Desak Pemerintah Atur Jaringan Fiber Optic

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mendesak pemerintah untuk mengatur jaringan “fiber optic” dengan regulasi, karena teknologi kabel bawah laut yang menggunakan serat kaca/plastik untuk pengiriman data itu sudah tidak membebani APBN atau “zero budget”.
“Selama ini, jaringan fiber optic (FO) itu zero budget, karena dibangun swasta atau BUMN, tapi kabel laut yang investasinya mahal itu perlu diatur dengan regulasi, karena tanpa regulasi akan menyebabkan persaingan antarkontraktor FO yang tidak sehat dan juga kesenjangan kawasan barat-timur Indonesia yang tajam,” kata komisioner BRTI Nonot Harsono di Surabaya, Selasa (9/9).
Di sela diskusi panel bertajuk “Peran ICT dalam Infrastruktur Ekonomi dengan Zero Budget APBN” yang dibuka Wakil Rektor IV ITS Prof Dr Darminto MSc di Rektorat ITS Surabaya, Nonot Harsono yang juga penulis buku “Telekomunikasi untuk Kemakmuran Bangsa” itu, menjelaskan persaingan antarkontraktor FO dan kesenjangan barat-timur itu merugikan rakyat.
“Karena itu, pemerintah melalui Kominfo perlu mengeluarkan regulasi FO itu. Intinya, regulasi yang memberikan pembatasan dalam pembangunan kabel bawah laut untuk wilayah tertentu atau regulasi yang menertibkan pembangunan kabel bawah laut agar tidak tumpang tindih dalam satu wilayah, sebab FO dalam satu rute itu bisa dipakai bersama,” katanya.
Selain itu, regulasi untuk pemerintah daerah agar daerah memberi kemudahan pada wilayah yang dilintasi pembangunan FO. “Regulasi tentang kemudahan yang diberikan pemerintah daerah itu untuk menghindari pungutan mulai dari masyarakat, pemerintah daerah, DPRD, bahkan PT KAI yang wilayahnya terlintasi. Padahal, pembangunan FO itu bukan barang mewah lagi sejak tahun 2008,” tambahnya.
Dalam diskusi panel yang didukung Bloomberg Businessweek itu, Nonot mencontohkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 1 tahun 2010 tentang Jaringan Telekomunikasi sudah ada, tapi regulasi itu belum maksimal, karena pemerintah belum melakukan pembatasan kontraktor FO dalam satu rute, sehingga mubazir karena berlebihan.
Selain itu, tanpa adanya regulasi menyebabkan FO hanya tersambung pada Ring Sumatera, lalu Kalimantan dan Sulawesi belum semuanya terhubung. Bahkan, di kawasan Maluku-Papua hanya ada jaringan utama yang juga hanya ada pada titik-titik tertentu, sehingga terjadi kesenjangan dalam bidang TIK.
“Jadi, regulasi FO dari pemerintah itu sangat penting untuk menjamin kesehatan pelaku usaha di bidang telekomunikasi, sehingga masyarakat tidak dirugikan, karena infrastruktur TIK (ICT) itu sangat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. TIK itu mendekatkan konsumen dan produsen secara ‘online’ (daring/dalam jaringan),” ujarnya.
Selain itu, TIK (melalui infrastruktur TIK yang baik) akan mendorong pelayanan publik yang semakin baik dan terbuka akibat adanya peran TIK melalui e-government, e-budgeting, e-procurement, e-edukasi, dan e-system, yang selama ini juga menjadi “target” dari pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Jokowi-JK.
Senada dengan itu, pembicara lain yakni Dr Apol Pribadi (ITS) dan Tony Dwi Susanto PhD (ITS) serta Wisnu Wijaya (Managing Editor dari Bloomberg Businessweek) mendukung perlunya ada “roadmap” TIK dari pemerintah melalui regulasi yang ada, agar infrastruktur TIK yang ada benar-benar optimal dan bermanfaat untuk kegiatan pemerintah dan masyarakat.
Sementara itu, Wakil Rektor IV ITS Prof Dr Darminto MSc menegaskan bahwa peran TIK tidak hanya sebatas dalam telekomunikasi, namun TIK juga berperan dalam bidang maritim, bahkan sinergi bidang TIK dengan bidang maritim akan mendukung konsep “Pendulum Nusantara” yang digagas Pelindo II atau “tol laut” yang digagas Presiden terpilih Jokowi.
“TIK itu bisa menghitung lalu lintas kapal, memantau kinerja pelabuhan, mencegah benturan atau kecelakaan kapal, dan sebagainya, sehingga gagasan Pelindo II untuk ‘Pendulum Nusantara’ dari Belawan hingga Sorong atau ‘Tol Laut’ dari berbagai kepulauan di Nusantara akan benar-benar terwujud dengan baik,” katanya.
Apalagi, Pelindo II telah mengajak enam universitas untuk melakukan studi kelayakan kawasan terkait “Pendulum Nusantara” itu, yakni Unsri, ITB, UGM, Undip, ITS, dan Unhas.
Misalnya, ITS akan merumuskan konsep jembatan untuk sejumlah selat dan menjajaki potensi energi kelautan pada sejumlah kepulauan. “Insya Allah, studi kelayakan kawasan yang didukung Pelindo II dengan dana sebesar Rp500 juta untuk setiap universitas itu akan tuntas dalam tahun ini, sehingga kita benar-benar siap memasuki MEA 2015 melalui ‘Pendulum Nusantara’ yang terpola dan kebetulan sangat pas dengan gagasan ‘Tol Laut’ dari pemerintahan baru kita,” katanya. [tam,ant]

Tags: