Kampanye Menyusup Bansos

Bantuan sosial (Bansos) sebagai penglipur lara dampak wabah pandemi virus corona, sudah digelontorkan pemerintah, dan masyarakat. Sebagai protokol logis (dan otomatis) kebencanaan, bansos merupakan kewajiban pemerintah. Sekaligus hak masyarakat terdampak. Tidak sedikit masyarakat membantu sesama yang lebih menderita, menyediakan makanan, menyediakan tenaga sebagai relawan. Namun ironis, banyak pula kalangan elit masih suka menjadikan Bansos sebagai kampanye politik.
Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) nyata-nyata menemukan bansos digunakan sebagai kampanye terselubung pemilihan kepala daerah (Pilkada). Setidaknya, kampanye “menyusup” Bansos ditemukan di propinsi Lampung, Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Utara. Penyusupan berpotensi dilakukan oleh incumbent (Kepala Daerah yang maju lagi sebagai bakal calon dalam Pilkada). Namun sesungguhnya calon bukan incumbent juga bisa membonceng Bansos. Terutama kalangan pejabat yang menjadi bakal calon.
Pilkada serentak (keempat) tahun 2020, akan diikuti 270 daerah. Termasuk pemilihan Walikota Surabaya, Semarang, dan Walikota Solo. Juga pemilihan gubernur di 9 propinsi, yakni 4 gubernur di kawasan Sumatera, 3 di Kalimantan, dan 2 di Sulawesi. Rencana semula, pilkada akan digelar pada 23 September. Namun dipastikan diundur, setidaknya pada akhir tahun (Desember 2020). Bahkan bisa jadi diundur hingga tahun 2021. Menyesuaikan dengan tingkat penyurutan wabah pandemi CoViD-19.
Pilkada merupakan amanat konstitusi. UUD pada pasal 18 ayat (4), menyatakan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.” Tetapi bukan sembarang penyelenggaraan pesta demokrasi. UUD pasal 22E ayat (1), mengamanatkan pemilu diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Terdapat frasa kata “jujur dan adil,” sebagai protokol pelaksanaan pemilu.
Amanat konstitusi telah di-breakdown dalam UU 1 tahun 2015, yang direvisi dengan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Terdapat pasal yang tidak direvisi, walau UU tentang Pilkada telah diubah. Yakni, pasal 69 yang mengatur “Larangan Kampanye.” Pasal 69 pada huruf h, dinyatakan larangan, “menggunakan fasilitas dan anggaran Pemerintah dan Pemerintah Daerah.” Namun konon, banyak calon mencari “celah” undang-undang
Bawaslu RI menemukan realita penyusupan Bansos berkait wabah pandemi CoViD-19. Cukup masif di propinsi Lampung. Hampir seluruh Bansos jenis natura (berupa bingkisan sembako), masker, sampai hand-sanitizer. Padahal bisa dipastikan, Bansos mengunakan anggaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Propinsi, APBD Kabupaten dan APBD Pemerintahan Kota. Model penyusupan Bansos tergolong terang-terangan, menempel gambar bakal calon dalam Pilkada Serentak mendatang.
Ironis pula, belum banyak pemerintahan kabupaten dan kota menggelontorkan Bansos. Termasuk pemerintah daerah yang telah memperoleh pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Padahal masyarakat di daerah telah menjalani pembatasan sosial (dan usaha nafkah) sejak pertengahan Maret 2020. Tetapi aksi nyata jaring pengaman sosial daerah masih sangat terbatas. Daerah masih melaksanakan Bansos yang bersumber dari APBN (Kementerian Sosial).
Penyusupan Bansos berkait wabah pandemi CoViD-19, menjadi perhatian Ombudsman RI. Sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI mengusulkan realisasi Bansos berupa uang tunai, melalui transfer perbankan atau wesel pos. Toh data seluruh penerima Bansos telah dicatat secara by name by address. Bansos merupakan hak masyarakat terdampak, sesuai UU Nomor Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Penyusupan Bansos CoViD-19, nyata-nyata melanggar UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Khususnya pasal 73 ayat (1). Manakala terbukti menyusupi Bansos CoViD-19, Bawaslu propinsi berwenang membatalkan status pasangan calon dalam Pilkada.

——— 000 ———

Rate this article!
Kampanye Menyusup Bansos,5 / 5 ( 1votes )
Tags: