Daring Kena, Luring Juga Kena

Nurudin

Pembelajaran Tatap Muka (PTM)

Oleh :
Nurudin
Penulis adalah dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Tak ada pilihan dilematis bagi dunia pendidikan saat ini kecuali penerapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM). PTM menjadi pilihan rumit karena pandemi Covid-19 di Indonesia belum selesai dan sangat mungkin masih berkepanjangan. Di sisi lain, tuntutan PTM mendesak dilakukan. Setidaknya, desakan PTM dilakukan pemerintah setelah melalui berbagi pertimbangan yang tak mudah.
Keputusan PTM bukan tidak mendapat protes. Sejumlah organisasi dan masyarakat umum menolak pemberlakuan PTM karena dianggap tergesa-gesa diberlakukan. Sementara jumlah yang terpapar virus covid-19 dari hari ke hari tidak mengalami penurunan. Pemerintah dianggap abai pada kesehatan setelah juga abai dengan buru-buru menerapkan new normal. Protes keberatan penerapan PTM pun terus berkepanjangan.
Namun, pemerintah tetap tak bergeming. Pemerintah melakukan uji coba penerapan PTM. Kita bisa sedikit paham atas kebijakan ini. Coba bayangkan bagaimana proses belajar mengajar di desa-desa jika harus diterapkan belajar daring? Bagaimana ketidakmampuan warga terkait hal itu? Apakah proses pendidikan yang selama ini dilakukan harus berhenti? Sementara dengan melihat sistem belajar mengajar kita selama ini, pemberlakuan sistem pembelajaran mandiri di rumah tidak mudah dilakukan. Masyarakat belum sepenuhnya sadar atau mampu belajar mandiri tanpa sekolah.
Pertimbangan lain, jika pembelajaran berhenti begitu saja maka akan parah bagi proses pendidikan anak di masa datang. Proses pendidikan akan terputus begitu saja. Sementara untuk memberikan alternatif terkait pembelajaran online pemerintah tidak terlalu mampu (setidaknya berkaitan dengan jaminan penyediaan layanan permbelajaran daring tersebut). Ketidakmampuan itu berkaitan dengan dana yang disediakan untuk warga dan fasilitas yang mumpuni.
Di desa-desa yang selama ini jauh dari jaringan internet sangat merasakan kesulitan tersebut. Pilihan dilematis memang, tetapi negara tentu tetap wajib punya pilihan dengan tak berusaha menghindar dari kewajiban sebagai “pemangku kebijakan”.

Beberapa Contoh
Berdasar laporan Kompas (19/8) ada beberapa negara yang menerapkan penutupan dan pembukaan sekolah. Ini bisa menjadi dasar pertimbangan kebijakan di sekolah-sekolah Indonesia, terutama sekali para pengambil kebijakan.
Tidak bisa dipungkiri penutupan sekolah atau pemberlakukan belajar daring bisa menekan laju perkembangan virus covid-19. Di Amerika, penutupan pembelajaran di sekolah (9 Maret-7 Mei 2020) bisa menurunan sekitar 62 persen dan kematiannya berkurang 58 persen. Sementara itu pembukaan sekolah — setidaknya yang bisa dicontohkan di San Francisco — meningkatkan risiko penularan (40,7 persen pada guru). Hal demikian juga terjadi di Korea Selatan.
Kita bisa melihat kasus di Israel. Israel menutup sekolah kembali (3 Juni) setelah sempat membuka sekolah (3 Mei). Ada sekitar 2.026 kasus baru positif covid-19 yang melibatkan siswa, guru dan staf. Sementara itu 28.147 murid harus menjalani karantina karena diduga terpapar virus tersebut. Tidak tanggung-tanggung, di sebuah sekolah sampai ada 130 kasus per hari. Sejak membuka sekolah ada peningkatan dari 50 kasus setiap hari menjadi 150 kasus per hari dalam sebulan.

Penyebab
Kasus di atas adalah beberapa contoh negara lain yang pernah mengeluarkan kebijakan tentang pembukaan sekoah. Negara=negara tersebut sistem penanganan pandemi bisa jadi lebih baik dari Indonesia. Sementara itu, setelah membuka sekolah ternyata jumlah yang terkena virus semakin banyak. Salah satu penyebabnya, pertemuan fisik antara individu.
Di sisi lain, di Indonesia wabah ini belum menunjukkan penurunan bahkan diduga semakin meningkat pada masa-masa yang akan datang. Mengapa itu terjadi? Pertama, pemerintah telah sengaja membuka dan mengijinkan pertemuan fisik masyarakat. Setidaknya ini dengan tiadanya kebijakan tegas soal physical distancing dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Lalu, transportasi diijinkan setelah sebelumnya tanpa ada larangan tegas. Juga, membuka mall yang tentu saja akan diikuti oleh tempat wisata, pasar dan tempat-tempat kerumunan yang lain. Kebijakan ini diakui atau tidak ikut menjadi andil bagian bagi penyebaran virus.
Kedua, masyarakat tidak patuh dengan protokol kesehatan. Meskipun dihimbau sedemikian rupa, masih banyak pelanggaran-pelanggaran. Misalnya terkait pemakaian masker, cuci tangan dan jaga jarak. Bahkan ada sebagian masyarakat yang tidak percaya begitu saja pada virus corona ini.
Akhirnya, pilihan lain yang diambil adalah dengan membiarkan semua hidup normal. Apalagi pemerintah telah memulai atau justru membuka peluang pada kehidupan normal dengan istilah new normal. New normal dipahami sebagaian orang sebagai keadaan normal. Masyarakat kita adalah masyarakat yang tak biasa patuh. Kalau sekadar himbauan saja tak akan dilakukan. Hukum positif saja dilanggar apalagi hanya sekadar himbauan (misalnya himbauan memakai masker, jaga jarak atau cuci tangan). Soal ini bisa kita saksikan sendiri pada kehidupan sosial di sekitar kita.

Dilematis
Memang PTM itu sebuah dilematis dan pilihan yang tak mudah dilakukan. Tetapi pemerintahlah yang punya hak mengeluarkan kebijakan. Kebijakan dari pemerintah sendiri akan bisa diimplementasikan dengan baik manakala kepercayaan masyarakat pada pemerintahnya sudah tinggi. Sementara selama ini, masyarakat menganggap setiap kebijakan pemerintah itu masih terkesan politis. Berbagai dampak kebijakan belum sesuai yang diharapkan masyarakat. Keadilan juga belum sepenuhnya diwujudkan.
Jika negara mampu mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakatnya, kepercayaan masyarakat tentu akan tinggi. Akibatnya, setiap kebijakan pemerintah akan dipatuhi dan dijadikan acuan. Elite politik sibuk sendiri. Bagaimana mungkin mereka meminta masyarakat untuk paham jika selama ini mereka sibuk dengan urusan politik saja? Masyarakat akan berkilah bahwa saat elite politik itu untung, mereka lupa kepentingan masyarakat saat merasa kesulitan meminta bantuan masyarakat.
Melihat kasus pandemi virus covid-19 yang belum tentu ada penurunannya apakah kita yakin proses PTM akan tetap dilaksanakan? Catatan lain bawa masyarakat kita belum terbiasa disiplin dengan gampangnya melanggar aturan. Memang kebijakan PTM yang memperbolehkan masuk sekolah seperti, “Masuk kena, tidak masuk juga kena”

———— *** ————–

Rate this article!
Tags: