Demi Pendidikan Bangsa, Pernah Tolak Rp 1 Miliar dari Warga Asing

4-Oei-Hiem-HwieKota Surabaya, Bhirawa
Seperti yang dikatakan Presiden Indonesia pertama, IrSoekarno ‘Jangan Pernah Lupakan Sejarah’. Mantan wartawan Trompet Masjarakat pada 1962 yang dikenal dengan Soekarno sentries masih menjaga amanat itu.  Dia adalah Oei Hiem Hwie yang pernah ditugasi untuk interview langsung Bung Karno di Jakarta pada 1964.
Begitu memasuki Perpustakaan Medayu Agung di Jl Medayu Selatan IV Surabaya, di sebelah kanan terpajang foto hitam putih Bung Karno dalam satu pigura besar. Foto tersebut merupakan karya dari sang pemilik dan pengelola perpustakaan, Oei Hiem Hwie, saat dia masih bekerja sebagai wartawan di harian Trompet Masjarakat.
Di sebelah pigura, satu kotak kaca memuat versi kecil foto tersebut, bersebelahan dengan foto Oei muda pada saat mewawancarai Bung Karno. Di sela-sela berbagai dokumen, tertata beberapa kantong kecil berisi butiran merica, cengkeh, dan silika untuk menyerap kelembapan dan mengusir serangga.
Kotak itu juga memuat satu piringan hitam dan kaset-kaset berisi pidato Bung Karno, antara lain pada peringatan Hari Kemerdekaan ke-6 di halaman Istana Negara, dan di depan mahasiswa Unair pada 1959. Di sebelahnya lagi, tampak foto Haji Masagung, seorang Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan perpustakaan Yayasan Medayu.
Rumah yang berada di kawasan Rungkut  ini, tak nampak sebagai perpustakaan. Maklum di depan rumah hanya tertulis, Yayasan Medayu Agung Surabaya. Namun saat berada di dalam rumah, baru kita tahu tempat itu adalah perpustakaan. Tumpukan buku, majalah dan koran berjajar rapi di rak-rak tinggi.
Meski perpustakaan itu layaknya sebuah rumah biasa, namun siapa sangka di tempat itu banyak tersimpan buku-buku bersejarah dan kuno yang tiada ternilai. Beberapa buku kuno yang diletakkan di dalam etalase itu di antaranya, Staatsblad Nederlandsch Indie yang dicetak 1891 dan 1893. Adapula buku Oud Batavia, karangan De Haan yang dicetak 1935, dan Oud Soerabaia pada 1932.
Bahkan, ada sebuah catatan asli dari tulisan tangan Pramoedya Ananta Toer, tentang salah satu karyanya, yaitu Bumi Manusia. Catatan yang tersimpan rapi di etalase kaca ini ditulis di kertas bekas wadah semen. Dan keberadaan perpustakaan yang bernaung di bawah Yayasan Medayu Agung ini memang tak bisa dilepaskan dari sosok Oei Hiem Hwie dan sebaliknya.
” Saya waktu jadi tahanan politik selama lima tahun selalu pindah-pindah. Dan terakhir saya dibuang di Pulau Buruh yang letaknya di daerah Ambon bersama 3.000 orang. Di situ saya bertemu Pramoedya Ananta dan belajar tentang perjuangan, sejarah Indonesia. Dan sebelum saya lepas dari tahanan politik saya dikasih catatan yang berjudul ‘Bumi Manusia’ dan diberi amanah untuk menjaganya,” cerita Oei Hiem Hwie, Pengelola Perpustakaan Medayu Agung ketika ditemui Bhirawa di ruang kerjanya.
Saat berbincang di perpustakaan ini, pria yang lahir pada 26 November 1938 ini bertutur, bahwa koleksi bukunya yang lengkap ini berawal dari pahit getir hidupnya saat masih muda. “Awalnya saya punya banyak koleksi buku berharga. Namun, sebagian sudah dibakar pada saat pemerintah Orde Baru, dan sisanya saya simpan di plafon rumah agar tidak dirampas semuanya,” terang Oei Hiem Hwie.
Bahkan pada  era 1980 an, ada dua orang Australia yang datang ke rumahnya secara tiba-tiba. Mereka tertarik dengan koleksi buku yang dimiliki Hwie dan ingin membeli semua buku dengan nilai Rp1 miliar. Keduanya bisa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang lancar.
“Sebenarnya hati saya tergoda untuk menerima tawaran itu. Namun salah satu teman saya Ongko Tikdoyo memberi usul bagaimana jika buku-buku itu dijadikan perpustakaan saja,” ceritanya.
Maka dari situlah, mantan wartawan yang kini berusia 76 tahun ini tergerak hatinya untuk mendirikan perpustakaan demi kepentingan pendidikan bangsa. Dia ingin generasi  mendatang tahu sejarah bangsa.
Dedikasinya mengoleksi berbagai buku yang sampai saat ini berjumlah lebih dari 9 ribu buah ini, juga didanai beberapa pengusaha lewat Yayasan Medayu Agung yang mengelola perpustakaan tersebut. Dedikasi itu rupanya didengar Pemkot Surabaya, dan pada 2004 dia mendapatkan Surabaya Academy Award atas potensi masyarakat untuk pelestarian dan pencerahan budaya.
Oei Hiem Hwie lahir di Malang pada 24 November 1935. Ayah Oei dari Hokkian. “Kawin sama ibu saya, orang Jawa Tengah. Ibu saya itu orang Qiao Shen, Tionghoa sini, peranakan, terus pindah Malang, aku lahir,” jelasnya.
Sebelum Oei menjadi wartawan, dari kecil ia sudah hobi mengoleksi buku dan mengklipingnya. Selain itu, dia juga mewarisi banyak buku kuno dari keluarganya. “Ada banyak tinggalane engkong. Engkongku itu yo, engkong dari papa, dari ibu, itu…. konco Belandane banyak. Pas Belanda jatuh, Belanda pulang, buku-bukune dikekno,” tambahnya dengan logat Jawa.
Pada 2005 silam, perpustakaan itu mendapat pengakuan sebagai perpustakaan sah di bawah asuhan perpustakaan umum Pemkot Surabaya. Bahkan MURI turut pula memberikan penghargaan pada Oey Hiem Hwie sebagai kolektor surat kabar terlengkap sejak awal terbit. [geh]

Tags: