Dua Saudara Lumpuh, Terbelakang Mental Tinggal di Gubuk Bekas Kios Pasar

Tak Pernah Dapat Bantuan Pemerintah
Sumenep, Bhirawa
Malang benar nasib dua bersaudara, Sumaryono (26) dan Irwan (16), warga Dusun Palegin, Desa Longos, Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep. Mereka menderita lumpuh permanen sejak lahir. Kakak beradik yang tinggal digubuk reyot, bekas kios pasar milik pemerintah setempat itu hanya diasuh oleh neneknya, Misnati dan kakeknya Abdurrahman yang sudah tua renta. Ironisnya, selain lumpuh, keduanya  mengalami keterbelakangan mental.
Abdurrahman, kakek Sumaryono dan Irwan mengatakan sejak Sumaryono berumur 10 tahun, ibunya Sumiyati meninggal dunia. Sejak itu pula, keduanya dirawat oleh nenek dan kakeknya. Sedangkan ayahnya kawin lagi dan hidup bersama keluarga barunya. “Yang merawat keduanya ya kami berdua karena bapaknya sudah berkeluarga lagi,” kata Abdurrahman,” Senin (24/2).
Dia memaparkan, selama ini dirinya tidak pernah mendapat bantuan apapun dari Pemkab Sumenep. Hanya saja, sesekali ada warga dan organisasi perempuan yang datang untuk memberi bantuan berupa sembako, namun bukan bantuan resmi seperti BLT (Bantuan Langsung Tunai). “Selama ini bantuan hanya datang dari perorangan yang kasihan melihat kondisi cucu kami.  Kalau dari pemerintah belum ada,” tuturnya.
Dia menyampaikan, sejak rumahnya roboh diterjang angin, ada bantuan dari pihak kecamatan berupa batu. Tapi karena tidak ada biaya untuk membangunnya, batu itu dibiarkan begitu saja menumpuk di samping kanan rumah yang berdinding sesek (bamboo, red) ini. “Kami hanya dapat bantuan batu dari  kecamatan, tapi kami kan tidak punya dana untuk membeli bahan material lainnya, ya akhirnya kami biarkan begitu saja,” imbuhnya.
Agar bisa berteduh saat terik mata hari dan hujan, kakek dan nenek beserta dua cucunya yang mengalami keterbelakangan mental itu terpaksa menggunakan bekas kios pasar desa, meski di sana-sini bolong. “Kami sekarang tinggal di kios bekas pasar desa yang tidak dipakai, lumayan untuk berteduh” tegasnya.
Untuk menyambung hidup, sang nenek, Misnati terpaksa berjualan rujak dan kopi di sebuah warung di dekat gubuk reyot yang mereka tempati itu.
“Dari hasil berjualan rujak dan kopi tiap hari ini, kami bisa menyambung hidup. Pendapatan tiap harinya tidak tentu, kadang dapat Rp 30 ribu, bahkan pernah hanya Rp 10 ribu per harinya,” tuturnya.
Dia berharap  ada uluran tangan dari semua pihak untuk memberikan bantuan, agar dapat membangun rumahnya, karena gubuk yang ditempati sekarang kerap bocor pada musim hujan. “Kami hanya berharap secepatnya dapat rumah yang layak huni,” harapnya.  [sul]

Tags: