Egrang di Candi Pangkuan

Oleh :
Amelia Yuliyanti

Seno, Andi, Bandi dan Gumelar adalah anak desa sebelah yang kerap bermain di sekitar Candi Pangkuan. Langit yang biru kian menguning keoren-orenan, menandakan hari menuju petang. Mereka tengah bermain egrang bersama di sekitar Candi Pangkuan. Candi Pangkuan adalah candi yang terletak di desa Cilibur, Kecamatan Paguyangan. Di sana terdapat banyak kera yang wira-wiri di sekitar area candi.
“Ayo pulang, ini sudah waktunya adzan maghrib.” Seru Seno kepada Andi dan Gumelar yang tengah asyik bermain egrang, sedang Bandi tengah duduk kelelahan sambil mengibas-ibaskan tangannya bak kipas.
“Nanti dulu, kita kan belum ngasih makan kera.”Sahut Gumelar meletakan egrangnya lalu mengeluarkan dua buah pisang murlin dari dalam kantong celana SD yang ia kenakan.
“Iya benar, ini aku juga bawa pisang banyak. Kalau kamu mau pulang ya pulang saja Sen. Cepat Gum Ban katanya mau ke candi!” seru Andi sambil membuka kantong kresek yang berisi pisang.
“Sudah Sen, mending nanti saja lagian belum adzan kenapa buru-buru pulang” ujar Bandi yang tengah menikmati pisang yang dibawa oleh Andi.
“Ya sudah terserah kalian saja, aku pulang duluan” ucap Seno sembari meninggalkan teman-temannya. Meskipun berucap demikian, Seno nampak ragu meninggalkan Bandi, Andi dan Gumelar. Pasalnya kemanapun mereka pergi mereka selalu bersama-sama. Begitu pula hari ini, bermain egrang ke Candi Pangkuan adalah agenda mereka. Biasanya mereka hanya bermain egrang di sekitar desa saja, tapi karena inisiatif dari Gumelar yang ingin memberi makan kera maka mereka memutuskan untuk bermain ke Candi Pangkuan, yaitu hari ini. Hari kamis selepas pulang sekolah diniyah.
Letak Candi Pangkuan dan desa mereka tak jauh, mungkin hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja jika jalan kaki.
“Sudah ibu bilang, kalau ke sana jangan sepulang sekolah diniyah, tetap saja membantah.” seru ibu yang sedang mengupas jagung hasil panen hari ini.
“Iya, bu. Maaf.” Seno mununduk tak berani menatap mata sang ibu.
“Cepat makan dan mandi!”
“Iya bu” Seno masuk ke rumah. Rumah masih petang, tak ada suara apapun di dalam rumah.
Cekrekkk.. suara lampu dinyalakan dengan bantuan kayu. Rupanya di dalam rumah ada Jidan, adik Seno yang berumur lima tahun.
“Jangan pakai kayu, nanti saklarnya rusak” ucap Seno seraya mengambil kayu yang dipegang oleh adiknya. Jidan tak menjawab, ia hanya tersenyum sambil memegang dot yang berisi air teh.
Tok tok tok…
Tok tok tok…
Suara ketukan pintu yang semakin lama semakin cepat temponya.
“Seno sudah pulang?” Suara ngos-ngosan Bu Erni, Ibu sikembar Bandi dan Andi.
“Sudah, tuh sedang mengajari Jidan alif ba ta” Ucap ibu sambil menunjuk Seno dan Jidan yang duduk berhadap-hadapan di depan televisi.
“Loh? bukannya mereka tadi sore bermain bersama?” Tanya Bu Erni yang terheran-heran, sebab anaknya tak kunjung pulang padahal hari sudah mulai malam.
“Seno kamu tadi bermain dengan si kembar?” Tiba-tiba Seno menghentikan aktivitasnya dan menghampiri ibunya.
“Iya, tadi sepulang sekolah diniyah. Aku, Gumelar, Andi dan Bandi pergi membawa egrang ke Candi Pangkuan. Tapi, karena hari sudah sore aku memutuskan pulang lebih dulu. Aku sudah mengajak mereka, tapi tak ada yang mau pulang bersamaku” jelas Seno panjang kali lebar bak luas persegi.
“Kau pulang jam berapa Sen?” tanya Bu Erni yang sudah mulai tidak teratur suaranya.
“Sekitar jam setengah enam bu, karena tak lama setelah saya pulang adzan maghrib berkumandang” jawab Seno sedikit terbata-bata. Barangkali ia juga takut gara-gara ia teman-temannya tak juga pulang.
“Bu mendingan kita ke rumah Bu Kom saja dulu. Kita tanya apakah Gumelar sudah pulang atau belum. Barangkali si kembar sudah pulang dan pergi ke rumah Gumelar” Ucap Ibu Seno sambil menenangkan Bu Erni.
“Huh, ya sudah saya ke sana dulu. Terima kasih ya Seno” Tak lama setelah Bu Erni pergi, ibu pun mengejarnya.
“Ibu ke luar dulu, jangan ke mana-mana dan jaga si Jidan” kalimat yang diucapkan ibu sebelum pergi meninggalkanku dan Jidan. Iya, kami hanya tinggal bertiga. Ayah merantau di Jakarta, beliau hanya pulang ketika tahun baru atau lebaran. Itu pun jika pulang, jika tak pulang maka hanya uang transferan saja yang kami terima.
“Gumelar juga belum pulang. Saya kira ia bermain di rumah Seno” jawab Ibu Gumelar. Ibu Gumelar adalah pekerja di salah satu pabrik sabun. Setiap hari ia berangkat jam 8 dan pulang ketika matahari sudah terbenam. Untuk pekerjaan rumah biasanya dikerjakan oleh suaminya. Suami Bu Gumelar tidak bekerja. Lebih tepatnya ia adalah pekerja yang terkena dampak PHK besar-besaran di pabriknya. Sejak pandemi memang banyak warga desa ini yang pulang ke desa karena di PHK di kota. Alhasil, warga desa ini banyak yang menganggur.
“Ya sudah kalau begitu lebih baik kita ke Candi Pangkuan saja, karena menurut Seno mereka bermain ke candi” ucap Bu Erni sambil bergegas memakai sandal swallow nya.
Bu Erni, Ibu Gumelar, dan Ibu Seno memutuskan pergi ke Candi Pangkuan. Di tengah perjalanan menuju candi, terdengar suara Bandi yang merengek minta pulang. Suara itu berasal dari warung kecil yang terletak di kanan jalan dengan kursi panjang yang ada di depannya. Rupanya Andi, Bandi dan Gumelar sedang duduk di warung dengan egrang yang tergeletak di sebelah mereka. Baju mereka basah kuyup, kantong kresek yang tadi sore berisi pisang kini sudah beralih fungsi untuk menutupi kepala Andi.
“Cepat pulang, sudah saatnya sholat isya!” seru ibu si kembar.

Biodata Penulis

Amelia Yuliyanti, perempuan kelahiran Brebes, Jawa Tengah. Merupakan mahasiswi prodi Pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Peradaban. Hobi menonton drama Korea dan menulis. Beberapa karyanya berupa puisi dan cerpen yang terhimpun dalam buku antologi, novel Saudade, serta artikel opini.

——————- *** ——————

Rate this article!
Egrang di Candi Pangkuan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: