Dilema UU Informasi dan Transaksi Elektronik

Oleh :
Moh Rifli Mubarak
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin

Jika menilik pada pandangan Antony Mayfield (2008), media sosial adalah tentang menjadi manusia. Maka dari hal ini, media sosial bisa menjadi wujud personifikasi yang sangat luas. Terlebih lagi, ada enam jenis media sosial yang banyak digunakan oleh netizen dalam berinteraksi di dunia maya (Andres M. Kaplan dan Michael Haenlein, 2010) satu diantaranya tidak asing lagi yaitu Social Networking Sites yang terdiri dari Facebook, Twitter, Instagram, dan masih banyak lagi yang mengandung konten publikasi diri berupa foto, tulisan, dan semacamnya. Ironis, fitur-fitur tersebut dapat menjadi tempat lahirnya ujaran kebencian dan bersifat potensial untuk bisa melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik pada aktivitas di dalamnya.

Seperti munculnya eksistensi hate speech dan hoaks yang bertebaran di media sosial adalah contoh konkritnya. Latar belakang pengguna media sosial yang heterogen membuat komentar dan postingan yang muncul dari setiap individu semakin berwarna. Indonesia saat ini semakin darurat cyberbullying. Ini menjadi urgensi dan kekhawatiran bagi kita selaku pengguna media sosial untuk bersama-sama melakukan langkah persuasif antar sesama untuk bisa menggunakan media sosial dengan bijak.

Terkait cyberbullying dan body shaming, pendiri PurpleCode, Dyhta Caturani, menyebut perempuan lebih rentan mengalami perundungan di media sosial. Mereka lebih kerap dan berpotensi untuk mendapatkan distraksi dan ucapan ofensif terkait atribut seksual atau referensi lain yang bertujuan untuk menghina atau menjatuhkan.
Dalam dunia psikologi juga mengatakan bahwa fenomena ini disebut sebagai Trolling Effect. Efek ini terjadi dalam media online dan disebabkan oleh beberapa faktor seperti anonimitas, minimnya otoritas, dan tidak bertemunya antar individu melahirkan budaya kebencian. Dalam hal inilah, ragam kebencian yang melahirkan cyberbullying dan body shaming merajalela dalam ruang media sosial kita tanpa mengenal batasan apapun yang melahirkan kebebasan dengan konotasi negatif.

Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), pada tahun 2017 saja terdapat 800.000 situs yang mengandung hoax, hate speech, dan konten-konten negatif. Bahkan karena banyaknya ucapan body shaming oleh pengguna media sosial saat ini, tentunya tak asing lagi bahwa diberlakukannya dasar hukum bagi orang yang melakukan body shaming dan dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat 3 Juncto Pasal 45 ayat 3 UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) sebagaimana yang telah diubah dalam UU No. 19 tahun 2016. Pada pasal ini menyebutkan bahwa, “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dapat dipidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.”.
Kemudian jika ditilik lebih jauh, ketentuan ini masuk pada delik aduan yang mengacu pada perbuatan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP dan sejalan dengan alur kebijakan hukum pidana atau disebut dengan penal policy yang tak terpisahkan dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau disebut criminal policy. Hal ini juga menjadi dasar hukum yang sejalan dengan Pasal 315 KUHP sebagai pasal penghinaan ringan yang tentunya berkaitan erat dengan penghinaan terhadap citra tubuh yang berbunyi, “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”.

Namun, dibalik adanya beragam dasar hukum tersebut, terdapat pro dan kontra terkait eksistensi mengenai implementasi sesungguhnya pada dasar hukum tersebut dalam menanggapi kasus cyberbullying khususnya body shaming. Selain pernyataan akan hadirnya dasar hukum tersebut, pelaporan terhadap penghinaan citra tubuh ini sejatinya masih tergolong minim di Indonesia sehingga terkadang, tidak menjadi sebuah kategori ‘pencemaran nama baik’ yang benar-benar berbahaya di kalangan masyarakat pada umumnya. Kemudian, jika mengkritisi dasar-dasar hukum diatas, sebenarnya tidak ada pernyataan yang secara eksplisit dan tegas bahwa pencemaran nama baik yang dimaksud berupa body shaming secara spesifik sehingga masih dapat diartikan secara umum dan terkadang memiliki interpretasi yang multitafsir. Oleh karenanya, terdapat banyak artikel hukum dengan kutipan bahwa pasal dalam UU ITE ini disebut ‘pasal karet’ karena interpretasi yang dimaksud dalam substansi pasal ini masih cenderung bermakna ganda.

Bahkan, hadirnya pasal ini juga dinilai menjadi pengekang kebebasan berekspresi seseorang di media sosial yang pada dasarnya, body shaming juga tergantung dari respons setiap individu apakah mereka merasa dilecehkan secara tulisan ataupun tidak. Maka ada kesulitan yang lahir dalam problematika ini begitupun dalam ranah hukum yang menanggapi persoalan ini secara komprehensif.

Dari penjabaran diatas, perlunya garis-garis batasan yang lebih spesifik dan para penegak hukum harus bersikap sebijak mungkin dalam melihat kasus serupa dengan menjunjung tinggi asas keadilan dan kemanusiaan yang bersifat universal dan berusaha untuk tidak memutuskan keputusan-keputusan pengadilan yang bisa saja berakhir diskriminatif. Begitupun dalam penentuan kejahatan body shaming, sebenarnya dapat dipidana apabila telah memenuhi persyaratan atau kualifikasi kejahatan yang telah hadir sebelumnya. Dalam arti, sesuai dengan prinsip dasar pemidanaan yaitu ultimum remedium atau upaya hukum terakhir, maka ada penegasan bahwa jika ada kasus serupa yang diadukan ke meja pengadilan, penegak hukum harus bisa melihat dan menilik kasus ini secara kontekstual dan apakah layak untuk diberikan hukuman pada pelaku yang bersangkutan.

Kemudian ada dilema lainnya bahwa pada dasarnya, tidak semua orang memiliki pandangan yang sama terkait ‘kerasnya’ body shaming ini. Jika dikaitkan dengan sensitivitas pribadi yang berbeda-beda, maka body shaming dinilai hanya sebagai perbuatan mencela yang telah dianggap lumrah oleh masyarakat sehari-hari seperti halnya kita mengatakan “bodoh”, “tolol”, dan perkataan sejenis yang memang terdengar kasar namun terkadang hanya ditangkap sebagai gurauan semata dan tidak secara kritis menjadi sebuah perbuatan yang dimaksudkan untuk dikategorikan sebagai pencemaran nama baik. Oleh karena itu, mencela bukan kategori tindak pidana dan sebagaimana dimaksud dalam pasal 310 dan 311 KUHP yang menjadi rujukan pasal 27 ayat (3) UU ITE terkait pencemaran nama baik. Sehingga dapat diketahui bersama bahwa body shaming yang dimaksud juga belum bisa memenuhi kriteria secara total terhadap kategori pencemaran nama baik yang dimaksud dalam pasal tersebut.
Ada sedikit dilema dan hal-hal yang perlu dikritisi baik dari body shaming itu sendiri maupun respons para legislator untuk bisa menyusun perundang-undangan yang lebih jelas dan sesuai dengan kondisi perkembangan zaman dan urgensi yang terjadi saat ini.

Tujuan fundamental saya dalam opini ini selain mengkritisi eksistensi hukum dan penal policy mengenai body shaming, diharapkan bisa membentuk kesadaran internal untuk bisa saling menyebarkan virus positif dan bijak dalam berjejaring dan menggunakan fitur media sosial karena dari hal kecil itulah, proses perundungan di media sosial dapat diminimalisir karena atas kehendak dari setiap masing-masing individu untuk bisa mengontrol tindakan yang ia atau mereka lakukan kedepannya.

———— *** —————

Tags: