Darurat Pelabuhan Perikanan

Oleh :
Oki Lukito
Ketua Forum Masyarakat Kelautan, Maritim, Perikanan
Sekjen LBH-Maritim Indonesia

Sikap Pemprov Jatim menghentikan lelang pekerjaan infrastruktur tiga pelabuhan perikanan yang nyaris lolos dibangun tahun 2020 sebesar Rp 71 miliar (APBD 2020) perlu diapresiasi. Gubernur mengalihkan pemanfaatan dana tersebut untuk penanganan Covid-2019 mentaati Inpres Nomor 4 tahun 2020 tentang relokasi anggaran. Pelabuhan Perikanan (PP) Mayangan Probolinggo, Popoh Tulungagung dan Grajagan Banyuwangi setiap tahun mendapat alokasi anggaran APBD tetapi belum memberikan kontribusi signifikan kepada masyarakat sekitar maupun bagi Pemprov Jatim.

Sejak tiga tahun lalu pelabuhan perikanan (PP) Mayangan Probolinggo bersama PP Pondokdadap Malang dan PP Tamperan Pacitan berstaus badan layanan Usaha daerah (BLUD). PP Mayangan salah satu sentra perikanan tangkap di Jawa Timur hampir setiap tahun dimanja dengan anggaran konstruksi. Dibangun sejak tahun 2000 dan diresmikan 2007 oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, Mayangan menggerus dana APBD lebih kurang Rp 500 miliar, fantastis. Tahun 2019 mendapat kucuran dana lagi Rp 20 M, 2018 Rp 20 M, 2017 sebesar Rp 6,6 M dan tahun 2015 Rp 2,5 M. Tahun 2020 dianggarkan Rp 18 M tapi dibatalkan gubernur.

Awalnya pelabuhan perikanan ini dibangun antaralain untuk memberikan fasilitas kepada nelayan yang selama itu beraktivitas di Pelabuhan Tanjung Tembaga, Probolinggo pelabuhan umum yang dikelola Pelindo III. Akan tetapi sampai dengan saat ini belum semua nelayan bersedia mengalihkan aktifitas bongkar hasil tangkapannya di PP Mayangan. Beragam alasan diungkapkan, diantaranya, hasil tangkapan selama melaut lebih cepat menghasilkan uang, cukup dijajakan di pinggir dermaga. Mereka enggan menjual di TPI yang dikeluhkan hanya berfungsi sebagai tempat penimbangan ikan tapi harus bayar retribusi, ikan belum tentu laku terjual.

Data hasil penelitian yang dirilis Perguruan Tinggi ternama di kota Bogor, jumlah kapal yang beraktivitas di PP Mayangan sebagaimana dikutip dari Dinas Kelautan dan Perikanan Jatim (2017) jumlahnya 358 unit, berbagai ukuran mulai 10 GT hingga diatas 100 GT, 155 unit diantaranya kapal Cantrang. Hasil tangkapan nelayan yang mayoritas tinggal di Pulau Gili Ketapang itu didaratkan di Mayangan sebesar 15.357, 20 ton. Rata rata di bawah 20.000 ton per tahun, didominasi oleh hasil produksi kapal rawai dasar, cantrang dan purse seine dengan berbagai jenis ikan diantaranya kakap merah (lutjanus spp). Jumlah tersebut relative sangat kecil jika dibandingkan dengan kemegahan PP Mayangan .

Setengah trilyun dana APBD Jatim untuk membangun Mayangan tidak sesuai dengan harapan yaitu untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan serta penyerapaan tenaga kerja masyarakat di sekitar pelabuhan. Lalu siapa yang menikmati PP Mayangan? Beberapa tahun terakhir ini DKP Jatim bisnis lapak fasilitas lahan yang diperuntukkan bagi usaha perikanan. Lahan yang ada disewakan untuk usaha kegiatan seperti jasa perbaikan kapal, Unit Pengolahan Ikan dan usaha lainnya seperti wisata bahari dan penginapan.

Selain kapal nelayan lokal, lebih kurang terdapat 150 kapal ikan asal Tanjung Balai, Karimun rutin membongkar ikan hasil tangkapannya di dermaga khusus, terpisah dengan TPI Mayangan. Ribuan ton ikan asal tangkapan dari wilayah timur Indonesia didaratkan di Mayangan setiap tahun, serta diolah dan dikemas di sejumlah Pabrik Pengolah Ikan di sekitar Probolinggo dan Pasuruan. Kapal kapal ikan berukuran minim 200 GT tersebut nyaris tidak ada yang diawaki oleh nelayan Mayangan. Pelabuhan hanya sebagai pintu numpang lewat. Begitu diturunkan dari kapal, ikan dalam kemasan frozen tersebut langsung diangkut puluhan truk keluar pelabuhan. Selain biaya tambat labuh dan retribusi kebersihan tidak ada lagi kontribusi kapal asal Tanjung Balai itu untuk Pemprov Jatim.

Bagaimana dengan kehadiran PP Popoh Tulungagung dan Grajagan Banyuwangi? Dari pengamatan berulangkali ke lokasi. Kesimpulannya kedua pelabuhan tidak layak dibangun untuk skala besar. Popoh berada di lokasi yang sangat sempit untuk sebuah pelabuhan perikanan. Posisinya berhimpitan dengan area wisata bahari pantai Popoh. Jumlah nelayan dan kapal yang ada tidak signifikan bisa memberikan kontribusi besar untuk masyarakat sekitar dan sumbangan PAD.

Perlu dipertanyakan studi kelayakan PP Popoh yang dalam tiga tahun terakhir ini menghabiskan dana Rp 88, 2 miliar. Tahun 2017 mendapat kucuran dana Rp 33,1 M, tahun 2018 sebesar Rp 35,1 M dan tahun 2019 Rp 20 M. APBD 2020 sudah menganggarkan kembali infratruktur Popoh Rp 18,6 M dan sempat tayang di LPSE sejak awal bulan April 2020.

DKP Jatim dalam tiga tahun terakhir giat membangun sejumlah infrastruktur pelabuhan. Termasuk melakukan studi kelayakan PP baru seperti di Watu Ulo, Jember, Tegalrejo Tempursari Lumajang, Kangean Sumenep, Karangagung Tuban, serta membangun PP Ngemplakrejo Kota Pasuruan tahun lalu senilai Rp100 M. Pada Tahun 2017 DKP memperoleh kucuran anggaran signifikan Rp 774,7 M, kedua terbesar setelah Dinas PU Bina Marga, tahun 2018 Rp 682,2 M dan tahun 2019 sebesar 575,2 M. Sebagian besar diperuntukkan pembangunan infrastruktur pelabuhan.

Salah satu pelabuhan yang dibangun dan termasuk muka baru yaitu PP Grajagan, Banyuwangi. Lokasi Grajagan berada di antara Muncar dan PP Pancer di ujung Selatan Banyuwangi. Selain menjadi daerah tujuan wisata bahari, Grajagan menjadi pusat berlabuhnya perahu penangkap baby lobster terbesar di Jawa Timur. Terdapat kurang lebih 600 perahu cadik dilengkapi lampu penerang di atapnya yang memanfaatkan area pelabuhan yang sudah menghabiskan dana Rp 96,4 M sejak pertama kali dibangun tahun 2017. Sementara jumlah hasil produksinya sangat minim.
Pemprov Jatim selayaknya mengevaluasi pembangunan sejumlah pelabuhan perikanan. Pelabuhan yang menghadap Selat Madura seolah dipaksakan mengingat selat ini sudah overfishing sejak 15 tahun lalu dan menjadi areal potensi konflik antarnelayan. Dananya lebih bermanfaat untuk program budidaya yang dalam 5 tahun terakhir ini produksinya menggeliat. Salah satu tantangan DPK yaitu menstimulan penjualan hasil tangkapan nelayan maupun budidaya dengan harga bersaing dan mampu menstabilkan harga ikan di saat booming. Hal lain yang kerap menjadi sorotan pegiat lingkungan, bahwa pencemaran lingkungan oleh limbah tambak udang lepas kontrol. Ratusan petak tambak udang cetakan baru sudah terbukti tidak ramah lingkungan juga tidak memiliki izin akan tetapi minim tindakan.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: