Kompensasi Peremajaan SUTET di Kabupaten Jombang Menuai Polemik

Proyek peremajaan SUTET yang melintas di Kabupaten Jombang, Senin (03/12). [Arif Yulianto/ Bhirawa]

Jombang, Bhirawa
Proyek revitalisasi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 Kilo Voult (KV) yang melintas di Kabupaten Jombang menuai polemik. Pasalnya, SUTET milik Perusahaan Listrik Negara (PLN) tersebut ternyata sebagian diketahui berdiri diatas Tanah Bengkok atau Tanah Kas Desa (TKD).
Polemik muncul saat pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) memberikan dana kompensasi pada para pemilik lahan yang terkena dampak revitalisasi termasuk pengelola tanah bengkok (Tanah Kas Desa). Beberapa perangkat desa pengelola TKD yang terdampak proyek tersebut berpendapat, kurang relevan jika kompensasi harus dimasukkan ke dalam tambahan anggaran pendapatan dan belanja desa (APBdes).
“Kalau ganti rugi tanah bisa masuk APBDes. Tapi ini kan bukan ganti rugi tanah ini kompensasi dari dampak kegiatan pengerjaan (revitalisasi),” ujar Sulaiman kepala Desa Sawiji, Kecamatan Jogoroto, Jombang, Sulaiman kepada wartawan, Senin (03/12).
Sulaiman mengatakan, mengacu pada Peraturan Menteri ESDM NO 27 Tahun 2018, dana kompensasi tersebut diberikan kepada pemegang hak atas tanah, berikut bangunan, tanaman yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung. Pengelola bengkok, akan dirugikan jika tanamannya terkena pembangunan tersebut.
Selain itu, Sulaiman menambahkan, berdasarkan Peraturan Bupati Jombang No 10 tahun 2018, tentang pengelolaan tanah bengkok, pada pasal 6 menyebutkan jika tanah bengkok digunakan untuk tambahan tunjangan perangkat desa, selain Siltap dan tunjangan dan tidak ada klausul pembagian prosentase.
“Jadi kalau klausul pembagain prosentase ke desa 70-30 itu tidak fair,” ucapnya.
Sulaiman menyebutkan, seluruh perangkat desa terdampak saat ini meminta kepada dinas terkait agar melakukan kajian ulang terhadap saran pembagian kompensasi 70-30. Sebab menurutnya, pengelola bengkok akan dirugikan karena pengerjaan revitalisasi proyek berimbas pada pengelola.
“Kami yang mengelola tanah (bengkok) pasti dirugikan karena tanaman kami kena imbas. Maka sudah pas jika kompensasi itu untuk pengelola,” katanya.
Senada dengan Sulaiman, Kepala Dusun Bote, Desa Kedawong Kecamatan Diwek, Mahmudiono, yang bengkoknya juga terdampak proyek mengatakan, kurang sepakat jika ada klausul 70-30. Dikatakannya, bunyi kompensasi dari PLN untuk tanah seluas 7000 meter persegi dengan besaran 179 juta rupiah yang harus ia terima, sudah berbunyi untuk kompensasi lahan bengkoknya.
“Kalau dimasukkan APBDes saya gak setuju. Bengkok ini kan gaji tetap saya. Kalu tanaman saya rusak desa kan gak pernah tau. Apalagi saat pengerjaan revitalisasi kabel dan tiang kemarin tanaman saya juga terkena imbasnya,” terang Mahmudiono.
Keberadaan SUTET tersebut kata Mahmudiono sudah ada sejak puluhan tahun yang lalu dan mestinya sudah ada klausul ganti rugi di tahun pendirian waktu itu.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan dan Masyarakat Desa (DPMD) Jombang Darmaji, saat dikonfirmasi melalui sambungan Telepon Seluler (Ponselnya) menerangkan, jika wacana pembagian 70-30, dengan rincian 70 persen untuk pembangunan dan 30 untuk operasional hanya bersifat saran dan bukan sebuah kebijakan resmi yang dikeluarkan pihak DPMD Jombang.
“Kami hanya menyarankan agar kompensasi tersebut dibagi dengan sistem 70-30, hanya saran,” kata Darmaji.
Lebih lanjut dikatakannya, saran itu mengacu pada Undang Undang Desa, No 6 Tahun 2014.
“Jadi setiap pengelolaan keuangan harus masuk APBDes, karena ini kompensasi dan bukan hasil pengelolaan,” tutupnya.(rif)

Tags: