Gelontor Anggaran CoViD-19

Rakyat (dan Presiden kecewa), negara menyediakan anggaran besar untuk penanganan wabah pandemi CoViD-19, tetapi realisasinya sangat rendah. Serapan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sangat rendah (4,68%). Begitu pula anggaran kesehatan masih terealisasi 1,53%. Padahal masa krisis dibutuhkan percepatan kerja, tetapi jajaran aparat bekerja “biasa-biasa saja.” Rendahnya serapan anggaran menyebabkan penanganan CoViD-19, dan dampak ekonomi bagai tak bergerak.

Masa krisis wabah pandemi virus corona telah berjalan 4 bulan. Tetapi penambahan kasus positif CoViD-19 masih membubung tinggi. Begitu pula realisasi jaring pengaman sosial menimbulkan kegaduhan sosial. Banyak warga terdampak tidak memperoleh haknya (bantuan sosial, Bansos). Data dampak ekonomi CoViD-19 berbasis RT (Rukun Tetangga), dan RW (Rukun Warga), ter-realisasi sangat minimalis. Menyebabkan Ketua RT, RW, dan Kepala Desa, pekiwuh (serba salah) mendistribusikan Bansos.

Sampai 12 pekan hidup dalam kekang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), Bansos masih terealisasi sebesar 34,06%. Padahal jaring pengaman sosial dipagu sebesar Rp 203,9 trilyun. Sehingga masih terdapat sisa anggaran sebesar Rp 134,45 trilyun yang belum disalurkan. Sudah banyak pemerintah kabupaten dan kota memperoleh izin pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Tetapi masih banyak masyarakat belum memperoleh insentif sosial.

Jaring pengaman social memiliki payung hukum kokoh, berupa Perppu Nomor 1 taun 2020. Perppu dalam konsiderans “menimbang” huruf b, menyatakan “… sehingga diperlukan berbagai upaya Pemerintah untuk melakukan penyelamatan kesehatan dan perekonomian nasional, dengan fokus pada belanja untuk kesehatan, jaring pengaman sosial (social safety net), serta pemulihan perekonomian … .” Amanat yang sama diulang pada konsiderans “menimbang” huruf d. Serta ditambahkan pada Penjelasan pasal 2 ayat (1).

Anggaran PEN khusus insentif kesehatan, dalam Perppu Nomor 1 tahun 2020 dipagu sebesar Rp 87,55 trilyun. Namun realisasinya masih 4,68%. Ironisnya, hampir seluruh insentif tenaga kesehatan yang telah berjuang bertaruh jiwa raga, belum dibayarkan. Tenaga kesehatan (dokter, dokter spesialis, perawat, bidan, dan petugas alat kesehatan) dan non-teknis kesehatan, banyak yang terpapar CoViD-19, sampai meninggal dunia.

UU Penanggulangan Bencana pada pasal 26 ayat (2), menyatakan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.” Pada bencana non-alam wabah pandemi CoViD-19, tidak setiap orang terpapar virus corona. Tetapi seluruh daerah, dan seluruh masyarakat terdampak wabah virus corona. Kehilangan nafkah sebagai pekerja harian, kelumpuhan sektor usaha mikro dan kecil, serta buruh di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Secara nyata terdapat penambahan jumlah orang miskin baru sekitar 9 juta jiwa.

Perppu Nomor 1 tahun 2020 dalam Bab II tentang Kebijakan Keuangan Negara, memudahkan realiasai anggaran. Pada pasal 2 ayat (1) huruf k, dinyatakan, “melakukan penyederhanaan mekanisme dan simplikasi dokumen di bidang keuangan negara.” Sehingga arus (keluar dan masuk) kas negara bisa cepat (dan mudah) dilakukan. Diharapkan penanganan bencana non-alam CoViD-19 bisa direalisasi tanpa kendala.

Perppu pada pasal 3 ayat (1) juga memberi “ke-leluasa-an” pemerintah daerah (Pemda) propinsi, serta Pemda Kabupaten dan Kota mengelola APBD tahun 2020. Termasuk perubahan alokasi, dan melakukan pengutamaan penggunaan alokasi untuk kegiatan tertentu (refocusing). Terutama bansos (bantuan sosial) yang bersumber dari APBD Kabupaten dan Kota, seyogianya telah dikucurkan mendahului bansos dari pemerintah pusat. Begitu pula APBD propinsi, seolah-olah terdapat sumbatan.

Presiden memerintahkan segera menggelontor anggaran penanganan CoViD-19. Terutama jaring pengaman sosial, dan insentif kesehatan. Diperlukan kinerja extra-ordinary seluruh jajaran Satuan Tugas dengan melibatkan masyarakat.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: