Happy Ending, Risma Bertahan

logo_surabayaWali Kota Surabaya Tri Rismaharini, disarankan tetap pada jabatannya sampai akhir periode pada tahun 2015. Saran itu hasil konsultasi dengan Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri (bersama Gubernur DKI Joko Widodo), yang datang langsung menemui Risma. Saran yang sama juga diberikan oleh beberapa kalangan masyarakat. Tetapi secara keregulasian, mundur atau bertahannya jabatan Wali Kota merupakan hak prerogatif  Risma.
Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seorang Kepala Daerah boleh mundur. Pada pasal 29 ayat (1) dinyatakan: Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena: meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan. Hingga saat ini, sudah banyak Kepala Daerah atau Wakilnya yang berhenti sebelum berakhirnya masa jabatan.
Mantan Wali Kota Surabaya juga pernah diberhentikan, berdasarkan pasal 29 ayat (2) huruf b. Yakni, dianggap tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan. Pada saat itu Wakil Wali Kota Bambang DH, secara konstitusi menggantikan sebagai Wali Kota, sampai tahun 2005. Lalu Bambang DH memenangi pilwali tahun 2005 untuk menjabat Wali Kota periode 2005-2010.
Pada pilwali 2010, Bambang DH tak dapat lagi mencalonkan diri sebagai Wali Kota. Berdasarkan rekom DPP PDIP, Bambang DH tetap maju sebagai calon wawali (karena diyakini elektabilitasnya cukup tinggi). Karena itu konon, Bambang DH merekomendasi nama Tri Rismaharini kepada DPP PDIP untuk ditunjuk sebagai calon Wali Kota. Benar, pasangan yang diusung PDIP memenangi Pilwali 2010.
Banyak “model Bambang DH” (dua periode menjadi Kepala Daerah, lalu maju pilkada lagi menjadi Wakil Kepala Daerah). Tetapi sejatinya, hal itu merupakan celah UU Pilkada. Yakni, andai Kepala Daerah terpilih berhenti atau diberhentikan. Apakah Wakilnya bisa menggantikan menjadi Kepala Daerah? Berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2004 pasal 35 ayat (1), seharusnya digantikan oleh Wakilnya. Tetapi dalam “model Bambang DH,” pastilah tidak boleh (karena batasan dua kali jabatan Wali Kota, berdasar pasal 58 huruf o).
Semula, di tataran publik tiada yang mengenal Risma. Di jajaran Pemkot Surabaya, cukup banyak perempuan yang memimpin SKPD. Sehingga dalam Pilwali 2010, Risma bagai “membonceng” Bambang DH yang ingin tak boleh lagi menjadi calon Walikota. Namun publik (politik) Surabaya lebih memperhatikan Walikota. Ternyata, Tri Risma seorang pekerja keras. Pendek kata, Risma berkibar, sedangkan Bambang DH bagai tenggelam.
Tetapi popularitas Risma, tidak menciptakan rasa nyaman kalangan politisi. Konon, karena Risma dianggap terlalu “kenceng,” (lurus) dan semau-gue. Hanya dalam tiga bulan, pasangan pemimpin Surabaya, sudah menunjukkan ketidakharmonisan. Wawali Bambang beberapa kali minta mundur, tetapi tidak melalui prosedur yang diatur undang-undang. Sampai pada saat menjadi Calon Gubernur Jawa Timur (2009), Bambang DH mengajukan pengunduran diri secara prosedural.
Hal yang sama juga terjadi pada wacana mundurnya Wali Kota Tri Rismaharini. Risma belum pernah menempuh pengunduran sesuai prosedur undang-undang. Hanya berupa sinyal, dengan kata-kata. Tetapi menjadi wacana yang menyita perhatian publik cukup luas. Konon Risma disebut-sebut sebagai “orang kuat baru” di blantika politik. Bahkan namanya (dalam survei) telah layak running Cawapres.
Setelah Megawati Soekarnoputri (dan Jokowi) datang ke Surabaya, wacana Wali Kota mundur bagai memudar. Tetapi sebenarnya hal itu bagai api dalam sekam. Karena mundurnya Kepala Daerah, samasekali bukan wewenang pimpinan parpol. Juga tidak bergantung pada Kepala Daerah lain. Mundurnya Walikota (aktif, sehat, serta tidak bermasalah hukum) mutlak bergantung pada sang Wali Kota.
Namun pasti, mundurnya Wali Kota telah disertai perhitungan (segala aspek) secara cermat dan perenungan mendalam. Boleh jadi ada perbantuan pertimbangan. Selanjutnya, bagai tinggal membalikkan tangan, ya atau tidak.

———   000   ———

Rate this article!
Tags: