Harga Migor “Mendidih”

Foto: ilustrasi

Serasa tak percaya harga minyak goreng (migor) kontinyu makin naik, jauh di atas harga eceran tertinggi (HET). Harga migor dalam kemasan bermerek, rata-rata nasional senilai Rp 18.750 per-kilogram. Padahal Indonesia disebut sebagai “negeri nyiur melambai,” berlatar pohon kelapa di setiap bentang pantai. Juga negeri penghasil kelapa sawit terbesar di dunia, dengan hamparan lahan sawit seluas 16,38 juta hektar. Sekaligus menguasai 40% kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) dunia. Tetapi harga migor mahal!
Maka pemerintah berkewajiban mengendalikan harga migor. Terutama dengan menambah pasokan sawit industri migor. Bisa jadi jatah ekspor harus dikurangi. Ironis, harga migor di dalam negeri merambat naik nyaris tanpa kendali. Bahkan harga migor curah di Jakarta sudah mencapai Rp 19 ribu per-kilogram. Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) juga ekstra hati-hati mencatat kenaikan harga migor. Setiap hari bagai merambat rutin Rp 200, -.
Seharusnya suplai migor dalam negeri aman, dan harga terkendali. Karena konon, produksi migor nasional mencapai 8,02 juta ton per-tahun. Sedangkan kebutuhan hanya sekitar 5,06 juta ton. Masih surplus besar, 2,96 juta ton. Maka pemerintah wajib meng-investigasi ketersediaan stok migor. Bisa jadi, pedagang besar menimbun migor untuk persediaan menjelang akhir tahun yang biasa melonjak. Pemerintah seyogianya melakukan operasi pasar migor.
Tataniaga sawit menunjukkan tren “keanehan” sejak tahun 2020 lalu. Diantaranya, permintaan negara-negara Uni Eropa yan meningkat 26%. Padahal Uni Eropa sedang me-moratorium sawit Indonesia dengan alasan deforestrasi (penrusakan hutan dalam kasus kebakaran lahan). “Keanehan” lain, walau positif, sawit menjadi mesin penggerak ekspor. Melonjak 20% selama masa pandemi (tahun 2020), meliputi 15,6% total nilai ekspor nasional. Konsekuensinya, jatah industri migor menyusut.
Tetapi memasuki pertengahan tahun 2021, mulai terjadi penurunan permintaan sawit. Pada bulan September nyatanyata ekspor sawit menurun sinifikan. Berdasar catatan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), terjadi penurunan ekspor sawit mentah hingga 1,338 juta ton (setara 32,47%). Maka seharusnya pasokan dalam negeri lebih terjamin. Sehingga lazimnya, proses produksi migor bisa lancar. Sesuai prinsip supply and demand, harga migor tidak naik.
Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan wajib segera meng-audit pabrik migor, dan menelisik agen besar, serta inspeksi pasar. Terdapat 13 pabrik besar migor nasional, dijual dengan 39 label merek dagang. Kapasitas produksinya mencapai 15,456 juta ton per-tahun. Termasuk migor curah tanpa merek dagang. Sebagian diekspor sampai ke China, dan Eropa. Tiada negara lain di dunia yang menandingi “semarak” merek dagang di Indonesia.
Keuntungan industri migor cukup menggiurkan, karena ketersediaan sawit melimpah. Harga sawit di kebun (milik rakyat, belum jadi minyak) sekitar Rp 1.500,-per-kilogram (Rp 1,5 juta per-ton). Harga sawit dari pohon usia 10-20 tahun akan mencapai tawaran tertinggi, sampai Rp 1.750,-per-kilogram. Karena kadar minyak makin besar. Dengan proses sederana, setelah menjadi CPO, harganya meningkat sampai 400%. Bakan setelah diproses menjadi migor harganya berlipat seribu persen!
Terdapat peraturan prosesi sawit menjadi migor untuk stabilitas harga, berupa Kepmentan. Juga terdapat Permenkeu, berkait subsidi migor curah tidak bermerek yang tidak dikenakan PPN (dibayar ole Pemerintah). Serta peraturan rantai pasar di 15 propinsi (terutama seluruh Jawa), yang sangat panjang. Terdapat 5 simpul tataniaga, masing-masing bisa memungut keuntungan dengan aturan prosentase.
Harga migor tidak boleh dibiarkan meliar. Selain operasi pasar sistemik di seluru daerah, juga perlu penegakan hukum terhadap pedagang penimbun bahan pangan. [*]

Rate this article!
Tags: