Gus Dur dan Manusia yang Perlu Dibela

Judul Buku : Tuhan Tidak Perlu Dibela
Penerbit : IRCISoD
Cetakan : II, Januari 2020
Tebal Buku : xliv + 361 Halaman
Peresensi : Slamet Makhsun
Mahasiswa Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga
Sosok Gus Dur, memang tiada habis untuk dibicarakan. Semasa hidup sampai setelah wafat, gagasan pemikirannya masih tetap ada dan eksis. Tak cuma gagasan pemikirannya yang sering ‘diziarahi’, makamnya yang terletak di komplek Pondok Pesantren Tebuireng juga ramai setiap hari oleh para peziarah. Umat Islam dan umat agama lain juga banyak yang ziarah. Bukti bahwa banyak orang yang mencintai dan menghormati Gus Dur.
Banyak orang yang merasa berhutang budi sama Gus Dur, terlebih masyarakat kecil dan minoritas. Seperti halnya masyarakat keturunan Cina, etnis Tionghoa. Mereka ingin Konghucu diakui sebagai agama resmi negara. Padahal, waktu itu segala hal yang berbau Cina sangat sensitif ditelinga masyarakat Indonesia. Buktinya, pada masa pelengseran Suharto sebagai presiden, etnis Tionghoa juga ikut menjadi korban. Mereka dijarah, dibakar toko dan rumahnya, bahkan yang dibunuh juga ada. Termasuk pembakaran-pembakaran perusahaan milik etnis Tianghoa.
Setelah Gus Dur naik jadi presiden, dia berani melawan arus. Gus Dur berani mengesahkan Agama Konghucu sebagai agama resmi walau banyak pihak yang menentang. Alasannya bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan kebebasan beragama. Sampai sekarang, etnis Tionghoa ketika merayakan Tahun Baru Imlek, terisisip doa khusus bagi Gus Dur sebagai bukti balas budinya.
Intelektual dan Humor Gus Dur
Tokoh yang punya nama asli Abdurrahman Addakhil ini, lahir dan tumbuh di kultur pesantren salaf, dari pesantren yang didirikan kakeknya ke pesantren lain seperti Pesantren Tegal Rejo di Magelang. Dalam pendidkan formal, tercatat beliau hanya sampai Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Gowongan, Jogja. Pada tahun 1966, beliau mendapat panggilan beasiswa di jurusan hukum Kampus Al Azhar dan tamat tahun 1966. Setelah itu, melanjutkan di Universitas Bagdad jurusan Sastra Arab dan selesai tahun 1970.
Dalam buku ini, tergambar jelas bagaimana sepak terjang intelektual Gus Dur dalam tiga aspek, refleksi kritis Gus Dur terhadap pemikiran Islam, pengaruh Gus Dur dalam ranah kebangsaan dan kebudayaan, dan pengalaman luar negeri Gus Dur dalam merespon isu-isu demokrasi, ideologi, serta politik. Tergambar jelas dalam esai-esai beliau yang terbit diberbagai koran kisaran tahun 1980-2000 yang telah dikumpulkan menjadi buku yang berbobot ini.
Membicarakan tulisan Gus Dur, bahasa yang satir dan jenaka adalah ciri khasnya. Walaupun suatu masalah dipandang berat, cukup dengan kalimat khasnya ‘gitu aja kok repot!!!’ seakan-akan seseorang yang meminta pencerahan langsung paham. Banyak orang yang mengatakan, candaan Gus Dur itu memiliki kapasitas intelektual yang tinggi. Jarang orang yang bisa mengkomparasikan suatu hal yang serius menjadi sebuah candaan yang memiliki nilai kritik.
Dalam buku ini, Gus Dur bercerita bahwa pada suatu hari ada tiga tokoh agama yang saling berkumpul, pendeta Hindu, pastur Katolik, dan Kiai. Kiai itu membuka pertanyaan lebih dulu, “siapa yang lebih dekat dengan Tuhan diantara agama kita?,” “aku dong” jawab pendeta Hindu dan pastur Katolik secara bersamaan. “lho, kok bisa?,” tanya Kiai balik. Si pendeta Hindu balik menjawab “Lha iya. Lihat saja, agama kami memanggil-Nya dengan sebutan Om,” merujuk pada seruan agama Hindu ‘Om shanti shanti om’. Tertawa lepas mereka.
Sekarang giliran si pastur Katolik menimpali jawaban pendeta Hindu “Oh, kalau alasannya itu sih, lebih dekat agamaku dong. Lihat saja, agamaku memanggil-Nya dengan Bapa. ‘Bapa’ kami yang di surga”. Si Kiai diam saja, merasa hal itu tak lucu.
Lalu kedua tokoh tersebut balik bertanya “Pak Kiai, sedekat apa hubungan agamamu dengan Tuhan?”, dengan nada agak kesal si Kiai menjawab “Duh, boro-boro dekat. Memanggil-Nya saja dari menara, pakai pengeras suara pula”. Tawa terbahak-bahak meledak dari pendeta Hindu dan pastur Katolik, mendengar jawaban si Kiai dengan ekspresi muka yang seakan mikir kelakuan umatnya yang lupa sholat, padahal sudah diingatkan tiap lima waktu sehari, pakai pengeras suara pula.
Humanisme dan Gus Dur
Dalam keyakinan Gus Dur, Tuhan yang beliau sembah adalah Tuhan yang maha mencintai dan menyayangi semua makhluk-Nya. Entah orang dari ras, suku, etnis, agama, atau budaya yang beda, kalau tertindas maka Gus Dur akan membela. Bagi Gus Dur, semua makhluk di muka bumi ini memiliki derajat yang sama. Tidak ada yang boleh merusak dan mengambil hak orang lain. Dan kesetaraan itu adalah ajaran inti dari humanisme Gus Dur.
Buku ‘Tuhan Tidak Perlu Dibela’ ini, merupakan buku yang memuat intisari dari pemikiran-pemikiran Gus Dur yang termuat dalam 73 esai. Ditulis dengan bahasa yang mengalir, padat, bernas, dan tentunya penuh candaan. Dibagi dalam tiga topik besar seperti yang telah disebutkan diatas. Sangatlah cocok dan bermanfaat dibaca oleh kalangan akademisi, pejabat publik, dan masyarakat umum yang ingin mengetahui seluk beluk pemikiran Gus Dur. Selamat membaca!
———– *** ————

Rate this article!
Tags: