Ironi Konflik Agraria dan Mereka Yang Mencari Keadilan

Oleh :
Muhammad Fath Mashuri
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan bahwa sepanjang pemerintahan era Jokowi jilid 1 (2015-2019) terdapat 2.047 letusan konflik agraria, baik itu di sektor perkebunan, kehutanan, pertambangan, hingga pesisir dan wilayah laut. Angka tersebut dinilai dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan dua periode masa pemerintahan presiden SBY. Data tersebut juga belum memasukkan kuantifikasi konflik agraria di tahun 2020 yang dewasa ini semakin muncul ke permukaan meski banyak pihak berupaya meredam, jumlah tokoh adat/masyarakat yang dikriminalisasi, hingga korban jiwa yang ditutup-tutupi. Rasanya kurang etis jika membandingkan dua rezim tersebut. Barangkali kebutuhan ekonomi dan investasi lebih banyak menuntut di era Pemerintahan saat ini sehingga berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan dan penghadiran konflik agraria yang nyata di depan mata. Seperti prinsipnya bahwa ekonomi pasar kapitalistik tidak akan pernah melekatkan ekonomi ke dalam hubungan-hubungan kesejahteraan sosial, melainkan sebaliknya.

Beberapa kebijakan dan fenomena yang intensitasnya semakin tinggi saat ini, seperti (1) pemberian ijin/hak/konsesi oleh pejabat publik yang memasukkan tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan sekelompok rakyat ke dalam konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi; (2) Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, perusahaan-perusahaan raksasa, dan pemegang konsesi lain dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi; (3) Eksklusi sosial sekelompok rakyat pedesaan dari tanah/wilayah kelola/SDA yang dimasukkan ke dalam konsesi badan usaha raksasa tersebut; (4) Perlawanan langsung dari kelompok rakyat sehubungan dengan eksklusi tersebut; (5) Kriminalisasi kelompok rakyat hingga jatuhnya korban jiwa. Rentetan hal itu bisa jadi merupakan konsekuensi keberpihakan rezim terhadap ekonomi pasar kapitalistik. Kondisi ini diperparah menyusul rencana pengesahan Omnibus law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) dimana pemerintah berdalih mendorong investasi dan kemudahan berbisnis di Indonesia, di sisi lain mendapat gelombang kritik karena diprediksi memiliki dampak kerusakan lingkungan yang besar dan konflik agraria yang semakin masif.

Keberpihakan pada pemilik modal yang disertai dengan perubahan-perubahan agraria yang sangat drastis juga menghadirkan berbagai krisis di tengah masyarakat, yaitu krisis keadilan, krisis alam, dan krisis produktivitas. Pertama, krisis keadilan yang menyangkut penguasaan berbagai kelompok sosial (baik itu berdasarkan kelas, etnisitas/suku) terhadap tanah beserta tumbuhan dan segala hal yang terkandung di bawahnya, serta kehidupan di atas tanah. Krisis ini ditandai dengan semakin banyaknya rakyat yang menjadi development refugees akibat hilangnya penguasaan mereka atas tanah dan kekayaan alam yang menyertainya di satu sisi. Sementara pada sisi yang lain tanah dan sumber daya alam mereka diusahakan secara eksklusif oleh para investor dengan dalih pembangunan. Aksi para nelayan menolak aktivitas penambangan pasir untuk proyek reklamasi Makassar New Port di Sulawesi Selatan dengan maksud melindungi lingkungan dan mempertahankan wilayah tangkap mereka sebagai sumber penghidupan beberapa waktu lalu, menjadi contoh nyata terjadinya krisis keadilan. Akibat aksi tersebut beberapa kapal nelayan ditenggelamkan dan dirusak, hingga kriminalisasi salah seorang dari mereka. Atau menelaah pada apa yang terjadi terhadap masyarakat adat Laman Kinipan yang berjuang menghentikan pengrusakan dan penjarahan hutan adat mereka, justru dianggap menghalang-halangi kepentingan negara, dan malah hendak dikriminalisasi karena dituduh mencuri chainshaw milik perusahaan. Contoh lain yang terjadi pada Masyarakat adat Besipae di NTT yang rumahnya dirusak dan digusur dari hutan adat Pubabu. Sampai pada cerita dari Marga Mahuze Besar, Suku Marin di Bagian Selatan Papua yang didokumentasikan oleh Jurnalis Dandhy Laksono dan Suparta Arz di Ekspedisi Indonesia Biru dimana mereka berusaha mempertahankan hutan adat dari ancaman perkebunan kelapa sawit dan pembukaan lahan persawahan. Mereka menolak karena pangan Papua bukan beras dan minyak, tetapi sagu yang mereka ambil dari hutan. Selain itu, peradaban orang papua bukan bercocok tanam tetapi berburu dan mengambil secukupnya dari alam. Sepertinya pemerintah lebih memilih mengesahkan Omnibus Law RUU Cilaka untuk para investor ketimbang RUU Masyarakat Adat yang mengatur kesejahteraan penduduk pribumi di tanah adat mereka sendiri. Krisis keadilan selalu berjalan beriringan dengan merosotnya kesejahteraan rakyat dari tanah dan sumber daya alamnya. Sementara para pemilik modal dan elit hidup berkelimpahan dari pemanfaatan sumber daya alam tersebut.

Kedua, krisis alam berkenaan dengan kerusakan lingkungan akibat intervensi proyek-proyek pembangunan atau deforestasi besar-besaran atas nama ekspansi produk perkebunan yang beresiko pada keberlanjutan ekosistem kehidupan. Krisis ini ditandai oleh pengambilan manfaat sumber daya alam, dan diterimanya bencana kerusakan alam yang tidak mampu direhabilitasi oleh alam itu sendiri. Bekas lubang-lubang galian tambang di Kalimantan yang dibiarkan begitu saja oleh perusahaan adalah contoh konkrit berkaitan dengan krisis alam. Padahal seyogyanya mereka bertangung jawab melakukan upaya restorasi lahan pasca tambang. Pada contoh lain, banjir dan longsor yang menerjang Kabupaten Luwu Utara bulan Juli lalu, salah satu penyebabnya adalah banyaknya lahan kritis di daerah hulu dikarenakan upaya deforestasi untuk lahan perkebunan sawit. Saat Penulis berkunjung kesana, seorang kepala Dusun di Kecamatan Masamba yang paling terdampak banjir mengakui bahwa ekspansi besar- besaran lahan sawit di Luwu Utara ibarat buah simalakama. Di satu sisi membawa penghidupan, di sisi yang lain kebutuhan yang besar akan produk sawit mengharuskan hutan dikorbankan. Mereka menyadari bahwa deforestasi untuk lahan sawit yang tidak terkendali akan berdampak destruktif, tetapi politik komoditas sawit yang menggiurkan membuat mereka mengalami learned helplessness, atau belajar dari hal-hal yang tidak menyenangkan. Apalagi pemerintah sangat memfasilitasinya, mulai dari pemberian subsidi untuk replanting hingga penyediaan pabrik-pabrik pengolahan di berbagai daerah.

Ketiga, krisis produktivitas rakyat yang menyangkut lumpuhnya kemampuan usaha rakyat mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi sesuatu yang berguna bagi mereka. Sementara di pihak yang lain para investor memiliki daya mengubah tanah dan sumber daya alam menjadi keuntungan yang tidak familiar bagi masyarakat setempat.

Ketidakadilan nampak lebih nyata dalam serangkaian konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Wajar jika seruan keadilan menggema. Hal ini juga berarti penerapan keadilan sosial boleh jadi mampu meredam konflik dan menumbuhkan kesejahteraan. Dalam pengukuhan guru besarnya di bidang psikologi sosial, Faturochman dari Universitas Gadjah Mada pernah mengungkapkan “keadilan akan lebih mudah ditegakkan dalam sistem yang terdesentralisasi”. Hal ini berarti pemanfaatan dan penggunaan tanah serta sumber daya alam akan dirasa adil dan memiliki konsekuensi kesejahteraan bagi masyarakat jika disesuaikan prosedur dan distribusinya sesuai kebutuhan serta karakteristik sebuah daerah, bukan untuk mengakomodasi kebutuhan pasar dunia.

————— *** —————-

Tags: