BPJS Urung Naik

Foto Ilustrasi

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) tentang kenikan iuran BPJS. Uji materi dilakukan oleh komunitas pasien cuci darah Indonesia, berkait tarif baru iuran yang harus dibayarkan setiap bulan. Pemerintah wajib segera memberlakukan tarif lama, walau tarif baru belum terealisasi (berdasar kesepakatan dengan DPR). Begitu pula peserta BPJS yang terlanjur “turun kelas” bisa kembali ke kelas semula.
Putusan MA menyatakan, pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Perpres Nomor 75 tahun 2019, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Artinya, harus dibatalkan. Majelis hakim MA berpandangan, bahwa pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) bertentangan dengan konstitusi. Yakni, UUD pasal 28H ayat (1), yang menyatakan, “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”
Pasal 34 dalam Perpres Nomor 75 tahun 2019, juga bertentangan dengan UUD pasal 34 ayat (2). Secara tekstual dinyatakan, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.” Serta kewajiban pemerintah memenuhi amanat UUD pasal 34 ayat (3), “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”
Pada putusan MA juga disebut, bahwa Perpres Nomor 75 tahun 2019 bertentangan dengan pasal 2, pasal 4, dan pasal 17 ayat (3) UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Serta bertentangan dengan UU Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Terutama pasal 5 jo pasal 171 yang mengatur anggaran kesehatan dalam APBN, dan APBD (propinsi serta kabupaten dan kota). Mandatory UU 36 tahun 2009 belum terealisasi maksimal.
Kenaikan iuran BPJS, diharapkan bisa menutup defisit, utang BPJS yang makin menumpuk kepada rumahsakit. Jika iuran BPJS tidak dinaikkan, berpotensi utang makin membubung sampai Rp 32,48 trilyun pada akhir tahun 2019. Ironisnya, sumber utang paling besar tercatat pada ke-perserta-an BPJS kelas 1. Tak jarang, layanan kesehatan selama tiga hari setara dengan pembayaran iuran selama tiga tahun.
Tetapi jaminan pelayanan kesehatan merupakan hak seluruh rakyat. Termasuk tanpa membayar biaya tindakan kesehatan. Sebenarnya pemerintah telah coba melaksanakan amanat UUD pasal 34 ayat (2) melalui penerbitan UU Nomor 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaimnan Sosial (BPJS). Pada pasal 5 ayat (2) terdapat dua jenis BPJS. Yakni, BPJS Kesehatan, dan BPJS Ketenagakerjaan.
Tetapi tak dinyana, peserta BPJS Kesehatan mencapai 224,5 juta jiwa. BPJS nampak bagai tergagap-gagap dengan jumlah peserta yang sangat banyak. Padahal seharusnya banyak peserta bisa menjadi “kekayaan” yang menguntungkan. Terdapat peserta kelas 3 PBI (Penerima Bantuan Iuran) sebanyak 96,5 juta orang, iurannya dibayar oleh negara melalui APBN. Serta sebanyak 38,8 juta peserta PBI yang ditanggung melalui APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Sehingga sebanyak 135,3 juta peserta kelas 3, dipastikan tidak pernah telat membayar. Pada tahun 2019 anggaran (sokongan pemerintah) mencapai Rp 40 trilyun. BPJS Kesehatan, bagai perusahaan BUMN terbesar di Indonesia. Dengan manajemen yang baik, bisa menempatkan modal pada usaha, dengan kecermatan tanpa risiko rugi.
Kini, MA telah membatalkan Perpres tentang iuran BPJS. Kembali pada tarif semula. Tetapi layanan kesehatan tidak boleh surut. Defisit BPJS mesti dicarikan penyelesaian. Karena negara memiliki kewajiban konstitusi memenuhi hak kesehatan masyarakat.
——— 000 ———

Rate this article!
BPJS Urung Naik,5 / 5 ( 1votes )
Tags: