Cuma Memanaskan Tim Sukses

Yunus Supanto

Yunus Supanto

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Apa yang di-ingin-kan rakyat tentang teritorial Indonesia di Laut China Selatan? Pastilah, tidak terulangnya tragedi kehilangan pulau Ligitan dan pulau Simpadan. Beruntung problem kedaulatan NKRI di sekitar Laut China Selatan menjadi materi debat. Apapun jawaban kedua Calon Presiden (Capres) dalam debat, Indonesia harus bersikap dalam pergaulan internasional, sebagaimana diamanatkan dalam muqadimah UUD 1945.
Terutama teritorial (asli) yang terbentuk sejak Kemerdekaan bangsa Indonesia, wajib dipertahankan. Amanat muqadimah UUD 1945, merupakan konstitusi yang paling sakral, tidak boleh diamandemen oleh siapapun. Alenia ke-4 muqadimah UUD menyatakan: “Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan … ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Dengan amanat tekstual konstitusi dasar itu Indonesia tidak boleh pasif dalam pergaulan internasional. Pada dekade awal kemerdekaan, Indonesia cukup aktif untuk meng-inisiasi solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika. Hal itu juga amanat muqadimah UUD pada alenia pertama. Yakni, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Bahkan (kota Bandung) menjadi tuan-rumah Konferensi Asia-Afrika yang pertama. Maka seluruh bakal pemimpin Indonesia, yang tidak se-zaman dengan semangat Asia-Afrika, setidaknya wajib memahami benar isi amanat muqadimah UUD 1945, serta kukuh melaksanakannya. Sehingga jawaban dalam debat capres tentang kedaulatan teritorial Indonesia di Laut China Selatan, menjadi ukuran ke-Indonesia-an calon presiden. Jika merasa kurang piawai dalam debat, seharusnya tim sukses menyusulinya dengan berbagai pernyataan tambahan.
Berebut Simpati Rakyat
Selama dua pekan terakhir (dan akan berlangsung sampai sebulan) akan terdapat dua perbincangan hangat. Yakni, tentang Piala Dunia sepakbola di Brasil, serta debat Calon Presiden. Sulit ditentukan, debat mana yang paling diminati. Untungnya, jam tayang Piala Dunia disiarkan dinihari, sedang debat Capres pada prime time. Namun harus diakui, tayangan Piala Dunia mampu memaksa penggila bola untuk begadang sampai pagi.
Tetapi debat Capres juga cukup menarik. Banyak masyarakat mengikuti dengan tujuan untuk menguatkan pertimbangan pilihan kepada nomor urut 1 atau nomor urut 2. Saat ini konon, floating mass (masa mengambang yang belum memiliki pilihan) diperkirakan mencapai 40% atau sekitar 76 juta pemilih. Jumlah ini meliputi berbagai segmen, termasuk pemilih baru, pemilih intelektual, pemilih perkotaan yang masih ragu, serta pemilih pedesaan yang haus informasi.
Berdasarkan bisik-bisik kalangan pemirsa televise di rumah, debat Capres kali ini banyak kejutan. Antaralain, Capres yang semula diduga “garang” ternyata lebih santun dalam debat. Sebaliknya, yang semula di-citra-kan sabar dan lembut, ternyata nampak garang dan suka menyindir Capres lain. Padahal sesuai adat budaya ketimuran, kesantunan bisa menumbuhkan simpati. Sedangkan kegarangan bisa menimbulkan antipati.
Debat Capres yang siar langsung di televisi merupakan program resmi KPU (komisi Pemilihan Umum). Debat merupakan salahsatu cara, agar visi dan misi Capres dan Cawapres bisa diketahui oleh seluruh rakyat Indonesia. Itu bukan sembarang debat, berbeda dengan debat caleg di atas panggung kampanye. Banyak elit politik sangat gampang melupakan janji yang diumbar saat kampanye.
Sehingga Capres dan Cawapres dalam debat tidak boleh celometan, asal omong, asal janji. Tidak boleh lagi ada elit pimpinan yang no action talk only (NATO). Setiap kata-kata akan menjadi dokumen resmi kenegaraan. Kelak jika terpilih, isi debat akan dituangkan dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) lima tahunan, menjadi undang-undang. Lalu, juga akan di-breakdown menjadi RPJ tahunan, yang mendasari pelaksanaan APBN.
Ada perbedaan signifikan dari cara komunikasi dua pasang capres dan cawapres dalam debat. Prabowo-Hatta lebih bicara strategis dan perencanaan umum, sedangkan Jokowi-JK lebih menitikberatkan pada tataran teknis. Pada debat pertama, dua sesi di awal Jokowi-JK lebih unggul dari Prabowo-Hatta berkat kepiawaian JK dalam menjawab pertanyaan. Namun di sesi berikutnya giliran Hatta yang dengan lugas dalam menjawab semua pertanyaan menutupi Prabowo yang di awal tampak agak gugup.
Bukan Debat Liberal
Tetapi mulai sesi ke-4, Jokowi mulai tidak tajam lagi.Terutama saat menjawab pertanyaan Prabowo tentang pemakaran daerah.Sebaliknya Prabowo sangat siap menjawab pertanyaan yang paling sering diterima Prabowo tentang Pelanggaran HAM.Jawaban Prabowo yang cespleng tentang isu pelanggaran HAM, adalah bahwa dirinya telah pernah menjadi Calon Wakil Presiden bersama Capres Megawati Soekarnoputri pada Pilpres 2009, diusung PDIP.
Namun pertanyaan tentang HAM sesungguhnya menguntungkan Prabowo Subianto. Selama ini Prabowo tidak memiliki cara memadai (media yang luas) untuk menyampaikan (menjawab) isu tersebut.Sebagai masalah yang sudah lama mencengkeramnya, Prabowo pasti sudah menyiapkan jawaban.Dan jawaban tersebut menunjukkan tidak ada kesan memaksakan diri untuk mengklarifikasi.Eloknya  Prabowo berhasil menjelaskannya dengan baik tanpa menyerang balik JK.
Sebaliknya hal itu bisa menyebabkan JK memperoleh sentimen negatif, dianggap tendensius, tidak santun.Bahkan bisa dituduh pembunuhan karakter, bukan sikap negarawan.Moderator juga memperingatkan Cawapres Jusuf Kalla.Toh Prabowo sudah pernah menjadi Cawapres Magetawati, diusung PDIP yang saat ini mengusung Jokowi-Jusuf Kalla.
Sedangkan materi yang menghasilkan nilai draw untuk kedua pasangan Capres adalah tentang pluralisme (ke-NKRI-an). Prabowo mencontohkan dirinya (selaku Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra) mengusung Ahok sebagai Calon Wakil Gubernur untuk berdampingan dengan Jokowi.Padahal disadari, Ahok adalah keturunan China, non-muslim pula.Sedangkan Jokowi mencontohkan dirinya yang melantik Lurah Lenteng Agung, Jakarta, yang beragama Kristiani.Walau diprotes dan didemo, Jokowi tetap pada keputusannya.
Pada debat kedua, secara umum juga bisa dinilai draw. Kecuali ketika Jokowi bertanya tentang TPID (Tim Pengendali Inflasi Daearah). Istilah TPID memang khas ke-gubernur-an, selain jajaran pemerintah propinsi jarang yang mengetahui. Sehingga Prabowo tidak mengerti tentang TPID.Tetapi ini dianggap tidak elok, dan menjebak, agar lawan nampak bodoh. Padahal merupakan lulusan terbaik akademi kemiliteran tingkat Jenderal di Amerika. Tidak ada jenderal Indonesia yang dikirim ke AS bisa melampaui prestasi Prabowo.
Memang tidak elok membanding debat Capres Amerika Serikat dengan di Indonesia. Demokrasi Amerika Serikatmenganut demokrasi liberal. Sehingga debat  bias “tunjuk hidung” sampai menyudutkan kemampuan (dan kompetensi) pasangan lawan. Track-record pasangan lawan bisa menjadi bahan caci-maki.Misalnya, ketika remaja, diketahui bahwa Barack Obawa pernah mengkonsumsi narkoba.Calon presiden AS lainnya juga dicerca karena saat remaja suka nonton video porno.
Di Indonesia, demokrasi masih “setengah” liberal. Menyerang kepribadian lawan (dalam debat resmi) masih ditabukan. Begitu pula moderator debat segera mengingatkan manakala Capres bertanya (menyerang) tentang record individual Capres lawan. Debat Capres akan meliputi seluruh bidang manajemen pemerintahan. Pada debat kedua, dipapar sektor ekonomi (termasuk ekonomi kreatif terkait ke-pariwisata-an), pertanian, dan keuangan.
Maka debat Capres yang digagas KPU akan menjadi pembelajaran dan pembiasaan politik. Bukan hanya pendidikan politik untuk rakyat. Melainkan lebih mendidik calon elit politik agar tidak sembarang mengumbar janji.

—————- *** —————-

Rate this article!
Tags: