Hakim Tipikor Tolak Eksepsi Budi Mulya

Terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century serta penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik Budi Mulya (kiri) berdiskusi dengan tim penasehat hukumnya saat persidangan dengan agenda pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (27/3) kemarin.

Terdakwa kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) pada Bank Century serta penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik Budi Mulya (kiri) berdiskusi dengan tim penasehat hukumnya saat persidangan dengan agenda pembacaan putusan sela di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (27/3) kemarin.

[Putusan Sela Korupsi Century]
Jakarta, Bhirawa
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menolak nota keberatan penasihat hukum terdakwa mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya dalam perkara dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek kepada Bank Century.
Termasuk penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, kata Ketua Majelis Hakim Alfiantara di Pengadilan Tipikor Jakarta.
“Mengadili, menyatakan keberatan eksepsi tim penasihat hukum tidak dapat diterima memerintahkan sidang perkara atas nama Budi Mulya dilanjutkan,” katanya.
Putusan tersebut diambil oleh Ketua majelis hakim Afiantara dan anggota majelis hakim Rohmat, Anas Mustaqin, Made Hendra dan Joko Subagyo.
“Majelis berpendapat dakwaan sudah jelas, cermat, dan lengkap didasari dengan menggambarkan unsur pidana yang jelas mengenai waktu pidana, tempat pidana, siapa yang melakukan tindak pidana, kapan tindak pidana dilakukan, dan akibat dari tindak pidana sehingga terdakwa tidak akan dirugikan haknya dalam pembelaan dirinya karena surat dakwaan sudah memenuhi syarat materiil,” kata Afiantara.
Apalagi menurut hakim, setelah pembacaan dakwaan Budi Mulya mengaku mengerti maksud dakwaan tersebut.
“Terdakwa mengerti materi dakwaan dengan mengatakan ‘Saya secara bahasa bahasa mendengar dan mengerti tapai kalau hukum tidak mengerti karena saya hanya menjalankan tugas’,” kata Afiantara.
Sejumlah keberatan tim kuasa hukum Budi Mulya yang dipimpin oleh Luhut Pangaribuan seperti perubahan FPJP bukanlah perbuatannya sendiri, ketidakcocokan wewenang Budi sebagai deputi Gubernur bidang pengelolaan moneter dan devisa dan keberatan lain sudah masuk dalam materi persidangan.
“Keberatan telah masuk materi perkara yang harus dibuktikan di persidangan maka keberatan eksepsi penasihat hukum terdakwa haruslah tidak dapat diterima,” tegas Afiantara.
Agenda sidang selanjutnya adalah pemeriksaan saksi yang dilakukan tiga kali seminggu yaitu pada Senin, Kamis dan Jumat yang dimulai pada Kamis, 3 April 2014.
“Sidang dijadwalkan seminggu tiga kali karena banyaknya saksi-saksi, saksi dari penuntut umum pada 9 Mei 2014, saksi a de chart (meringankan) mulai 12 Juni 2014, tuntutan pada 9 Juni 2014, pledoi pada 16 Juni 2014 dan putusan pada 14 Juli 2014,” ungkap Afiantara.
Menurut Ketua jaksa penuntut umum KPK pada perkara tersebut, KMS Roni, ada 66 saksi yang akan dihadirkan.
Jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.  [ant]

Tags: