Bila Salah Urus, Perpustakaan Bisa Jadi ‘Pembunuh’ Minat Baca

Pegiat literasi Eko Cahyono saat berada di Perpustakaan Anak Bangsa yang ddirikannya di Desa Sukopuro Kecamatan Jabung Kabupaten Malang.

Eko Cahyono, Pejuang Literasi dari Desa Sukopuro (1-bersambung)
Surabaya, Bhirawa
Tidak berpikir tentang konsep, apalagi visi dan misi, semua berlangsung mengalir saja mengikuti hobi dan kesenangan. Namun siapa sangka, hobi mengumpulkan bacaan bekas yang ditekuni sejak masih di Sekolah Dasar (SD) itu kini telah menghadirkan perpustakaan yang menginspirasi banyak kalangan. Dari anak-anak, ibu rumah tangga, pegiat sosial, mahasiswa hingga guru dan dosen, tak pernah sepi mengunjunginya. Berbagai hadiah dan piagam penghargaan pun menumpuk dikoleksinya. Bahkan Presiden RI Joko Widodo secara khusus pernah mengundangnya ke istana negara.
Butuh waktu 30-an menit perjalanan dengan mengendarai ojek online (ojol) dari terminal Arjosari Malang untuk menjangkau lokasi Perpustakaan Anak Bangsa yang berada di Desa Sukopura, Kecamatan Jabung Kabupaten Malang. Hanya mengandalkan peta (maps) di aplikasi android ternyata sempat membuat ojol yang Bhirawa tumpangi muter-muter kesulitan menemukan lokasi yang dituju. Beruntung, nama Eko Cahyono sudah sangat populer bagi warga sekitarnya, sehingga ketika Bhirawa mencoba menanyakan alamat sosok pendiri Perpustakaan Anak Bangsa, warga pun dengan antusias menunjukkan lokasinya.
“Saya tidak punya konsep apapun apalagi merumuskan visi dan misi ketika memulai merintis perpustakaan yang awalnya hanya berupa kumpulan majalah-majalah bekas saja,” tutur Eko Cahyono saat memulai perbincangan dengan Bhirawa, Kamis (14/11) pekan kemarin.
Semua yang dilakukan itu menurut Eko lebih karena senang dan ingin agar warga di sekitarnya ada sumber informasi dan bacaan. Kalau ada survei yang mengatakan minat baca masyarakat Indonesia rendah, jelas Eko maka dirinya yang paling depan akan menolaknya.
Menurut Eko, minat baca masyarakat sesungguhnya tinggi, hanya karena akses terhadap buku yang sulit. Dan kondisi semakin diperparah dengan model pengelolaan perpustakaan yang ekslusif dan justru membatasi diri dengan masyarakat luas dengan instrumen aturan dan administrasi yang njlimet.
Berdasar pengalamannya menggeluti perpustakaan selama lebih dari 21 tahun, Eko yakin masyarakat sangat tinggi minat bacanya. Terbukti, saat dirinya memulai meminjamkan majalah-majalah bekas di rumahnya, sudah banyak warga masyarakat yang datang membaca.
“Awalnya hanya ibu-ibu yang suka mampir baca majalah untuk mencari resep masakan atau mode pakaian terbaru di majalah. Walapun majalah bekas tapi infonya bagi ibu-ibu di desa masih terasa baru,” kata Eko sambil tersenyum. Tidak puas dengan jangkauan pembaca, Eko pun kemudian keliling membawa buku-buku majalahnya ke desa-desa sekitarnya atau ke pusat-pusat keramaian. Langkah itu dilakukan, karena Eko percaya bahwa dengan membaca buku akan membuat cakrawala berpikir akan terbuka termasuk dalam menemukan jalan keluar dari masalah hidup.
“Saya banyak menemukan orang-orang yang punya kehidupan lebih baik lewat membaca. Misalnya punya usaha katering, atau penjahit atau menjadi usaha budidaya perikanan,” jalas Eko. Hal menarik lain yang dilakukan Eko sehingga keberadaan perpustakan dekat dengan semua kalangan, adalah tidak membuat peraturan apapun terkait pengelolaan perpustakaan.
“Di sini semua bebas. Mau tidur mau nginep mau membuat camping di halaman atau klesetan di sela-sela rak buku boleh saja. Perpustakaan ini juga terbuka untuk kegiatan apa saja. Pacaran di sini pun boleh,” kata Eko sambil tersenyum. Bahkan akibat idenya membolehkan perpustakaan sebagai tempat pacaran, sempat rumahnya digrebek dan dilaporkan pihak berwajib karena dituding menjadikan perpustakaan sebagai tempat mesum.
“Kami saat itu memang membuat acara khusus yang kira-kira bernama Kencan Malam Minggu di Perpustaakaan,” jelasnya. Dan memang kemudian banyak anak-anak muda yang pacaran main ke perpustakaan. Kebetulan memang ada taman yang dibangun untuk tempat baca yang kalau malam agak remang-remang.
“Waktu itu saya berpikiran, walaupun berpacaran kalau ramai-ramai pasti tidak terjadi hal-hal yang berlebihan. Paling hanya pegangan tangan tidak lebih” jelasnya. Nah ketika mulai ramai itulah kemudian muncul ide untuk membuat diskusi dengan melibatkan anak muda yang sedang pacaran.
“Kami pun buatkan tema diskusi yang khas anak muda. Misalnya soal pernikahan dini, pacaran sehat dan topik lain seputar anak muda. Saya tidak memberi arahan apa-apa, biarkan mereka diskusi sebebas-bebasnya,” jelasnya. Dari sekadar diskusi soal kehidupan remaja, perlahan remaja yang awalnya bertujuan untuk pacaran pun mulai tahu soal buku, mulai berpikir soal materi diskusi dan bagaimana berdebat dengan mendasarkan buku.
“Akibatnya, mereka mulai baca buku. Topik diskusi kencan malam mingguan-nya pun menjadi kian serius. Saya mulai takut ketika diskusi mulai membahas topik yang berat berat seperti soal apakah Syeh Siti Jenar itu dibunuh Wali Sanga, atau topik apakah Soekarno itu terlibat PKI atau tidak,” jelas Eko. Selain itu, perpustakaan tempatnya juga menjadi kegiatan berbagai kalangan dengan jenis kegiatan yang bermacam.
“Ada yang sekadar belajar kelompok, diskusi buku atau ngobrol ngalor ngidul,” jelas Eko lagi.
Perpustakaan yang dirintis sejak 1998 itu telah memiliki koleksi buku lebih dari 75.000 buku yang hampir seluruhnya didapat melalui sumbangan. Pria kelahiran 28 maret 1980 yang masih memilih membujang ini mengakui telah mencintai buku sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Di masa sekolah ini lah, hampir setiap waktu istirahat pelajaran selalu dimanfaatkannya untuk membaca di perpustakaan. Bahkan dia dapat menjelaskan bacaan pertama yang menggiringnya hingga menjadi cinta mati terhadap buku hingga saat ini.
“Saya ingat waktu SD dulu yang pertama saya baca itu adalah majalah Intisari,” kisahnya. Ketertarikan itu terbentuk berkat berbagai kata-kata mutiara yang ada di majalah Intisari. berawal dari situ lah, Eko mulai gemar membaca dan terus dilakukannya semasa SMP dan SMA.
Selepas lulus SMA, dengan bermodal setumpuk koran bekas dan 400 majalah bekas, Eko mulai mendirikan perpustakaannya sendiri.
“Waktu itu perpustakaan saya masih di teras rumah, jadi koran dan majalah bekas itu saya pajang pakai tali rafia mulai pagi hari dan kalau sudah mulai sore saya bereskan,” jelasnya.
Seluruh koleksi buku yang dimiliki Eko itu dianggapnya hanyalah sebagai sebuah titipan dari pemilik buku sebenarnya.
Walaupun berada di lokasi yang cukup jauh dari jalan besar, perpustakaan Eko memiliki cukup banyak anggota yang tidak hanya dari wilayah Malang saja namun hingga Kalimantan dan Jakarta. Hingga saat ini, terdapat 8.000-an nama yang resmi tercatat sebagai anggota dan pernah datang ke Perpustakaan Anak Bangsa.
Hal yang unik dari perpustakaan ini adalah karena hubungan yang saling percaya serta bentuk perpustakaan yang tidak kaku. Tidak ada syarat berupa jaminan atau uang pendaftaran untuk dapat meminjam buku. Selain itu juga tidak ada batasan waktu dan jumlah untuk peminjaman buku. Selain itu, Eko juga tidak selalu mengawasi peminjaman di perpustakaannya, peminjaman buku dapat dilakukan secara mandiri dengan mencatat buku yang dipinjam.
Hal-hal tersebut tentu saja tidak dapat dilakukan terhadap perpustakaan lain yang memiliki berbagai batasan. Bentuk yang bebas ini sengaja dilakukan Eko agar masyarakat senang membaca dan tidak terbebani dengan berbagai hal-hal administratif yang dianggapnya menyebalkan. Walau jumlah pinjaman tidak dibatasi, namun Eko tidak pernah takut bukunya akan berkurang atau hilang.
“Buktinya sekarang jumlah bukunya semakin banyak. Kalau ada buku yang tidak kembali, berarti buku itu telah menemukan pembaca sejatinya,” jelas Eko sambil tertawa. Bahkan menurut pengalamannya, yang justru tidak mengembalikan itu dari kalangan orang-orang yang berpendidikan seperti mahasiswa atau dosen.
“Kalau orang biasa untuk apa juga menyimpan buku. Biasanya yang enggan menggembalikan itu karena mereka tahu buku itu bagus atau mungkin langka. Tapi biarlah karena buku itu sudah bersama dengan orang yang mencintainya,” kata Eko sambil tertawa lepas. #KitaSATUIndonesia #IndonesiaBicaraBaik [Wahyu Kuncoro SN]

Tags: