Gotong Royong Menyelamatkan Pendidikan di Masa Pandemi

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bhayangkara (Bhayangkara), Surabaya

Penyelenggaraan pendidikan secara daring (dalam jaringan) sedang menjadi objek ‘bullying’ baru di masyarakat. Melalui forum diskusi hingga obrolan di warung kopi, orang menguliti praktik pembelajaran daring yang dianggap gagal menjawab gelegak kebutuhan belajar siswa. Pembelajaran daring dianggap menjadi beban baru bagi masyarakat di tengah himpitan persoalan covid-19.

Bahkan, pembelajaran daring ikut terseret menjadi ‘tersangka’ ketika muncul persoalan dalam masyarakat. Berita tentang seorang pelajar di Tenggarong Kabupaten Kutai Kartanegoro yang merampok toko emas hanya demi karena ingin membeli smartphone untuk kebutuhan sekolah daring, Kompas (31/7), atau berita seorang siswi SMP di Kepulauan Riau (Kepri) mau menjual diri Rp 500.000 demi bisa membeli kuota internet, Kompas (20/7) adalah beberapa contoh betapa pembelajaran daring telah menjadi kambing hitam atas munculnya kasus-kasus dalam masyarakat. Walaupun tanpa ada pembelajaran daring pun, sesungguhnya kriminalitas yang melibatkan pelajar juga sudah terjadi.

Berita – berita miring seperti di atas kian menambah beban berat penyelenggaraan pembelajaran daring yang hari-hari ini juga sudah banyak mendapat sorotan dan kritikan masyarakat. Mulai dari ketidaksiapan insfrastruktur, SDM hingga ketiadaan kurikulum yang memandunya.

Masa pandemi covid-19 memang telah menggoyahkan konsep pembelajaran yang sudah berjalan sebelumnya. Akibat terpaan covid-19, dunia pendidikan menjadi sektor yang begitu terlihat gagap dalam menjalankan proses pembelajaran. Dampak masa pandemi covid-19 benar benar mengenai jantung pendidikan kita, kegiatan belajar mengajar tidak bisa lagi diselenggarakan secara normal alias tatap muka. Pilihan yang tersedia memang tidak banyak, karena pembelajaran memang tidak boleh terhenti. Dengan demikian, kalau masih ada kekurangan di sana- sini, sesungguhnya inilah harga yang harus dibayar dari kebijakan yang diambil dalam kondisi darurat.

Bolehlah beberapa sekolah begitu sigap dalam menghadapi masa pandemi covid-19. Dengan didukung SDM dan anggaran yang memadai, sekolah sekolah yang tergolong mampu tentu akan dengan mudah melakukan proses adaptasi dengan menerapkan pembelajaran online. Problemnya, berapa besar sih sekolah yang bisa menyelenggarakan pembelajaran daring secara memadai? Bolehlah secara teknis, sekolah bisa saaja membuat aplikasi untuk menyelenggarakan pendidikan secara daring, namun benarkah proses pendidikan yang diberikannya sesuai dengan yang diharapan anak anak dan para orangtua?

Kesiapan Penyelenggara Pendidikan

Harus diakui, wajah pendidikan kita masih menunjukkan terjadinya disparitas di sana-sani. Masih banyak sekolah-sekolah yang menyelenggarakan pendidikan berlangsung seadanya, karena keterbataan SDM dan sarana prasarana, namun juga banyak penyelenggara pendidikan yang berkelas. Nah, persoalan kesenjangan pendidikan yang belum tuntas di masa normal tersebut kini diperparah dengan beban berat akibat pandemi covid-19. Sehingga tidak perlu kaget kalau kemudian kesenjangan dalam penyelenggaraan daring juga masih terlihat di sana-sini.

Awalnya, pembelajaran daring mungkin hanya dianggap sebatas transformasi pendidikan tatap muka digantikan dengan pendidikan secara daring. Namun ternyata perlahan-perlahan terkuak banyak persoalan yang mengiringinya. Setelah beberapa bulan anak anak mengikuti sistem belajar online, nyaring terdengar beragam keluhan, terutama masalah perangkat, kuota dan sinyal internet yang tidak memadai. Bagi siswa yang tinggal di kota besar, akses internet mungkin tidak masalah, tapi tak sedikit orangtua yang harus berjuang mencari biaya untuk membeli tambahan perangkat hingga pengeluaran untuk kuota. Celakanya, akibat kondisi pandemi covid-19 ini ruang moneter para orangtua juga kian terbatas. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim memang membolehkan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) serta Bantuan Operasional Penyelenggaraan (BOP) PAUD dan pendidikan kesetaraan dipakai untuk mendukung kesiapan satuan pendidikan. Dana dapat digunakan untuk pembelian pulsa, paket data, dan/atau layanan pendidikan daring berbayar bagi pendidik dan/atau peserta didik dalam pembelajaran dari rumah. Meski demikian, kendala anak-anak di kabupaten, di pinggiran kota, desa terpencil, adalah akses internet yang kurang bersahabat.

Mereka harus mencari sinyal hingga ke atas gunung agar bisa mengikuti pelajaran daring.

Keterbatasan akses internet/sinyal seluler tentu tidak bisa kalau harus Kementerian Pendidikan dan kebudayaan (Kemendikbud) yang sendirian memikirkannya. Butuh dukungan dan peran serta kementerian lain seperti Kementerian Komunikasi dan Informatik, Kementerian Desa Tertinggal, Kementerian PUPR dan lainnya untuk harus ikut mendukung inftrastruktur penyelenggaraan pendidikan jarak jauh ini.

Kebijakan pemerintah menginstruksikan siswa belajar daring memang tak bisa disalahkan di tengah situasi pandemi ini. Namun harus diakui kebijakan itu belum disertai dengan kesiapan lainnya, sulitnya jaringan hingga biaya tambahan.

Awalnya mungkin setiap anak tergagap bagaimana dirinya harus sekolah di rumah. Tetapi yang cukup menghentak juga ketika orang tua tiba-tiba harus menggantikan fungsi guru di sekolah. Walaupun penugasannya berasal dari guru, tetapi dalam totalitas belajarnya, anak hanya dapat dibimbing oleh orang tua.

Dalam situasi yang sangat terpaksa dan mendadak, orang tua dituntut untuk belajar lebih cepat untuk menjadi pihak yang ditanya, mengajari, bahkan membimbing anak. Menjadi “guru” di rumah, ternyata tidak sederhana. Pesan pentingnya adalah, ternyata mendidik anak tidak sesederhana sesederhana yang dibayangkan para orangtua.

Spirit Gotong Royong

Berkaca dari begitu peliknya problem penyelenggaraan pendidikan hari ini, maka sungguh terlalu berlebihan kalau kita pasrahkan kepada sekolah untuk menyelesaikannya. Sungguh butuh dibangun kolektivitas dan kebersamaan dalam menghadapi dampak Covid-19 bagi dunia pendidikan. Segenap stakeholders pendidikan seperti orangtua, komite sekolah, masyarakat, tokoh masyarakat serta lembaga yang memiliki perhatian kepada masa depan pendidikan anak-anak harus ikut terlibat berperan untuk menyelamatkan pendidikan anak-anak.

Spirit gotong royong dalam menyelamatkan pendidikan anak didik kita perlu kembali ditumbuhkan. Tidak boleh ada pihak yang mau menang sendiri dengan menimpakan beban ini hanya kepada satu pihak saja. Tidak ada satu pun yang berharap masa pandemi Covid-19 ini akan berlangsung lama. Bukan hanya anak anak kita yang merasakan dampak ini, pihak penyelenggara pendidikan (sekolah) pun hampir pasti ikut kelimpungan dan memeras otak dan keringat untuk mencari jalan dalam memastikan agar penyelenggaraan pendiidkan tetap berjalan. Kalau kemudian masih ada sekolah yang gagap dan tertatih-tatih dalam menyiapkan kegiatan belajar mengajar tentu juga harus bisa dipahami. Jangan biarkan sekolah sekolah sendirian mengatasi pendidikan di masa pandemi ini. Jangan pula ada yang malah menuding seolah para guru makan gaji buta sebagaimana sempat marak di media sosial. Tudingan itu tentu sangat menyakitkan para guru kita.

Di masa pandemi seperti hari ini, spirit gotong royong yang menjadi modal sosial bangsa ini harus kembali digelorakan dalam penyelenggaraan pendidikan. Praktik pembelajaran daring yang masing compang camping, harus ditutupi oleh kita semua.

Kita patut mengapresiasi langkah-langkah para relawan yang mau menjadi tenaga pengajar untuk menambal sulam kekurangan tenaga pengajar akibat halangan masa pandemi Covid-19. Kita tentu sangat ingin melihat para anak-anak kita bisa tetap gembira dan bahagia mengikuti pendidikan walaupun tidak diselenggarakan di ruang kelas seperti sebelum-sebelumnya.

———- *** ———–

Tags: