Ketidakadilan; Lahan Subur Komunisme

Oleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S3 FISIP Unair, Dosen Sosiologi FISIP UWK Surabaya

Fakta sejarah tak bisa dibantah bahwa idiologi komunis dan PKI pernah ada dan tumbuh-kembang di negeri ini. Bahkan pernah menjadi kekuatan politik nomor 4 (baca: pemilu 1955). Pemberontakan PKI di Madiun dan tempat-tempat lain, termasuk puncaknya tragedi berdarah peristiwa G 30 S PKI adalah serentetan fakta sejarah yang tak terbantahkan. Peristiwa tersebut menjadi salah satu sejarah kelam dan traumatik dalam perjalanan bangsa Indoensia. Peristiwa tersebut tak bisa dilupakan begitu saja oleh semua elemen bangsa Indonesia.

Terlepas dari pro-kontra terkait dengan penayangan dan nonton film peristiwa kelam G 30 S/PKI, kita bangsa dan masyarakat Indoensia sebagai bangsa dan masyarakat ber-Pancasila, berketuhanan Yang Maha Esa, pernah hidup dan berkembang idiologi komunis dan pengusungnya, PKI. Idiologi tersebut pernah menumpahkan darahnya di bumi Pancasila. Ini adalah fakta sejarah yang sekali lagi tak terbantahkan,

Jika kita melihat sejarah komunisme dunia, kita menyaksikan betapapun indah janji mereka untuk menciptakan perdamaian dan keadilan di dunia. Teori Marx dan Engel ternyata bersimbah darah dan menebar maut. Dengan menjadikan teori Evolusi Darwin sebagai pembenar ilmiahnya. Idiologi komunisme tersebar begitu cepat dan memunculkan revolusi pertamanya di Rusia. Lebih lanjut, kita juga tahu bahwa kelaparan dan penindasan sebagai akibat dari kebijakan Lenin (Rusia) yang telah merenggut 5 juta nyawa rakyat yang tak berdosa. Fakta sejarah juga telah membuktikan kepada kita semua bahwa (idiologi) komunisme adalah idiologi yang paling berdarah di dunia.

Apakah idiologi komunisme masih bisa bangkit di Indonesia? Jawabnya masih bisa. Idiologi komunisme akan tumbuh subur di dalam lahan ketimpangan sosial-ekonomi atau ketidakadilan sosial-ekonomi. Laporan Oxfam Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (lNFID) tahun 2017 menyebutkan ketimpangan sosial-ekonomi Indonesia sudah cukup memprihatinkan. Hal ini salah satunya ditunjukkan dengan data; Tercatat kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Data lain sebagaimana hasil survey lembaga keuanagan Swiss, Credit Suisse pada Januari 2017, menyebutkan, Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk yang paling buruk di dunia. Menurut survei tersebut, satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand. Jika dinaikkan menjadi 10 persen terkaya, penguasaannya mencapai 75,7 persen.

Data Tim Percepatan Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) pada Oktober 2019 mengeluarkan data yang menyebutkan, bahwa kesenjangan sosial-ekonomi antara orang kaya dan miskin indonesia berada di urutan No 4 terparah di dunia setelah Rusia, India, dan Thailand. Detailnya, 1% WNI menguasai 50% asset nasional, sementara 10% WNI menguasai 70% asset nasional. Sisanya 90% WNI memperebutkan 30% asset nasional. Jika dinaikkan jadi 10% keluarga, maka ini menguasai 70%. Artinya sisanya 90% penduduk memperebutkan 30% sisanya.

Sementaraitu, fakta, data BPS menyebutkan, jumlah penduduk miskin per September 2018 mencapai 25,26 juta jiwa atau sebesar 9,66 persen dari total penduduk Indonesia. Jumlah tersebut menurun 280 ribu jiwa dibandingkan dengan total penduduk miskin per Maret 2018 yang mencapai 25,95 juta jiwa. Meskipun pemerintah mengklaim angka kemiskinan turun, kesenjangan antar daerah dinilai masih tinggi.

Benih-benih komunisme biasanya tumbuh subur dalam lingkungan masyarakat yang mengalami kerusakan sosial-ekonomi, dan politik. Ekspolitasi kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakadilan yang begitu masif dikampanyekan untuk menentang rejim pemerintahan yang mapan, dengan melalui gerakan-gerakan (perubahan) politik-ekonomi yang konfliktual, sebagaimana yang dilakukan kalangan Marxist. Kalangan Marxist dan Marxian percaya bahwa perubahan akan terjadi, jika ada perlawanan terhadap kelompok dominan/mapan (baca: borjuis) melalui gerakan konfliktual

Kondisi tersebut di atas, jika dibiarkan dan bahkan negara, dalam hal ini pemerintah dengan mudahnya memberikan previllage kepada orang-orang kaya, maka akan pada tahap awal akan melahirkan kecemburuan sosial. Dan jika kecemburuan sosial menyebar secara masif dan meluas, akan melahirkan suara-suara protes yang berujung pada gerakan sosial yang menentang ketidakadilan. Isu ketimpangan dan ketidakadilan, akan menjadi lahan subur bagi lahir dan bangkitnya idiologi komunis.

Memperkuat Idiologi Pancasila

Salah satu alat cegah bangkit dan tumbuhkembangnya idiologi komunisme adalah memperkuat nasionalisme Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Nasionalisme yang harus ditegakkan dalam kondisi seperti sekarang adalah nasionalisme ekonomi. Nasionalisme ekonomi harus dikembaikan pada khittoh-nya, yakni nasionalisme ekonomi yang berlandaskan pada spirit pasal 33 UUD 1945. Inilah idioogi ekonomi kita yang berlandaskan pada Pancasila, idiologi ekonomi yang lebih berorientasi pada tujuan negara, yakni memuwujkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Di tengah globalisasi dan liberalisasi yang begitu masif, faham-faham idiologi global, termasuk idiologi komunisme bukan tidak mungkin menginfiltrasi kehidupan sosial-politik, ekonomi, dan budaya bangsa Indonesia. Idiologi komunisme berpotensi hadir kembali dalam wajah yang berbeda, dengan substansi yang sama.

Melarang, menangkap, menghukum, dan memenjarakan orang-orang yang berhaluan dan bertindak ala komunisme jauh lebih mudah daripada membunuh idiologinya. Para penganut komunisme bisa saja dipenjara sampai puluhan tahun dan dihukum mati, namun idiologinya masih berpotensi muncul kembali dengan wajah yang baru. Bak pepatah mengatakan; “hilang satu tumbuh seribu”. Itulah idiologi komunisme. Penganutnya bisa saja mati, tapi idiologinya tak pernah mati.

Masyarakat dan bangsa Indonesia tidak dapat dibendung akan memiliki banyak sistem nilai dan idiologi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam masyarakat, bangsa dan Negara berdasarkan Pancasila akan ada dan akan terdapat enclave ideologi, dalam arti akan ada faham dan ideologi Kapitalisme liberal, akan hidup dan berkembang faham Komunisme, akan ada dan hidup faham Pragmatisme, dan sebagainya.

Di masa lalu ada enclave ideologi Komunisme, dan secara formal dilarang oleh Pemerintah RI sejak tahun 1965/1966. Apakah komunisme itu telah mati? Tidakkah kini ada enclave ideologi Kapitalisme liberal di bumi Indonesia? Diakui secara terpaksa atau sukarela, fenomena gaya hidup liberal (liberal life style) yang berbasis kepada materialisme telah hidup subur dan berkembang di Indonesia. Arus budaya asing yang dibawa modernisasi dan globalisasi sangat deras dan membawa faham-faham sekuler yang datang dari Barat.

Apakah kita tetap terlena dan membiarkan tumbuhnya enclave ideologi asing di negeri sendiri? Apakah kita membiarkan faham kapitalisme liberal itu membangun di berbagai sudut bumi Nusantara ini? Mengapakah kita membiarkan kekuatan asing mencerabut akar-akar kehidupan bangsa yang berbasis kepada Pancasila? Kita harus sadar dan bangkit sekarang juga untuk menyelamatkan kehidupan nasional yang berbasis kepada Pancasila.

——- *** ——–

Rate this article!
Tags: