Kiprah Haji Agus Salim dalam Pergerakan

Judul : Haji Agus Salim
Penulis : Haidar Musyafa
Penerbit : Imania
Cetakan : Pertama, Maret 2019
Tebal : 438 halaman
ISBN :978-602-7926-48-6
Peresensi : Ratnani Latifah
Alumna Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara\

Haji Agus Salim merupakan salah satu pahlawan nasional yang banyak memberikan sumbangsih pada masa pergerakan nasional. Tidak hanya bergerakan di bidang politik, ia juga berkiprah dalam organisasi yang menggagas masalah sosial-budaya, serta pendidikan. Ia adalah sosok yang memiliki sikap ulet, semangat tinggi dan tidak mudah menyerah selama ikut terlibat dalam perjuangan meraih kemerdekaan Indonesia.
Tidak hanya itu, ia juga merupakan sosok yang sangat cerdas. Di mana kecerdasan itu sudah tampak sedari kecil. Salah satunya adalah kecapakannya dalam mempelajari berbagai bahasa asing. Maka tidak heran, kemudian Haji Agus Salim dikenal sebagai seorang poliglot. Ia menguasi bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, Jepang, Latin dan Mandarin.
Sebelum terjun dalam dunia politik, ia pernah menjadi akuntan publik di salah satu perusahaan perkongsian milik Governmen di Batavia. Namun selama bekerja di sana, Haji Agus Salim, merasa tidak nyaman dan akhirnya memutuskan keluar (hal 124). Begitu pun ketika dipindahkan ke Kantor Konsulat Pemerintah Belanda di Jeddah, sebagai penerjemah. Mengingat visi dan misi yang ia miliki sangat bertentangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Haji Agus Salim tidak tahan melihat sikap curang atau kekejaman mereka dalam memperlakukan inlander.
Setelah kepulangannya dari Jeddah dan mengenal Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto, Haji Agus Salim tertarik untuk berkiprah dikancah politik. Ia bergabung dengan Sarekat Islam yang berkembang berganti menjadi Partai Serikat Islam, ikut berjuang dalam upaya meraih kemerdekaan Indonesia juga memajukan kaum bangsanya. Selain itu Haji Agus Salim juga menjadi Pemimpin Redaksi Nerajta, dan memanfaatkan koran itu untuk memuat berbagai macam opini pergerakan dan perjuangan, serta menampilkan berbagai macam aspirasi kerakyatan agar berani melawan Belanda (hal 291).
Meskipun sikapnya itu mengundang kemarahan Landjumin, penyandang dana serta para petinggi Belanda, hal itu tidak menyurutkan keberanian Haji Agus Salim dalam menyuarakan pergerakan. Haji Agus Salim juga merupakan anggota dalam Volksraad atau Dewan Rakyat. Di mana forum legislatif yang awalnya didirikan oleh Perintah Hindia Belanda tersebut, merupakan salah satu forum yang kemudian menjadi jalan para pejuang untuk meraih kemerdekaan.
Tidak berhenti di sana Haji Agus Salim juga aktif dan ditunjuk sebagai Penasihat di Jong Islamieten Bond (JIB), meskipun organisasi ini tidak berada di ranah politik, organisasi ini yang memiliki peran untuk membangkitkan nasionalisme kebangsaan dan perjuangan rakyat Indonesia meraih kemerdekaan. Sayangnya organisasi ini hanya berumur jagung, karena ketika kekuasaan Belanda telah diambil alih oleh Jepang, JIB merupakan salah satu organisasi yang dibekukan karena khawatir organisasi ini bisa merongrong pemerintah Jepang (hal 330).
Akan tetapi pembekuan itu tidak membuat Haji Agus Salim menyerah. Ia bersama tokoh gerakan lain tetap berjuang demi meraih kemerdekaan Indonesia lewat berbagai cara. Salah satunya memilih bertahan menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk oleh pemerintahan Jepang. Karena lewat organisasi tersebut mereka bisa mencari cela untuk melepaskan dari dari jajahan Jepang. Selain menjadi anggota BPUPKI, Haji Agus Salim juga salah satu anggota dari panitia sembilan yang bertugas merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar (hal 383).
Haji Agus Salim benar-benar mendedikasikan dirinya untuk berjuang demi kemajuan Indonesia. Bahkan ketika akhirnya Indonesia berhasil meraih kemerdekaan, Haji Agus Salim tetap berkiprah di ranah politik dan berjuang demi Indononesia. Ia menjadi menjadi menteri luar negeri dan mewakili pihak Indonesia dalam Perjanjian Renville pasca Agresi Militer Belanda II. Di sana ia berani menantang keras pernyataan utusan Belanda yang mengatakan bahwa Republika Indonesia sudah mengkhianati nota kesepakatan Linggarjati (hal 408).
Selain hal itu Haji Agus Salim juga menunjukkan hasil yang gemilang dalam melakukan tugas diplomasi ke berbagai negara. Dari India, Mesir, Lebanon hingga. Suriah Karena memiliki banyak pengalaman dalam kancah politik itulah, Haji Agus Salim mendapat gelar “The Grand Old Man”. Ia adalah sosok diplomat yang cerdik, antiminder, dan pendebat ulung. Novel biografi ini adalah cara yang lebih santai dan menarik untuk belajar sejarah.
————- *** —————-

Tags: