Kapan DPRD “Meng-aum” bagai Singa?

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik.
Singa, bernama ilmiah keluarga phantera tigris. Disebut pula sebagai penguasa hutan. Seluruh jenis singa (dan keluarga macan lainnya) sudah dilindungi, karena hampir punah. Sangat jarang terdengar aum-nya, walau di tengah hutan sekalipun. Aum singa pertanda kewibawaan, menggetarkan binatang seisi hutan. Sedangkan di kebun binatang, aum singa malah terkesan bagai alunan musik blues, didengar seksama, lalu di-applaus dengan tepuk tangan.
Masyarakat moderen rindu suara aum singa. Bilamana perlu dijadikan ringtone dalam ponsel. Agaknya, itulah tamsil yang sepadan untuk menggambarkan sangat langka-nya suara DPRD. Di kantor dewan, di Dapil (Daerah Pemilihan) maupun saat turun reses, nyaris tiada terdengar. Hampir tiada lagi anggota dewan yang “vokal,” berani mengkritisi kebijakan secara konstruktif sebagai fungsi pengawasan.
Kadang, seorang anggota komisi bidang pertanian mengkritisi kinerja sektor pertanian, tapi tanpa pengetahuan memadai. Kadang, anggota dewan mengkritisi kinerja urusan pendidikan, tetapi tidak mengerti celah penerapan kurikulum baru 2013. Andai mengerti dan cukup pengetahuan, akan semakin banyak yang bisa disuarakan oleh anggota dewan. Sehingga fungsi dewan yang dijamin oleh UUD pasal 20A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) akan berjalan sesuai arah konstitusi.
Ada yang usul agar angka APBD dinaikkan, tetapi tidak disertai data dan cara menaikkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Sehingga, ketika pihak eksekutif (pemerintah propinsi) menjawab “tidak ada potensi,” maka usulannya langsung tak berkelanjutan. Anggota DPRD secara individual maupun secara komunal dalam alat kelengkapan dewan, seolah-olah miskin data, cupet  pengetahuan. Usul, saran, dan kritik anggota dewan, seolah-olah mudah  “diselesaikan”  oleh eksekutif.
Dalam bahasa pujangga Ronggo Warsito, dinyatakan dalam sindiran “Akeh ndandhang diunekake kuntul.”  Banyak komentar tetapi tidak penting. Memang sudah jarang yang “asbun” (asal bunyi). Namun masih banyak yang terkesan aneh. Misalnya, mendukung alokasi anggaran pendidikan yang kurang dari 20% dari APBD. Padahal UUD pasal 31 ayat (4) serta UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, nyata-nyata (pasal 49) menuliskan angka dua puluh persen. Tidak perlu penafsiran lain.
Anggota dewan yang diam saja, anggota dewan yang kurang pengetahuan akan menyebabkan semakin runtuhnya wibawa legislatif di hadapan eksekutif. Lebih lagi, pada tataran rakyat, rata-rata citra dewan sudah jeblok. Hanya menikmati gaji dan tunjangan serta protokol high level. Tetapi mutu kinerjanya rendah. Tanpa keringat, tanpa kompetensi, dan tanpa pengawasan. Begitulah yang dilihat oleh rakyat.
Menguatkan Fungsi Dewan
Walau sebenarnya tidak seluruh anggota DPRD hanya diam, duduk, dan kunker. Masih banyak yang memiliki pengetahuan memadai, serta benar-benar menyuarakan aspirasi rakyat. Bahkan ada yang penghasilannya tak cukup. Tekor karena banyak diantre tamu di rumah, di kantor DPD partai maupun di kantor dewan.  Sampai angsuran kredit di Bank Jatim (dan bank lain) sering menunggak. Tetapi anggota dewan yang tekor (karena banyak sedekah) dijamin jadi lagi, sudah terbukti!
Keberadaan DPRD secara konstitusional tercantum pada UUD pasal 18 ayat (3). Secara tekstual amanat UUD itu berbunyi, “Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.” Selain itu, secara analogis tupoksi DPRD inharent dengan tugas DPR-RI, sebagaimana diantur dalam UUD pasal 20A ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Analogi tupoksi DPRD dengan DPR-RI, lebih nyata tercantum dalam UU Nomor 17 tahun 2013 tentang MD3 (juga UU MD3 yang lama tahun 2009). Yakni dinyatakan, bahwa “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.” Sebagai representasi rakyat daerah, anggota DPRD seharusnya menguatkan tupoksi anggaran dan pengawasan. Karena fungsi legislasi tidak strategis benar. Karena sudah ada DPR-RI yang lebih kompeten membuat UU.
Tetapi ternyata yang lebih disukai adalah tupoksi fungsi legislasi, dengan usulan membuat Peraturan Daerah (Perda). Sedangkan fungsi anggaran dan fungsi pengawasan, kurang memperoleh perhatian. Padahal kedua fungsi itu tidak kalah strategisnya dengan usul membuat Perda. Fungsi anggaran, merupakan hak DPRD untuk mengesahkan Rancangan APBD dan Perubahannya (P-APBD).
Fungsi anggaran ini sekaligus (otomatis) sebagai pelaksanaan fungsi legislasi, karena setiap APBD dan P-APBD harus ditetapkan sebagai Perda. Fungsi anggaran juga berkait erat dengan fungsi pengawasan. Yakni melalui pengesahan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah yang harus ditetapkan menjadi Perda. Ketiga Perda inilah yang menjadi kinerja utama DPRD, yang sekaligus mencakup tiga fungsi ke-dewan-an.
Tanpa berinisiatif mengusulkan Rancangan Perda, sebenarnya, pekerjaan DPRD sudah sangat banyak. Toh biasanya, pihak eksekutif (pemerintah) juga berinisiatif mengusulkan Rancangan Perda yang dianggap strategis. Banyak Rancangan Perda yang tidak penting. Bahkan banyak Perda sangat sulit dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Misalnya, Perda tentang Peredaran Perfilman.
Banyak Perda “Merana”
Peraturan daerah (Perda) sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan amanat undang- undang (UU) dan Peratuan Pemerintah (PP). Sehingga Perda (seharusnya) berisi content local, disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan daerah. Namun seringkali pembuatan Perda terjebak pada copy-paste UU dan PP. Jebakan itu tak terasa akan mengarah pada pen-degradasi-an peraturan perundangan yang lebih tinggi (UU dan PP). Sebenarnya, UU dan PP pastilah berlaku secara nasional, sehingga yang telah diatur di dalam-nya tak perlu diatur lagi dalam Perda.
Saat ini semakin banyak Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jawa Timur yang tidak disertai Peraturan Gubernur (Pergub). Ini bagai undang-undang (UU) tanpa PP, sehingga tidak efktif sebagai regulasi. Konon sudah lebih dari 25 Perda Propinsi Jatim yang “merana” tanpa Pergub. Alasannya, tidak menarik dan tidak menghasilkan manfaat apapun, secara ke-konomi-an maupun kemanfaatan sosial politik. Berdasarkan fakta (periode 2009-2014), DPRD Propinsi Jawa Timur tidak pernah bisa memenuhi target prolegda.
Harus diakui, pembahasan Rancangan Perda menjadi tambang utama penghasilan anggota DPRD. Sebab pada proses pembahasan selalu disertai dengan kunjungan kerja (kunker). Setidaknya dua kunker yang seolah-olah masuk akal. Yakni kunker dalam rangka konsultasi ke Kementerian, serta kunker dalam rangka studi banding ke daerah luar propinsi. Tidak peduli, apakah daerah tujuan kunker telah memiliki kondisi yang lebih baik atau malah sebaliknya.
Kunker, telah menjadi kritisi yang sangat mendalam dan luas. Umumnya dinilai sebagai abal-abal, sekadar plesiran. Itu antaralain terbukti kawasan tujuan kunker hanya Jakarta, Bali, Batam, Lombok dan Yogya. Seluruhnya merupakan daerah tujuan wisata nasional. Kunker sudah menjadi kinerja sistemik. Tetapi bukannya tidak bisa diubah. Misalnya melalui teleconference.
Sehingga sebenarnya, prolegda (program legislasi daerah) cukuplah realistis dengan 3 Raperda. Yakni tentang LPJ Gubernur, tentang APBD dan tentang P-APBD. Kecuali Perda yang akan benar-benar bermanfaat. Misalnya, Perda tentang Perlindungan Produk Pertanian Unggulan. Ini sangat penting untuk melindungi  penghasilan petani dari serbuan produk pertanian impor, sekaligus turut mengamankan defisit neraca berjalan.
Selanjutnya, DPRD Jatim bisa menggenjot fungsi konstitusi-nya yang lain, yakni pengawasan. Toh masih bisa kunker, yakni kunjungan sidak pengawasan ke berbagai UPT daerah di dalam propinsi. Memang berbeda dalam hal uang saku, tetapi kalau lebih kerap bisa menjadi tambang penghasilan yang tak kalah dengan kunker luar propinsi.

   ——————-  ***  ——————–

Tags: