Inikah Déjà Vu ?

Oleh :
Tyas W
Penggiat Forum Lingkar Pena Sidoarjo

Aku seperti terbaring di suatu sudut ruang putih. Tembok putih, ranjang dengan selimutnya yang putih, serta meja kecil yang juga putih di sisi kanan. Ruang selebar 4×5 meter kurasa. Aku tidak tahu pasti. Hanya tahu ruangan ini didominasi warna putih, kecuali lantai yang masih berwarna kuning. Tapi aku seperti mengenal bau ruangan ini, bau morfin, bau obat-obatan. Tidak salah lagi, ini pasti rumah sakit. Tapi mengapa aku berada di sini? Aku tidak merasa sakit.
Aku berdiri tertatih. Mencoba meyakinkan diri. Lingkaran pupilku kemudian menerawang jendela besar yang terpasang di tembok ruang ini. Sejauh mata memandang, hamparan rumput hijau yang segar dan rapi menghiasi pelataran. Di sana tertata bunga anggrek yang indah. Dan di sebelah lagi ada pohon beringin tua yang rindang. Bibirku merekah. Sebuah rumah sakit yang nyaman. Kulihat beberapa orang di sana juga berpakaian serba putih. Seorang diantaranya duduk di sebuah bangku. Perempuan yang sepertinya sedang menggendong bayi. Tapi aku tidak melihat ada bayi digendongannya. Dasar gila!
Kualihkan pandanganku ke sisi lain. Kulihat ada seorang laki-laki paruh baya. Ia mengomel panjang-pendek sambil mengacung-acungkan tangannya. Persis seperti orang berpidato. Dasar aneh! Barangkali ia gagal menjadi ketua RT.
Aku menghela napas panjang. Kualihkan pandangan ke dalam ruangan ini lalu menyapu sekeliling. Lantas mengapa aku berpakaian seperti mereka? Baju yang kupakai ini tidak berbeda dengan yang mereka kenakan. Ini bukan rumah sakit jiwa, kan? Tidak, aku bukan orang gila. Tiba-tiba kesadaranku menyergap.
Sesaat kepalaku terasa pening. Semuanya menjadi kabur. Ruangan ini seperti berputar. Aku mencoba mengendalikan diri. Samar kulihat dua orang perempuan berpakaian putih seperti perawat. Mereka menghampiriku. Perawat itu pasti orang yang membawaku ke sini. Mereka jahat, mereka pasti menyangka aku ini tidak waras. Aku mengenal diriku melebihi mereka. Aku bukan orang gila. Aku mencoba berontak melepaskan diri. Tapi mereka mengikat tanganku begitu kencang. Rasanya sia-sia meski lenganku menepisnya. Dua perawat itu mencengkeram tanganku. Sejurus kemudian kurasakan dinginnya jarum suntik menembus kulit dan dagingku. Tiba-tiba semuanya gelap. Aku terkulai tidak berdaya.
Seperti sebuah dimensi waktu tiba-tiba menyeretku. Aku terjebak di sebuah tempat. Hiruk-pikuk tempat ini menyentak telingaku. Gadis-gadis berpakaian mini dengan lelaki dihadapannya memenuhi ruangan. Aku seperti tidak asing dengan tempat ini. Lampu warna-warni berkedap-kedip. Suara musik disco dan hard rock dibunyikan kencang-kencang. Asap rokok dan bau heroin menyelimuti atmosfer ruangan ini. Gelas kaca dan botol minuman beralkohol berserakan di atas meja. Kulihat beberapa wajah yang kukenal. Mary, Rose, dan Angie. Ya, aku ingat! Mereka teman-temanku.
“Ayo, Murni! Turun dan berdansalah dengan kami,” ujar Mary dengan badan lenggak-lenggok.
Mary, gadis yang tak sengaja kutemui di rumah nomer 10 saat mengais rongsokan. Sebuah mobil mewah tiba-tiba berhenti di depanku. Kaca jendelanya turun. Aku tersenyum kepada para penumpangnya, tiga wanita rupawan. Dari balik mobil itu, bau mereka semerbak wangi. Aku membayangkan diriku secantik mereka. Tapi wajahku kusam, kulitku kasar, dan tubuhku kumal. Tiga kali aku berpapasan dengan mereka. Entah apa yang membuat Mary kemudian memilihku. Katanya, jika aku mau, aku akan dirias cantik lalu menjadi model majalah dewasa.
Pasalnya, hampir seminggu, aku, dan ibu terpaksa puasa. Tubuhku terasa lemah. Setiap hari tiada yang bisa kami makan selain singkong rebus dan air putih. Pernah ibu memasak tumis eceng dengan semangkok nasi, kulahap nikmat sekali. Tapi setelah harga di pasar naik berlipat-lipat, ibu tidak lagi membawa pulang seplastik beras dari hasil jualan eceng gondoknya. Ya, eceng adalah tanaman liar di pinggir sungai yang masih bisa diolah menjadi sayuran. Jika demikian, tidak salah menerima tawaran dari Mary. Ibu tidak akan mencari tanaman itu lagi dan hidupku akan lebih baik dari sekedar pemulung sampah.
“Apa ini, Nduk?” tanya ibu menerima sebuah amplop.
“Rejeki, Buk.”
“Uang dari mana?”
Aku penuh khawatir menjawabnya. Jangan-jangan ibu marah jika tahu aku tak lagi memulung.
“Uang sebanyak ini dikasih siapa, Nduk?” tanya ibu sekali lagi. “Jangan pernah sekali-kali berbuat tercela, jangan pernah mencuri dan meminta!”
“Tidak, Buk, Murni tidak pernah mencuri. Sungguh. Murni sekarang bekerja menjadi foto model. Mbak Mary pemilik rumah nomer 10 gang Jambu itu menawarkan pekerjaan seperti dirinya. Ia seorang model, cantik dan kaya, Buk.”
Seketika buk Mun terperangah. Terperanjak berdiri dari duduknya sambil mengelus-elus dada. Amplop itu tak digubris. Uang berserakan. Kakinya mencak-mencak. Mukanya mengerut menangis resah.
“Murni…”
Aku tahu ibu pasti akan marah. Namun, aku paham hati tulus ibu yang demikian lembut tak pernah mampu melontarkan kata-kata kasar kepada anaknya. Aku hanya tertuduk meski sesekali pundakku didorong-dorong ibu.
“Nduk, ibuk tidak rela. Ibuk tak mau, ibuk tidak ridho kamu jadi model yang tidak seronok semacam itu. Semua orang tahu model seperti apa Mbak Mary itu.”
Ibu masih merintih kesedihan. Air mata perempuan paruh baya itu pecah. Rasanya terluka dengan seribu sayatan sebab dia tidak pernah mengajarkan putrinya menjadi perempuan sembarangan.
“Jangan lagi pergi ke tempat itu. Meski kita orang tak berpunya, kita masih punya harga diri.”
Aku menggeleng-nggeleng, tapi hatiku masih terpaku pada gemerlapnya dunia. Aku tidak peduli nasihat ibu. Hampir setiap malam kubiarkan ia menunggu kedatanganku. Tentu saja memenuhi ajakan Mary. Senyumku merekah. Kulangkahkan kaki menuju lantai dansa. Lalu hanyut dalam hiruk pikuk bersama Mary, Rose dan Angie. Mereka memang pintar mengeluarkan jurus rayu. Hanya berbekal segelas minuman anggur, pikiranku tiba-tiba berpendar. Pandanganku menjadi buram. Semuanya menjadi semakin tidak nyata. Dunia malam ini sungguh membuatku melayang dan ketagihan.
Tapi aku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti. Dalam pandangan samar itu aku melihat ibu. Mengapa ibu ada di sini? Ibu mencoba meraih tanganku tapi aku tidak berusaha menggapainya. Aku hanya ingin terus menari. Lantas ibu semakin menjauh sambil berteriak memanggil namaku. Mengulurkan tangannya seakan mencoba mengajakku.
“Murni, rengkuh kedua tangan ibu, Nduk!”
“Tidak Buk, Murni ingin tetap disini. Bersenang-senang bersama teman-teman. Pergilah. Aku mau bebas!” suaraku lirih seperti tidak tega menyuruh ibu untuk pergi.
Bayangan ibu pun menghilang. Namun kini, tiba-tiba menjelma menjadi sosok almarhum bapak. Rupanya bapak ingin menggandengku juga. Tapi ia diam tidak bereaksi. Raut wajahnya berubah teduh. Wajah yang begitu dalam menatapku. Ada rona kesedihan dan kekecewaan terpancar.
“Jangan menatapku seperti itu, Pak, aku hanya ingin sekali-kali menjadi orang kaya, berpesta dan bahagia. Aku lelah menjadi bayang-bayang anak keluarga miskin seperti kalian. Apa yang aku inginkan tidak pernah bisa terpenuhi. Tidak bolehkah aku merasakan kebahagiaan?” keluhku.
“Murni, kamu telah salah jalan, Nduk. Kamu tidak akan bahagia di sana. Pulanglah bersama ibumu,” ujar Bapak kemudian.
Bayangan bapak dan ibu tak henti berkelebat. Suara mereka terus menggema. Lantas kutoleh lagi ke belakang. Teman-teman memanggilku.
“Ayo, Murni, menarilah bersama kami.” Tangan-tangan Mary, Rose dan Angie menjamahku. Mengajakku mengikuti alunan musik. Tapi di sisi lain, ibu dan bapak mencoba meraih dan mengajakku juga. Aku bingung. Mereka terus saja bersahutan. Membuat otakku semakin berdengung. Kepalaku pusing. Gesekan piringan hitam di atas turntable semakin melengking. Sebegitu kedua tanganku menutup rapat-rapat, gendang telingaku tetap terasa pecah. Mataku memejam ketakutan.
Beberapa lelaki berseragam coklat tiba-tiba memborgol tanganku. Kepalaku berputar dan perut serasa teraduk-aduk. Berbagai celoteh buruk kulontarkan dalam keadaan setengah sadar. Hingga tanpa sengaja kumuntahkan cairan-cairan bau dan tergolek lemah di jalanan.
Aku seperti terbaring di suatu sudut ruang putih. Tembok putih, ranjang dengan selimutnya yang putih, serta meja kecil yang juga putih di sisi kanan. Ruang selebar 4×5 meter kurasa. Aku tidak tahu pasti. Hanya tahu ruangan ini didominasi warna putih, kecuali lantai yang masih berwarna kuning. Tapi aku seperti mengenal bau ruangan ini, bau morfin, bau obat-obatan. Tidak salah lagi, ini pasti rumah sakit. Tapi mengapa aku berada di sini? Aku tidak merasa sakit.
“Ibu… .” Aku mengigau.
Bayangan perempuan menggendong bayi dan lelaki yang mengacung-acungkan tangannya melesat berseliweran. Sejurus kemudian semuanya berpendar. Ruangan ini seperti berputar. Aku mencoba mengendalikan diri. Samar kulihat dua orang perempuan berpakaian putih seperti perawat. Mereka menghampiriku. Perawat itu pasti orang yang membawaku ke sini. Mereka pasti menyangka aku ini tidak waras. Aku mengenal diriku melebihi mereka. Aku bukan orang gila.
“Ibu…, tolonglah Murni.”
Seorang perempuan paruh baya lantas meraih tangan dan menggenggamku hangat. Ia duduk di samping ranjangku dengan bibirnya yang lirih melantunkan puji-pujian kepada Tuhan. Bulir air meleleh dari sudut mataku. Aku terbangun saat secercah cahaya lampu menyelinap di pelupuk mata. Napasku berdesakan keluar. Rambutku basah oleh keringat yang entah sejak kapan datangnya. Di tengah gugupku, aku mulai tersadar. Mimpi buruk itu datang lagi. Mimpi yang berulang sejak aku dirawat karena over dosis.
“Maafkan, Murni, Ibu.”
——– *** ———
Tentang penulis:
Tyas W adalah Penggiat FLP (Forum Lingkar Pena) Sidoarjo. Karya cerpennya pernah tersiar di media cetak Republika, Harian Bhirawa dan Radar Mojokerto. Dapat dihubungi melalui surel thy_thalita87@yahoo.co.id atau Fb: Tyas sari.

Rate this article!
Inikah Déjà Vu ?,5 / 5 ( 2votes )
Tags: