“Demo” Obral Ayam

foto ilustrasi

Daging, dan telur ayam telah menjadi ikon favorit menu makanan sehari-hari. Sekilas beternak ayam bisa menjadi ikon nafkah penghasilan keluarga, terutama di pedesaan. Tetapi realita perdagangan hasil unggas malah bisa merugikan peternak. Selama pandemi harga daging, dan telur ayam, merosot tajam. Sedangkan harga pakan (jagung) melonjak tajam. Peternak ayam skala kecil (mandiri), sampai jual obral sangat murah, asal cepat laku. Selanjutnya berhenti beternak ayam!

Mandeg-nya peternakan ayam, niscaya menggerus lapangan pekerjaan tingkat grass-root. Buntutnya, masyarakat akan kehilangan “harga ideal” daging, dan telur ayam. Harga ke-ekonomi-an yang menjamin keberlanjutan usaha peternakan. Harga daging, dan telur ayam, akan dikendalikan industri besar. Bisa jadi pemerintah akan “dipaksa” impor ayam. Maka pemerintah (pusat hingga daerah) perlu seksama merespons “demo” jual obral ayam oleh peternak ayam mandiri.

Aksi jual obral ayam (hidup), dan telur telah terjadi selama dua bulan berturut-turut. Terutama di sentra peternak ayam mandiri di Kalimantan Utara, dan di seantero Jawa. Di Jawa Timur sebagai sentra ayam nasional, “demo” jual obral terjadi di Kediri, Blitar, Ponorogo, dan Madiun. Solusi jangka pendek bisa dilakukan oleh pemerintah daerah (propeinsi serta kabupaten dan kota. Antaralain dengan cara memborong telur ayam untuk dibagikan sebagai bantuan sosial (Bansos).

Di pasar tradisional Surabaya harga ayam potong sebenarnya relatif stabil (Rp 32 ribu per-kilogram). Tetapi harga di tingkat peternak jeblok. Konon, rumah potong ayam (RPA) dalam keadaan penuh sehingga bisa menurunkan harga di tingkat peternak gurem. Maka pemerintah (Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian) seyogianya menyidak stok daging ayam di RPA. Karena dilaporkan penyimpanan daging ayam sampai menyewa cold storage untuk menyimpan daging ayam beku yang menggunung.

Laporan itu menyebabkan peternak ragu-ragu mengirim. Begitu pula KPPU, perlu mencermati stok melimpah di RPA. Isu over supply, bisa disebarkan bagai fakta hoax. Sangat mudah dilakukan oleh sindikat makelar daging ayam potong. Karena “titipan” di RPA yang nampak menggunung bisa menggertak peternak mandiri (skala rumahan). Sehingga peternak mandiri akan menjual obral live bird (ayam ras siap potong).

Isu over supply, bisa disebar bagai fakta hoax. Sangat mudah dilakukan oleh sindikat makelar daging ayam potong. Karena “titipan” di RPA yang nampak menggunung bisa menggertak peternak mandiri (skala rumahan). Sehingga peternak mandiri akan menjual obral live bird. Saat ini harga live bird hanya senilai Rp 10 ribu per-kilogram. Berdasar patokan Kementerian Perdagangan berkisar Rp 20 ribu per-kilogram.

Terdapat selisih senilai Rp 10 ribu per-kilogram. Angka “ke-mahal-an” yang sangat tinggi, diduga dinikmati makelar (pedagang besar). Dengan omzet (berdasar demand kebutuhan nasional) mencapai 254.273 ton per-bulan. Maka selisih “ke-mahal-an” yang dinikmati makelar sebesar Rp 2,5 trilyun lebih, per-bulan. Ironisnya, harga live bird yang anjlok, peternak mandiri menderita kerugian sebesar Rp 700 milyar per-bulan. Terutama disebabkan harga pakan melonjak.

Usaha perunggasan nasional sudah sangat maju, dengan tren pertumbuhan 8,13%. Diperkirakan menghasilkan sebanyak 70 juta live bird per-tahun. Sejak tahun 2016 selalu surplus. Sebanyak 20% live bird dihasilkan dari kandang peternak gurem (mandiri). Sisanya sebesar 80% (setara 54 juta ekor) dikerjakan perusahaan berskala nasional, BUMN, dan swasta skala internasional.

Produksi melimpah. Pemerintah perlu segera mengatur tataniaga daging, dan telur ayam. Usaha skala besar swasta nasional, patut didorong memasuki pasar ekspor. Sedangkan hasil peternak mandiri wajib diborong habis untuk konsumsi dalam negeri.

——— 000 ———

Rate this article!
“Demo” Obral Ayam,5 / 5 ( 1votes )
Tags: