merugikan pengguna (secara tidak langsung).

Seperti diagnosa Marx yang mengatakan bahwa alienasi (peminggiran) dari aspek kolektif dan intelektual dalam kerja akan membuat mesin menguasai segala hal. Mesin yang merupakan pemiliki kapital justru malah memuaskan pemilik mesin itu sendiri dan merugikan buruh yang bekerja lebih banyak (MacKenzie, 1984).

Hal ini tentu mengakibatkan teknologi energi terbarukan tidak dapat difungsikan dengan baik. Bagi pihak yang sangat dirugikan, yakni masyarakat- yang karena setting refleksi sosial ini kedudukannya menjadi teralienasi – tentu akan marah besar.

Alur pemikiran ini, kemudian membuat masyarakat memutuskan untuk berpijak di kutub negatif, yang mana mereka akan menolak total eksistensi teknologi energi terbarukan. Malahan kemungkinan terburuknya, teknologi tersebut akan ditolak keberadaannya hingga tidak terhitung waktunya.

Butuh kesadaran yang sebenar-benarnya

Dengan demikian, apabila manusia – baik produsen di hulu dan konsumen di hilir -menyadari esensi sejati dari teknologi, mereka tidak akan tergerus dengan mudah, oleh mesin yang diskursusnya masih penuh dengan bias.

Dengan kesadaran kapital dan buruh terhadap teknologi, mesin tidak akan memegang kendali atas realitas sosial. Melainkan mesin yang merupakan bagian dari teknologi, akan menciptakan diskursus baru terhadap manusia sebagai smart people yang mampu memegang kendali atas teknologi.

Tepat Sasaran

Berarti teknologi yang tepat sasaran penggunaannya, dikonstruksi dengan melihat kenyataan sosial. Bila realita tidak mendukung penggunaan teknologi energi terbarukan, maka teknologi tidak diterapkan. Begitu juga sebaliknya.

Penerapan teknologi energi terbarukan juga harus memerhatikan aspek keadilan terhadap masyarakat yang terkena dampaknya. Aspek keadilan tersebut dapat dibangun dengan menjadlin hubungan dan memupuk rasa percaya antara pemerintah dengan masyarakat. Outcome perlu diperhatikan agar mengetahui sisi mana yang adil dan tidak adil bagi masyarakat.

Goals akhirnya agar teknologi energi terbarukan tepat sasaran adalah dengan menginisiasi perubahan kebijakan politik energi. Pandangan politik dan tanggung jawab politik mesti dimasukkan dalam kebijakan politik energi. Apabila kedua komponen ini tidak dapat mendorong perubahan kebijakan politik energi, kelangkaan sumber daya dan harga yang melunjak dapat menjadi pengganti untuk mendorong perubahan kebijakan politik energi.

Langkah politik

Oleh karena itu, untuk mereduksi kemungkinan konflik akibat teknologi energi terbarukan, dibutuhkan suatu regulasi yang tepat. Regulasi yang tepat dibuat dengan melibatkan berbagai pihak yang memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan baik secara langsung dan tidak langsung. Seperti pemerintah, stakeholder, dan aktor non-pemerintah (Pegels, et al., 2017).

Agar tidak timbul bias dan konflik kepentingan, pembuatan kebijakan tidak boleh hanya melibatkan satu pihak, namun harus secara proaktif bergerak dan melibatkan persetujuan banyak stakeholder. Karena kebijakan ataupun keputusan, akan berpengaruh terhadap hajat hidup banyak orang. Hal ini perlu diperhatikan, karena isu fundamental dari teknologi energi adalah diskursus dari pembuatan kebijakan energi.

———- *** ———–

Tags: