Indeks Kebahagiaan Meningkat ?

pentingBahagia tidak selalu harus dengan bekal kekayaan materi berlimpah. Ajaran agama telah menyatakan bahwa kebahagiaan merupakan cerminan rasa puas atas perolehan rezeki. Berapapun yang diperoleh, lalu puas wajib diikuti rasa syukur. Sehingga kebahagiaan (puas dan bersyukur) menjadi takaran yang tidak inharent dengan jumlah kapitalisasi material. Melainkan kejiwaan (keimanan) yang lebih menonjol dibanding hasrat untuk memiliki sebanyak-banyaknya, sebesar-besarnya.
WHO (World Health Orgazation, institusi kesehatan yang dibawahkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa), juga memili definisi tentang jiwa bahagia. Hampir persis dengan dogma agama. Bahwa bahagia adalah rasa puas, sebagai prasyarat kesehatan jiwa yang bisa menerima situasi dan kondisi secara baik. Rasa puas sangat penting untuk menghambat melejitnya ego-sentris, yang biasa mengedepankan kepentingan individu diatas kepentingan sosial.
Dogma agama yang diadopsi WHO itu agaknya, ingin pula dilakukan oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Biasanya, BPS lebih suka mengukur indeks per-ekonomi-an sebagai simbol kemakmuran. Begitu pula kebiasaan mengukur inflasi atau deflasi, untuk meng-gambar-kan tingkat kegelisahan ekonomi. Semakin tinggi inflasi, pastilah akan menimbulkan kegelisahan rakyat secara luas. Harga barang kebutuhan pokok naik, siapa tak gelisah?
Inflasi yang tinggi menyebabkan setiap rumahtangga menjadi lebih miskin. Hal itu pernah terjadi pada sekitar tahun 1966. Saat itu di perkotaan, harga kebutuhan pokok tak terjangkau. Sehingga harus dilakukan penjatahan sembako untuk dikonsumsi. Untuk menghemat, beras dioplos dengan jagung. Sedangkan di pedesaan, masyarakat memilih meng-konversi jenis panganan lain. Misalnya, mengolah singkong menjadi tiwul dan serawut.
Pada kondisi inflasi melejit tak terkontrol, yang kaya pun gelisah. Yang miskin, terutama kalangan buruh memilih demo.Bahkan lebih parah lagi, masyarakat melakukan penjarahan di gudang-gudang logistik pemerintah, serta menjarah supermarket. Hal itu sudah sering terjadi negara-negara Amerika Latin, karena pemerintah tak sanggup memenuhi kebutuhan rakyatnya. Sedangkan pada domain rakyat, memang tiada cara lain. Kecuali menjarah, atau kembali kepada kepasrahan iman.
Itulah yang ingin dibedah oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Sejak awal Juni ini BPS coba mempopulerkan ukuran indeks lain yang lebih bersifat mutual, berkorelasi dengan masalah “hati.”Ternyata hasilnya, masyarakat Indonesia memiliki indeks kebahagiaan cukup memadai. Juga terdapat tren peningkatan kebahagiaan, setidaknya selama 3 tahun terakhir. Pada pengukuran indeks kebahagiaan ini BPS tidak sendirian, melainkan bersama-sama 156 negara lain.
Sekitar 170-an negara yang tergabung dalam OECD (Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan) telah melakukan pengukuran tingkat kebahagiaan sejak tahun 2010. Pada tahun (2010) itu indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia ternilai 53,48, menempati urutan ke-76. Di tataran negara-negara ASEAN, Indonesia pada peringkat ke-5 (dibawah Singapura, Thailand, Malaysia dan Vietnam).
Tetapi pertama itu diragukan. Antaralain disebabkan banyak kasus-kasus bunuh diri di Singapura. Pengukuran indeks kebahagiaan tahun 2010 dianggap tidak independen, karena masih “memenangkan” kapitalisasi pendapatan per-kapita. Pada sisi lain, sebagian besar negara-negara OECD masih percaya dengan beberapa indikator. Diantaranya jumlah kasus-kasus tindak kriminal, jumlah kasus korupsi, serta jumlah pengangguran terbuka.
Faktor lain yang dianggap penting adalah tingkat pendidikan serta akses terhadap layanan kesehatan. Dalam beberapa indikator (korupsi, akses pendidikan dan layanan kesehatan), Indonesia masih jeblok. Beruntung pada tahun 2013 indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia sudah naik, hampir sama dengan rata-rata negara OECD (ternilai 66).
Tetapi sesungguhnya penilaian indeks kebahagiaan oleh tim OECD lebih ditujukan kepada kinerja pemerintah dalam mengelola target IPM (Indeks Pembangunan Manusia). Andai survei melibatkan rakyat di pedesaan Jawa, hasil catatan indeks kebahagiaan pasti diatas 70. Karena masyarakat Jawa memiliki prinsip nerima ing pandum, walau pejabatnya banyak yang korupsi ?

———   000   ———

Rate this article!
Tags: