Kerentanan Anak Muda Terpapar Radikalisme

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Ketua Bidang Media dan Humas Forum Koordinasai Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Timur 

Radikal dan radikalisme, dua istilah yang sering disebut ketika orang membincangkan soal terorisme. Orang kadang dengan sembrono menganggap radikal identik dengan terorisme. Sehingga muncullah pemahaman bahwa bersikap dan berpikir radikal itu selalu berkaitan dengan terorisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Radikal berarti, mendasar (sampai ke akar), (dalam konteks politik) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak. Istilah radikal berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”. Menurut The Concise Oxford Dictionary (1987), berarti akar, sumber, atau asal mula.
Kamus dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), radikal diartikan sebagai “secara menyeluruh”, “habis-habisan”, “amat keras menuntut perubahan”, dan “maju dalam berpikir atau bertindak”. Dalam pengertian lebih luas, radikal mengacu pada hal-hal mendasar, pokok, dan esensial. Berdasarkan konotasinya yang luas, kata itu mendapatkan makna teknis dalam berbagai ranah ilmu, politik, ilmu sosial, bahkan dalam ilmu kimia dikenal istilah radikal bebas. Sementara, radikalisme didefinisikan sebagai faham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Kemudian, Ensiklopedi online Wikipedia, membuat definisi yang lebih spesifik bahwa radikalisme adalah suatu paham yang dibuat-buat oleh sekelompok orang yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Dari sisi bahasa, istilah radikal sebenarnya netral, bisa positif bisa negatif.
Dalam sebuah seminar pejabat BNPT Prof Irfan Idris mengatakan mengajari anak mengaji dan sholat adalah bentuk radikal dan radikalisasi.
Tidak lama setelah statement tersebut disampaikan, muncul pemberitaan di salah satu website dengan menggunakan headline berbunyi: “BNPT: Mengajari Anak Mengaji dan Sholat Adalah Bentuk Radikalisasi”. Nyaris tidak ada yang salah dengan isi berita itu, karena Prof. Irfan memang menyatakan bahwa beragama adalah bentuk radikal. Hal yang agak mengganggu adalah munculnya rantai komentar terhadap berita tersebut. Beberapa bahkan tidak sungkan untuk mengumbar sumpah serapah. Radikal dan radikalisasi tentu boleh dalam beragama, karena keduanya bermakna sebuah upaya pemberian pemahaman secara komprehensif. Sementara radikal dan radikalisasi diperbolehkan, hal yang dilarang dalam beragama adalah radikalisme, karena -isme adalah paham, sementara agama tidak sama dengan paham. Sebaliknya, radikalisme dalam beragama dilarang sebab semangat politisasi agama lebih mencolok dibandingkan aplikasi ajaran utama agama; cinta kasih dan persaudaraan.
Bentuk radikalisme agama adalah menggunakan agama sebagai alasan dalam menuntut perubahan habis-habisan (bahkan jika perlu dengan kekerasan) terhadap perundang-undangan maupun pemerintahan. Agama tidak lagi dimaknai sebagai ‘media’ untuk mengenal dan mencintai Tuhan melalui perilaku dan pikiran baik terhadap alam dan sesama, tetapi lebih kepada alat untuk merebut kekuasaan.
Dari Radikalisme ke Terorisme
Terorisme bukan persoalan siapa pelaku, kelompok dan jaringannya. Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan, doktrin dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono adalah masyakarat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme keagamaan.
Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekeraan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal, di antaranya : (1). intoleran (tidak mau menghargai pendapat &keyakinan orang lain), (2). fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), (3). eksklusif (membedakan diri dari umat Islam umumnya) dan (4). Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, Faktor domestik, yakni kondisi dalam negeri yang semisal kemiskinan, ketidakadilan atau merasa Kecewa dengan pemerintah. Kedua, faktor internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong tumbuhnya sentiment keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yg arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang sempit dan leksikal (harfiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam aksi dan jaringan terorisme. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri telah mengeluarkan fatwa tentang terorisme. Menurut fatwa MUI, terorisme hukunya haram dilakukan oleh siapapun dengan tujuan apapun. Dalam fatwa MUI juga dijelaskan perbedaan secara nyata antara terorisme dengan jihad. Jihad sifatnya untuk melakukan perbaikan (ishlah) sekalipun dengan cara peperangan, tujuannya menegakkan agama Allah dan/atau membela hak-hak pihak yang terzalimi, serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syari’at dengan sasaran musuh yang sudah jelas.
Kerentanan Anak Muda
Masa transisi krisis identitas kalangan pemuda berkemungkinan untuk mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan.
Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan melancarkan agenda kekerasannya. Sangat memperihatinkan ketika melihat berbagai fakta yang mempertontonkan kedekatan pemuda dengan budaya kekerasan. Beberapa contoh yang bisa disebutkan adalah meninggal di Irak saat bergabung dengan ISIS. Wildan merupakan santri di Pondok Al Islam di Tenggulun, Lamongan, yang dikelola oleh keluarga Amrozi terpidana bom Bali 2002. Dalam usianya yang masih belia pemuda asal Lamongan ini memilih mengkahiri hidupnya di tanah penuh konflik. Tidak hanya dari kalangan laki-laki, Asyahnaz Yasmin (25 tahun), termasuk satu dari 16 warga negara Indonesia yang ditangkap pemerintah Turki. Gadis asal Bandung ini setelah dipulangkan ke Indonesia, ia ditolak keluarganya dan bupati setempat. Kemensos RI pun menampungnya kembali di rumah perlindungan dan trauma centre. Dan tentu saja masih banyak cerita lainnya. Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan kalangan generasi muda dari keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan oleh kelompok radika baik secara langsung maupun melalui media online yang menjadi sangat populer akhir-akhir ini. Karena itulah, upaya membentengi generasi muda dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan menjadi tugas bersama.

——— *** ———-

Tags: