Ikagi Desak Ekspor Gula Rafinasi

Pemprov Jatim, Bhirawa
Ikatan Ahli Gula Indonesia (Ikagi) mendesak pemerintah tegas dalam menangani rembesan gula rafinasi. Salah satu cara yaitu dengan mengekspor surplus produksi gula khusus industry itu  ke pasar global.
Besarnya angka impor gula mentah (raw sugar) yang kemudian diolah di dalam negeri menjadi gula rafinasi cukup melimpah. Surplus gula rafinasi dan dengan harga lebih murah dari gula tebu lokal itu kabarnya sampai merembes ke pasar ritel dan tradisional, sehingga membuat harga gula tebu lokal anjlog. “Surplus gula rafinasi ini membuat nasib petani dan pabrik gula berbahan tebu mati suri,” kata Ketua Kompartemen Manajemen Ikagi, Adig Suwandi, kemarin Selasa (11/2).
Adanya harga raw sugar di pasar global yang sangat murah, lanjutnya, hanya sekitar 16-20 cent per lb dan harga gula dunia US $ 405-430 per ton FOB (harga di negara asal, belum termasuk biaya pengapalan dan premium), maka masih terdapat margin bila surplus diekspor.
Apalagi, lanjut dia, jika atas nama pengembangan dan industri berorientasi ekspor, industri gula rafinasi mendapatkan fasilitas keringanan bea masuk 0-5 persen. Selain dengan mengekspor surplus produksi gula rafinasi, ujar dia, cara kedua yang bisa dilakukan untuk mencegah merembesnya gula rafinasi ke pasar eceran yaitu dengan melakukan pembatasan impor gula kristal mentah (raw sugar).
“Pembatasan impor raw sugar yang digunakan sebagai bahan baku rafinasi ini harus dilakukan secara ketat dan taat asas diikuti sanksi hukum yang memberikan efek jera kepada perusahaan bersangkutan.  Ini harus dilakukan agar ketegangan antara pabrik gula rafinasi dengan petani dan pabrik gula berbahan baku tebu meredah,” tandasnya.
Ia mengungkapkan, ketegangan antara industri gula rafinasi, petani dan dan pabrik gula muncul akibat terus berulangnya gula rafinasi masuk ke pasar eceran yang selama ini menjadi domain gula berbahan baku tebu. Apalagi hingga terdapat beda persepsi soal pasar bagi 350.000-400.000 ton gula yang menurut pabrikan gula rafinasi merupakan segmennya.
Sebelumnya, Gubernur Jatim Dr H Soekarwo SH MHum telah melayangkan surat ke seluruh Bupati/Walikota agar tidak memberikan izin pendirian pabrik rafinasi di Jatim. Selain menghancurkan harga gula konsumsi, sebenarnya keberadaan gula rafinasi dinilai sebagai gula yang tak layak konsumsi bagi kalangan rumah tangga.
“Gubernur sendiri telah mengirim surat pada setiap bupati dan walikota untuk menolak keras jika ada permintaan pembangunan pabrik rafinasi di daerahnya,” kata Kepala Dinas Perkebunan Jatim, Ir Samsul Arifien MM.
Perizinan investasi pendirian PG Rafinasi dilakukan melalui Pemerintah Pusat, namun pendiriannya semuanya diluar dari Jatim. PG rafinasi banyak berdiri di Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan Medan.
Dalam sehari, tercatat dalam sehari pabrik gula rafinasi mampu memproduksi sekitar 300.000 ton gula. Padahal kebutuhan gula rafinasi di Jatim hanya 100 ribu per tahun yang digunakan ribuan kalangan industri.  “Produksi gula rafinasi memang bisa membantu kekurangan gula di Jatim. Tetapi jika peredaran gula tersebut tidak terkontrol, mungkin para petani tebu akan gulung tikar,” tandasnya.
Kembali, ia menegaskan, tidak perlu membangun PG rafinasi di Jatim. Dan kebutuhan gula rafinasi diambilkan dari impor. “Yang terpenting, Jatim masih tetap fokus untuk memproduksi gula konsumsi untuk kebutuhan rumah tangga dan menyumbang kebutuhan nasional, utamanya Indonesia wilayah Timur. Selain itu, gula rafinasi bisa menghancurkan mata pencaharian petani, sebab di hargai cukup murah,” katanya. [rac]

Rate this article!