Dewasa Berkomunikasi Bersama Menteri Agama

foto ilustrasi

Di tengah konsentrasi publik dalam berusaha memerangi penyebaran dan penularan Covid-19 yang masih masiv terjadi di negeri ini, tiba-tiba publik harus dikagetkan dan digemparkan dengan adanya pernyataan yang datang dari Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi tentang “good looking”, yang diungkapkan untuk menggambarkan pola masuknya radikalisasi yang notabenenya paham radikal bisa masuk dari orang-orang yang berpenampilan baik hingga orang yang memiliki pengetahuan agama yang cukup.

Sontak, pernyataan tersebut berprospek mematik kontroversi yang sejatinya tidak perlu. Namun, karena ada unsur “bawa perasaan” (Baper) maka pernyataan tersebut bisa terartikulasi lain. Pasalnya, secara tidak langsung bisa menyinggung orang yang tidak mempunyai niat buruk alias orang baik-baik. Bahkan, pernyataan Menag Fachrul dapat saja berpotensi memenuhi unsur pidana yaitu menebarkan kebencian terhadap sekelompok orang yang berdasarkan Ras, Etnis dan Agama. Hal itu diatur dalam Pasal 16 Jo. Pasal 4 huruf b angka 1 Undang-undang Republik Indonesia No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi ras dan etnis.

Merujuk dari unsur pindana tersebut, setidaknya kita publik bisa belajar bahwa suatu pernyataan atau ungkapan bisa saja berdampak lebih luas bahkan fatal. Oleh sebab itu, unsur kehati-hatian dalam komunikasi publik mutlak dibutuhkan agar tidak memperkeruh situasi. Belajar dari penyataan Menag semestinya bisa dihindari, karena bisa jadi secara materi komunikasi yang diungkapkan oleh Menag tidaklah salah. Bisa saja faktanya, sistem perekrutan pelaku aksi radikalisme menggunakan langkah seperti Menag ungkapkan. Sebab, untuk mengetahui semua itu, tentu bukanlah hal yang sulit bagi Menag sebagai Jenderal TNI (Purn), yang notabenenya memiliki basis data yang kuat dari berbagai pihak.

Namun, modal data saja ternyata tidaklah cukup. Melalui data yang termiliki, sekiranya perlu dikemas dengan bahasa komunikasi publik yang tepat. Berlaku sebaliknya, jika data yang ada disampaikan dengan komunikasi yang tidak tepat, justru yang muncul adalah respons negatif. Oleh sebab itu, data yang ada perlu terintegrasikan dengan penguasaan dan pemahaman komunikasi publik secara baik dan tepat agar apa yang harus terungkapkan bisa menekan tingkat kesalahpaman di tengah-tengah publik. Jadi, kontroversi Menag terkait “good looking”, semestinya tidak terjadi manakala kita publik bersama-sama bisa dewasa dalam berkomunikasi.

Ani Sri Rahayu
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

Tags: