Kepemimpinan Surabaya Pasca Risma

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Univ. Wijaya Kusuma Surabaya, Pengurus Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial (HiPIIS), Jatim

Kota Surabaya adalah salah satu barometer politik nasional, setelah Jakarta. Dirkurus politik nasional, rasanya tidak lengkap jika tidak memasukan Kota Buaya di dalamnya, apalagi dalam masalah politik elektoral. Dalam Pilkada serentak 9 Desember 2020 mendatang, Kota Surabaya akan menjadi magnet politik bagi berbagai kepentingan, baik lokal maupun nasional. Dan Pilkada Kota Surabaya akan semakin menarik, karena nihil petahana. Selain menarik, pilkada serentak 2020 ini juga menjadi tantangan bagi semua stackhoder, karena Pilkada kemungkinan besar akan dilaksanakan masih dalam kondisi pandemi Covid-19.

Setelah ditunggu cukup lama, akhirnya PDI-P sebagai pemenang Pemilu 2014 di Surabaya, memberikan rekomendasi kepada Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota Surabaya, Eri Cahyawadi dan mantan ketua DPRD, Armudji dan (Eri-Armudji). Munclnya nama Eri yang cukup kuat dan akhirnya menjadi piliha Megawati Soekarno Putri, tidak dapat dilepaskan dari faktor dan peran Bu Risma. Meskipun bukan orang parpol, sejak awal, Bu Risma sudah meng-endorse “anak didik dan kesayangannya” untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Surabaya lima tahun kedepan. Dengan demikian, jika tidak ada perubahan politik yang dratis, kemungkinan besar, Pilkada Kota Surabaya akan diikuti dua pasangan baru, yakni Eri-Armudji dan Machmud Arifin-Mujiaman.

Selain menyorot masalah para kandidat yang akan berkontestai, satu persoalan yang perlu untuk dicermati adalah masalah bagaimana wajah kepemimpinan Surabaya pasca Bu Risma. Persoalan ini jauh lebih penting daripada membincang orang atau person. Karena itu, masyarakat Surabaya wajib tahu isi otak (baca: visi dan misi) para kandidat tersebut, termasuk kepemimpinan seperti apa yang akan dijalankan para kandidat jika terpilih jadi walikota dan wakil walikota 2020-2025. Bagaimana kepemimpinan Surabaya pasca ibu Risma, atau lebih spesifik lagi, model dan gaya kepemimpin seperti apa yang dibutuhkan atau kompatibel dengan karakter sosio-kultural masyarakat Surabaya?

Evaluasi Kepemimpinan Ibu Risma

Berdasarkan pengamatan (on the spot) dan mencermati selama hampr 10 tahun terakhir, Kota Surabaya di bawah kpemimpinan ibu Risma banyak perubahan signifikan dalam wajah kota buaya ini. Harus diakui, kinerja ibu Risma dalam memoles wajah Kota Surabaya ini luar biasa cantik dan penuh estetik, pembangunan fisik-infrastruktur berkembang progresif, dengan dipoles dengan taman-taman kota yang mengendemik di sudut-sudut kota, menjadikan kota ini semakin indah dan lebih berwarna dan menarik perhatian banyak orang. Kerja keras tak akan pernah mengkhianati hasil. Hasil kerja kerasnya diganjar dengan pundi-pundi penghargaan. Selama sepuh tahun sudah banyak penghargaan yang diterima Kota Surabaya dari dalam maupun luar negeri, baik sebagai kota maupun sebagai walikota terbaik.

Namun demikian, dibalik kinerja dan kesuksesan/prestasi yang luar biasa, bukannya tanpa kritik. Ada beberapa kritik yang dilontarkann para narasumber, di antaranya adalah bunda Risma kerapkali menampakan kepemimpinan “one woman show”, terlalu dominan dan mengabaikan peran bawannya, manajemen delegating kurang , kurang merangkul dan menggerakan sumber daya yang tersedia, terutama sumber daya manusia (baca: bawahannya). Sehingga persepsi yang muncul adalah kinerja dan prestasi Surabaya adalah produk personal sang walikota. Selain itu, komunikasi politiknya, dianggap buruk, baik di tingkat elit (dengan DPRD maupun Parpol) maupun dengan warga masyarakat. Gaya marah-marah ketika melihat sesuatu yang tidak berkenan dan mendapat shoot media dan menjadi viral, oleh sebagian orang dianggap sebagai sisi lain kepemimpinan ibu Risma yang memberi citra kurang baik, bahkan ada sebagian terlalu banyak melakukan pencitraan melalui media massa. Kritik gaya kepemimpinan teraktual muncul ketika masa pandemi Covid-19 saat ini.

Kritik yang disampaikan para narasumber dan sebagian masyarakat adalah kritik yang konstruktif yang dapat dijadikan vitamin dan bahan berharga bagi kepemimpinan yang lebih baik Surabaya ke depannya, siapapun penerusnya. Sesuatu yang telah ditanam dan berbuah baik, dapat dilanjutkan dan dikembangkan, dan yang kurang dan jika ada ruang kosong yang belum diisi, dapat diisi dengan sesuatu yang baru penuh dengan inovasi dan kreativitas.

Revitalisasi Kepemipinan “Arek”

Dalam sebuah bincang politik, mantan Wakil Walikota, Arif Affandi mengatakan, salah satu sosio-cultural capital yang hilang dari kepemimpinan Surabaya dalam sepuluh tahun terakhir ini adalah hilangnya karakter kepemimpinan arek yang berkarakter egaliter; toleran, terbuka, demokratis, mau menerima perbedaan dan masukan, memiliki semangat kebersamaan/Solidaritas tinggi, gotong royong, pemberani, apa adanya, informal dan tidak ribet/birokratis. Pemimpin Surabaya ke depan harus mampu merevitalsiasi model dan gaya kepemimpinan arek.

Menurut Basundoro (2012), budaya Arek diduga merupakan hasil hibrydasi dari beberapa varian budaya yang berbeda. Ini dapat dilihat dari telatah kebudayaan masyarakatnya. Aspek-aspek keberanian dan kenekatan dari masyarakatnya merupakan kontribusi dari keberanian dan kenekatan orang-orang Madura. Keterbukaan dan egalitarian masyarakatnya juga merupakan kontribusi dari masyarakat pesisir. Sementara solidaritas yang kuat, guyub dan rukun merupakan kontribusi dari pedesaan agraris. Namun demikian, budaya Arek tetap merupakan budaya varian yang mandiri sekaligus meneguhkan perbedaaan dengan budaya Jawa pada umumnya.

Masyarakat yang tinggal di wilayah ini akan dipengaruhi oleh karakter tersebut, sehingga dalam kehidupan sehari-hari cenderung “ceplas-ceplos” dengan tingkat pertemanan yang sangat tinggi. Hal ini biasanya membuat masyarakat di wilayah ini tidak suka “berbasa-basi”, dan memiliki sapaan-sapaan yang terkesan sarkasme seperti “dancuk”, sebuah umpatan yang mencirikan kesetaraan yang menunjukkan pula kedekatan pertemanan (Nurhasim, 2006: 37).

Masyarakat Surbaya adalah masyarakat yang kompleks dengan problem yang juga kompleks. Mengurai dan menyelesaikan persoalan yang kompleks membutuhkan model dan gaya kepemimpinan yang lebih soft, kepemimpinan yang berbasis pada sosio-kultural sendri, yakni kepemimpinan yang berkarakter atau berbudaya arek. Sebuah kepemimpinan yang tidak sekedar menganyomi masyarakat, tapi juga mampu merangkul semua keragaman entitas masyarakat Surabaya, kepemimpinan yang mampu menciptakan -memimjam konsep Habemas- ruang publik yang demokratis dengan praktek politik yang deliberatif. Ada proses dialog yang setara, konstruktif dan partisipatoris. Kepemimpinan yang inklusif, kepemimpinan yang menjadkan warganya sebagai subjek bukan objek dalam (membuat atau merumuskan sebuah kebijakan) pembangunan kota.

Setiap masalah kota sesulit dan serumit apapun, dapat dibicarakan dan diselesaikan bersama dengan pendekatan budaya yang lebih soft. Kepemimpinan arek adalah kepemimpinan yang mampu menciptakan ekosistem sosial, politik, dan budaya yang egaliter, guyub, dan penuh dengan kebersamaan. Kepemimpinan arek adalah solusi kepemimpinan Surabaya ke depan.

—————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: