Jalan Terjal Perempuan Menuju Parlemen (1- bersambung)

Hesti Armiwulan. Reny Widya Lestari

Hesti Armiwulan. Reny Widya Lestari

(Masyarakat Harus Dicerdaskan bukan Terus Dimanfaatkan)
Surabaya, Bhirawa
Keberhasilan pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April 2-14 mendatang, selain dilihat dari penyelenggaraan yang jujur dan adil, juga dilihat dari kualitas anggota legislatif yang terpilih. Sayangnya,  masyarakat saat memberikan suaranya belum menjadikan kualitas seorang caleg sebagai pertimbangan utama menentukan pilihan.
“Masyarakat belum memilih caleg yang berkualitas, karena masyarakat tidak mendapat edukasi yang cukup pentingnya suara rakyat dalam menentukan kualitas penyelenggaraan negara sehingga rakyat terjebak pada pragmatisme dan politik transaksional,” jelas mantan wakil ketua Komnas HAM Dr Hj Hesti Armiwulan, SH MHum di Surabaya, Minggu (16/3) kemarin. Menurut Hesti, kondisi politik saat ini sudah seperti pasar bebas yakni cenderung memihak kepada para pemilik modal.
“Momentum Pileg menjadi waktu yang tepat untuk memberikan pendidikan politik pada rakyat. Jangan sampai mereka terus-menerus dieksploitasi suaranya untuk kepentingan kekuasaan,” jelas Hesti yang dalam Pileg tahun 2014 ini maju sebagai Caleg DPR RI dari Partai Golkar untuk Dapil Jatim 1 (Surabaya dan Sidoarjo).  Ketika bertemu dengan masyarakat, jelas Hesti, dirinya lebih banyak berdialog tentang kondisi bangsa, keprihatinan terhadap  berbagai masalah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Saya selalu mengingatkan pentingnya suara rakyat. Harapannya, masyarakat mengerti konsekuensi ketika memberikan suara,” jelasnya lagi. Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia merasa prihatin karena ternyata pragmatisme politik itu bukan saja terjadi di masyarakat perkotaan, tetapi masyarakat di perdesaan pun sudah terjangkiti dengan fenomena tersebut.
Tidak jarang saat bertemu dengan masyarakat lanjut Hesti, sudah terbangun kesan bahwa Caleg itu uangnya banyak sehingga bisa dimintai apa saja. Menyikapi hal itu, aktivis perempuan yang kini menjabat sebagai sekretaris Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jatim ini berupaya untuk memberi penyadaran betapa pentingnya memilih Caleg bukan karena bisa memberi sesuatu, tetapi karena bisa melakukan sesuatu yang bisa bermanfaat bagi masyarakat.
“Rakyat tidak bisa disalahkan, tetapi itu justru menjadi tanggung jawab Negara. Pembiaran bahkan pemanfaatan suara rakyat untuk tujuan kekuasaan menurut saya itu merupakan pelanggaran HAM,” tegasnya lagi. Selama berkeliling dan bertemu masyarakat, Hesti menemukan bahwa masyarakat dibiarkan memaknai bola liar demokrasi tanpa ada yang menuntun pada pemahaman yang benar.
“Rakyat cuma jadi obyek demokrasi tanpa ada edukasi politik kepada mereka,” kata Hesti lagi.
Salah satu caleg perempuan DPR RI dari Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) untuk Dapil 1 (Surabaya – Sidoarjo) Reny Widya Lestari, ST memberi tanggapan berbeda terkait dengan pragmatisme dan politik transaksional yang banyak menjangkiti masyarakat tersebut.
“Kalau soal memberi suvenir, kerudung anggap saja sebagai sedekah. Kalau memberi lebih dari itu diupayakan sekuat kemampuan. Misalnya membuat pos RT pagar dan sebagainya,” jelas caleg alumnus ITS Surabaya ini. Menurut Reny, sikap pragmatisme tersebut sebagai cerminan betapa masyarakat sudah bosan dengan kepentingan sesaat para caleg.
“Yang paling penting tindak lanjut dari pertemuan itu. Biasanya tim sukses yang akan menindaklanjuti,” jelasnya tanpa mau memerinci apa maksud tim sukses akan menindaklanjuti tersebut. Kepada Bhirawa, Reny mengakui bahwa memang persepsi masyarakat masyarakat terhadap caleg beragam. Ada yang memperlakukan Caleg seperti selebritis sehingga kalau datang diajak foto-foto bersama. Namun ada juga yang beranggapan bahwa Caleg itu bak lumbung uang yang bisa dimintai apa saja.
“Kadang permintaan yang disampaikan sangat berlebihan. Inilah realitas yang dihadapi para caleg saat ini,” jelas Reny lagi.  [wahyu kuncoro sn]

Tags: