Hortikultura Domestik Jeblok

Musim hujan ekstrem sejak awal tahun ini, berdampak nyata terhadap tanaman hortikultura dalam negeri. Ditambah luruhan debu vulkanik Kelud, menyebabkan gagal panen sampai 75%. Cabai dan tomat paling terdampak cuaca, serta dilumuri debu Kelud pula.  Tapi biasanya, petani masih mafhum dengan cuaca, juga masih bisa merekayasa tanamannya. Namun yang tak bisa dilawan adalah serbuan hortikultura impor yang difasilitasi izin pemerintah.
Berbagai buah impor: apel, jeruk, pear, pepaya sampai pisang, bebas membanjiri pasar. Buah impor bukan hanya dipajang di lapak kaca toko moderen sampai hypermarket. Melainkan juga digelar di pasar tradisional, pasar krempyeng sampai gelaran kaki-lima. Harganya bersaing ketat dengan buah domestik. Namun buah impor memiliki kelebihan nampak lebih indah-segar (dengan pelapis bahan pengawet).
Pada bulan Pebruari hingga Maret nanti, instansi terkait (Dinas Pertanian serta Karantina di pelabuhan, dan Disperindag) mestilah mencermati impor holtikultura. Saat ini terdapat keanehan harga. Yakni, di tingkat petani, harga apel asal kota Batu hanya dihargai Rp 2.500,-. Tetapi harga apel (dan buah lain) eks impor di pasaran mengalami kenaikan cukup signifikan. Kenaikan harga-harga hortikultura eks impor disebabkan melambatnya arus distribusi karena cuaca ekstrem. Banyak moda transportasi laut, darat dan udara terpaksa harus “jeda iklim.”
Sedangkan hortikultura domestik semakin bernasib buruk. Andai distribusi tetap berjalan, pastilah akan mengurangi kualitas buah, sayur dan rempah-rempah, karena kandungan airnya sangat berlebihan. Atau bahkan hasil panen holtikultura akan membusuk di balik terpal truk, di dalam kapal penyeberangan. Tetapi hortikultura impor sudah diberi bahan pengawet, sehingga nampak masih segar, tidak membusuk.
Boleh jadi, karena menjaga ketersediaan, maka Kementerian Perdagangan menambah kuota impor buah apel. Lebih lagi, lahan tanaman apel di Malang dan kota Batu tersisa 2.000 hektar (pada dekade 1980-an seluas 10.000 hektar). Berdasar data BPS, pada semester I tahun 2014, sudah direkomendasi impor apel sampai 200 ton. Jumlah itu meningkat tiga kali (300%) dibanding semester II tahun 2013. Maka seluruh pasar banjir apel impor!
Walau sebenarnya, impor apel (dan jenis hortikultura yang lain) tidaklah mudah. Terdapat rambu-rambu regulasi, diantaranya Permentan Nomor 15 Tahun 2012. Isinya tentang Persyaratan Teknis Karantina Tumbuhan Pemasukan Buah dan Sayuran, Buah Segar, dan Umbi Lapis Segar. Serta mengatur pelabuhan dan bandara pemasukan buah dan sayuran.
Juga disusul Permentan Nomor 42 Tahun 2012 tentang Tindakan Karantina Tumbuhan Terhadap Pemasukan Buah dan Sayuran Segar ke Indonesia. Melalui peraturan itu, tidak semua impor produk hortikultura leluasa masuk ke Indonesia. Tetapi ada pula yang dikecualikan, meliputi AS, Kanada dan Australia. Namun petani di seluruh Indonesia menolak bertambahnya volume impor hortikultura, bahkan harus dikurangi untuk memberi ruang gerak produk lokal.
Ternyata, petani Jawa Timur paling keras menolak kebijakan impor hortikultura, dari manapun. Bahkan diterbitkan pula Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 22 Tahun 2012 tentang Pengendalian Produk Impor Hortikultura dan Pemberdayaan Usaha Hortikultura. Peraturan ini bukan hanya untuk impor antar-negara, melainkan antar-daerah pun (interinsuler) juga diteliti. Andai daerah asal komoditas terjangkit Hama atau virus, maka seluruh jenis hortikultura yang dikirim ke Jawa Timur akan dihentikan.
Saat ini produk hortikultura yang beredar di Indonesia, mayoritas (85%) adalah impor. Agaknya, pemprop mesti kukuh pada amanat Perda (Peraturan Daerah) Nomor 2 tahun 2010 tentang Tata Kelola Produk Unggulan Pertanian Dan Perikanan Di Jawa Timur. Dalam pasal 5 ayat (3) huruf b, mengamanatkan, fasilitasi, pemerintah propinsi membantu perbaikan sistem maupun sarana tataniaga dan jasa-jasa yang tidak mungkin dilakukan pihak swasta.   000

Rate this article!
Tags: