Dampak (Rutin) Kemarau

Monyet berombongan turun gunung, keluar hutan sampai ke kampung permukiman. Berburu (makanan) penghangat pada malam hari, berebut air minum pada siang hari. Pergantian musim baru dimulai tiga pekan, menuju musim kemarau. Sudah nampak tanda awal, tanah sawah merekah karena susutnya air dari saluran. Beberapa waduk dan embung juga turut mengering. Bahkan sumur di permukiman tidak berisi air.
Sekawanan monyet di hutan perbatasan Situbondo dengan Banyuwangi, sudah mulai turun ke jalan, mencari sumber air, dan makanan. Begitu pula di Pasirian (Lumajang), rombongan monyet menuju perkampungan desa Condro. Pertanda daya dukung lingkungan hutan di gunung Tambu, makin menyusut. Kebun warga yang ditanami pisang, dan pepaya, menjadi incaran. Tak jarang, juga menuju warung, bagai minta “sedekah” makanan gratis.
Berdasarkan prediksi BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), puncak kemarau akan berlangsung sebulan hingga dua bulan mendatang. Ladang sawah tadah hujan akan mengalami dampak paling nyata. Tetapi sebagian irigasi yang bersumber dari air sungai, juga turut terdampak. Karena air sungai makin menyusut. Lahan irigasi (bantaran sungai) yang terdampak mencapai 707 hektar. Termasuk di Jawa Timur.
Bahkan bukan hanya perdesaan yang terdampak kekeringan. Sekitar 2 juta warga perkotaan yang tersebar di delapan propinsi rentan terkena dampak kekeringan. Kota Surabaya bagian barat (kawasan Benowo, Tandes, dan Asemrowo) juga biasa mengalami kekeringan akut. Begitu pula kota Probolinggo, dan Madiun, terasa terik menyengat.
Di Jawa Timur, kekeringan biasa melanda 24 kabupaten dan kota. Data pada awal semester kedua (pekan ketiga bulan Juli), kekeringan domestik cukup parah, telah terjadi pada 541 desa. Jumlah sawah yang terdampak seluas 33 ribu hektar lebih. Walau merupakan siklus rutin, namun musim kemarau terasa semakin menimbulkan dampak. Disebabkan daya dukung lingkungan makin menyusut. Terasa lebih miris manakala diikuti kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Semusim lalu (tahun 2018) terjadi korban jiwa akibat karhutla di dan Jawa Timur. Karhutla mulai cepat merambat pada areal kebun milik masyarakat. Di Jawa Timur, hot-spot (titik api) melalap raturan hektar lahan gunung Lawu (di Ponorogo), dan gunung Wilis (di Madiun). Api juga nampak terang di kawasan gunung Kumitir di Bondowoso. Diperlukan kesiagaan BPBD.
Berdasarkan data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), kekeringan telah melanda dua ribu desa di 79 kabupaten dan kota. Beberapa daerah berstatus awas, karena sudah mengalami keadaan 61 hari tanpa hujan (HTH). Data kekeringan juga telah berada di tangan presiden Jokowi. Status awas terjadi di beberapa provinsi, termasuk di seantero pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT. Kawasan terdampak parah musim kemarau, juga harus lebih ekstra waspada. Pada musim kemarau, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla), bagai “di-ingin-kan.” Tujuannya, kawasan hutan di-alih fungsi-kan menjadi ladang berkebun. Padahal, hutan yang gundul akan menjadi ancaman lingkungan, berupa bencana banjir dan tanah longsor. Berdasar kalkulasi lingkungan, kawasan terdampak kekeringan hampir selalu identik dengan kawasan rawan banjir dan longsor.
Di Jawa Timur, hampir dua pertiga pedesaan di 24 kabupaten dan kota, rawan terdampak kekeringan. Terdapat daerah “langganan” kekeringan, wilayah tapal kuda. Serta kawasan selatan, mulai kawasan Muncar (Banyuwangi) sampai pantai Klayar (Pacitan) akan mengalami kemarau kering lebih panjang. Selain suplai air bersih, BPBD Propinsi serta Kabupaten dan Kota, perlu sekaligus “menanam” pohon pengikat air.
Menanam lebih banyak, bisa mencegah kekeringan pada musim mendatang, sekaligus mencegah banjir.

——— 000 ———

Rate this article!
Dampak (Rutin) Kemarau,5 / 5 ( 1votes )
Tags: