‘Goyang’ Pilpres Nilai Rupiah

6c867992219891a5fd95ab3db439331e_1Menjelang pemilihan presiden (pilpres), nilai mata uang rupiah mulai melorot. Politik memang sering bertautan dengan perekonomian. Hal itu ditunjukkan dengan respons pada perdagangan saham maupun pasar uang. Sepekan jelang coblosan, rupiah terus melorot sampai melebihi Rp 12 ribu per-US$. Ini nilai terendah rupiah selama 4 bulan terakhir. Padahal seharusnya menjelang Ramadan, kebutuhan mata uang rupiah meningkat.
Sudah banyak mesyarakat menukar uang pecahan Rp 1.000,-, Rp 2.000,- dan Rp 5.000,- hingga Rp 20.000,-. Penukaran itu untuk kebutuhan “angpao” lebaran Idul Fitri. Selain itu, mata uang rupiah sangat dibutuhkan selama bulan Ramadan sebagai puncak periode belanja tahunan. Begitu pula perusahaan swasta serta instansi pemerintahan membutuhkan mata uang rupiah untuk menunaikan kewajiban pembayaran THR (Tunjangan Hari Raya).
Jadi, mengapa nilai rupiah malah melorot? Ternyata terimbas situasi politik jelang pilpres. Ingat, ketika pak Harto dilengeserkan, perekonomian nasional turut melorot tajam. Meski tidak secara langsung mengendalikan politik, kalangan pengusaha lazim merespons even politik utama sebagai tolokukur iklim usaha. Lebih lagi pilpres (pemilihan presiden) akan menjadi “kalkulator” baru pengusaha untuk menghitung investasi.
Situasi nilai rupiah ini berbeda dengan awal pen-capres-an pada bulan Maret (2014) lalu. Aktivitas investor pada pertengahan Maret berhasil mendongkrak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melonjak sampai 152 basis poin, atau naik 3,2%. Ini posisi  tertinggi sepanjang tengah semester I tahun 2014. Pelonjakan bersamaan dengan deklarasi pencalonan presiden Joko Widodo (Jokowi) oleh PDIP. Boleh jadi pelonjakan IHSG merupakan euforia pemodal, seolah-olah menggambarkan kesukaan pada Capres tertentu.
Melonjaknya IHSG saat itu diyakini sebagai sentimen lokal. Buktinya, bursa di kawasan Asia (regional) malah banyak yang anjlok. Rupiah juga terus menguat ke level Rp 11.280-an per-dolar AS. Sayangnya, investor lokal terburu-buru ambil untung dengan menjual saham. Sedangkan investor asing malah melakukan aksi beli sampai lebih dari Rp 2 trilyun.
Euforia bursa saham terhadap pen-capres-an, karena Jokowi dianggap mampu menggenjot pembangunan infrastruktur. Wajar saja mengingat isu sarana prasarana menjadi masalah utama perekonomian Indonesia. Sentimen positif, khususnya kepada IHSG atau Rupiah, akan dipengaruhi persepsi pasar terhadap kandidat. Bukan hanya kepada Jokowi, melainkan juga Capres dan Cawapres lain yang dianggap punya kemampuan mengatasi persoalan infrastruktur.
Sebenarnya apresiasi terhadap Jokowi tergolong wajar. Mengingat Gubernur DKI Jakarta itu selama ini (dan sebelum menjadi Walikota Solo) dikenal sebagai pengusaha sukses. Hal yang sama juga dilakoni oleh Prabowo Subianto, yang bantir stir menjadi pengusaha setelah tidak lagi berdinas di kemiliteran. Tetapi euforia pasar modal, pasti ada batasnya. Sehingga investor harus tetap ekstra waspada, terutama pada sektor reksadana. Disiplin pengalokasian aset harus menjadi pertimbangan utama.
Melorotnya nilai rupiah pada bulan Ramadan sebenarnya sangat aneh. Lebih lagi bulan Juni sampai awal Juli Indonesia sangat sibuk dengan kampanye pilpres. Seluruhnya membutuhkan uang (dalam mata uang rupiah). Seharusnya, rupiah nampak gagah. Tetapi mengapa rupiah malah melemah? Ternyata memang terkait erat dengan masa transisi kepemimpinan nasional. Ada kekhawatiran, karena Capres-nya cuma dua kontestan, maka potensi diametral (konflik sosial) cukup besar.
Itulah yang membuat investor ragu menanamkan saham atau sekadar menambah investasi. Kurs rupiah akan menguat ketika banyak investor yang membeli saham, obligasi, dan menanamkan modal di perusahaan-perusahaan Indonesia. Padahal dalam kondisi transisional seperti pemilu, banyak pengusaha ragu menanamkan modal dalam jangka panjang (lebih dari 2 tahun).
Tetapi pengusaha memang seperti itu. Namun jika pilpres berjalan lancar, maka rupiah bisa melonjak lagi ke peringkat yang wajar, sekitar Rp 10.500-an per-US$.

———– 000 ———–

Rate this article!
Tags: