Komunikasi Politik Yang Penuh Kepura-puraan

Resensi Buku:
Judul: Komunikasi Politik dalam Masyarakat Tidak Tulus
Penulis: Nurudin
Penerbit: Prenada, Jakarta
Tebal: xiv 200 Halaman
Cetakan: Pertama, Juli 2020
ISBN: 978-602-383-060-2
Peresensi: Sugeng Winarno
(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang)

Politik itu artinya segala cara untuk mencapai tujuan. Dalam definisi yang sangat sederhana ini seperti tak salah jika orang lantas menjalani laku politik dengan menghalalkan segala cara. Politik akhirnya dilakoni dengan menihilkan etika. Menghalalkan yang haram demi kepentingan politiknya. Politik dijalankan dengan pamrih. Politik dilakukan dalam niat yang tidak tulus. Kepentingan dan ambisi masing-masing pihak sangat menonjol. Saling jegal dan menggunting dalam lipatan. Itulah yang terjadi dalam masyarakat yang tidak tulus.

Potret laku politik yang tak tulus inilah yang coba ditangkap oleh Nurudin dalam buku terbarunya yang bertajuk “Komunikasi Politik dalam Masyarakat Tidak Tulus.” Isi buku yang diambil dari kumpulan tulisan opini penulis di beberapa media cetak ini berisi 43 judul. Buku ini dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama membahas tentang perilaku elite politik. Bagian kedua berbicara tentang peran partai politik yang fungsinya semakin tereduksi. Pada bagian ketiga mengulas tentang pasang surut dinamika politik masyarakat. Buku ini ditutup dengan bahasan berbagai aturan hukum yang terus berubah sesuai kepentingan penguasa.

Nurudin menilai banyak elite politik yang tidak tulus. Sejumlah produk kebijakan yang dibuatnya juga pamrih. Kondisi ini semakin menguatkan masyarakat yang sebelumnya sudah berada dalam kondisi tidak tulus. Klop, antara elit dan masyarakat jadi sama-sama tidak tulus. Ketidaktulusan ini memunculkan sikap kepura-puraan. Elit berpura-pura seperti benar-benar mimikirkan rakyatnya, sementara masyarakat juga berpura-pura seakan-akan selalu patuh pada apa titah sang penguasa.

Lebih jauh Nurudin menilai proses komunikasi politik yang tidak tulus akan memunculkan kepura-puraan pada semua unsur yang terlibat dalam proses komunikasi politik. Komunikasi politik yang berlangsung tak lebih hanya sebuah pertukaran simbol yang artifisial belaka. Pesan yang muncul banyak didasari pada niat sekedar basa basi hingga tak menyentuh esensi persoalan komunikasi. Komunikasi politik lebih menonjol sebagai upaya memoles diri sebagai upaya menjalani komunikasi di era politik citra diri.

Buku ke-21 Nurudin ini juga mengingatkan kepada kita bahwa tak jarang elit politik yang menggunakan logika terbalik. Bisa jadi ketika masa kampanye para kandidat berjanji hingga mulut berbusa tentang ini itu yang akan menyejahterahkan rakyatnya. Namun, ketika mereka sudah terpilih dan duduk di kursi kekuasaan maka janji tinggal janji, tak ada yang ditepati. Tak heran jika para elit sering mencla mencle. Kata-katanya tak bisa dipegang. Isuk tenpe sore dele, begitu Nurudin menginstilahkan.

Perilaku sejumlah elit politik juga seperti bunglon. Bisa bergonta ganti warna baju partai. Hari ini bergabung di partai bergambar binatang tertentu, bisa jadi besuknya akan melompat ke partai bergambar pohon tertentu. Semua dilakukan karena faktor kepentingan. Siapa yang lebih mampu melanggengkan kekuasaannya maka itulah yang akan diikuti. Sekelompok masyarakatpun setali tiga uang dengan para elit politik. Tak sedikit masyarakat yang berfikir sumbu pendek. Yang penting siapa yang memberi uang disitulah mereka akan berbakti.

Dalam komunikasi politik antara pemerintah dengan masyarakat ada sesuatu yang disembunyikan. Semua pihak punya pretensi masing-masing. Siapa yang bisa menguntungkan partai, kelompok, atau dirinya yang akan diperhatikan. Hal ini dapat menimbulkan elit dan masyarakat menjadi terbelah. Nurudin mencontohkan bahwa komunikasi masyarakat tidak tulus dapat dilihat dari munculnya kubu. Tak jarang yang menilai hanya kelompoknya yang paling benar dan kubu lain salah.

Nurudin juga menyajikan fakta bahwa tak sedikit elit berkuasa yang dilakukan hanya bagaimana melanggengkan kekuasaan. Mereka awalnya membangun agar partainya menjadi mayoritas. Selanjutnya mereka membuat beragam aturan yang mendukung kelanggengan kekuasaannya. Sementara itu, partai oposisi yang berada di seberang pemerintah ternyata perilakunya tak jauh beda. Oposisi yang idealnya mampu menjadi sarana kontrol yang efektif justru sibuk sendiri dengan upaya membangun mayoritas agar mampu merebut kekuasaan.

Fungsi partai politik menurut Nurudin juga telah tereduksi. Partai politik tak lebih hanya sebagai kendaraan politik untuk mencapai kekuasaan. Fungsi partai akan berubah seirama dengan kekuasaan yang telah diraihnya. Partai politik akhirnya banyak bermain dalam perebutan kekuasaan dalam pemilihan kepala daerah. Cara ini ditempuh dalam upaya memuluskan langkah melaju ke pusat. Karena siapa yang sukses berkuasa di daerah kecenderungannya agak lebih gampang menguasai pusat.

Apa yang diresahkan oleh Nurudin atas munculnya masyarakat yang tidak tulus ini serupa dengan apa yang pernah ditulis oleh Jakob Oetama (2001) dalam bukunya “Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus”. Seperti yang diurai Jakob bahwa komunikasi tidak tulus merupakan komunikasi basa basi. Komunikasi yang tidak menyampaikan pesan komunikasi yang sebenarnya. Melalui Ilmu Komunikasi sesungguhnya dapat dijadikan solusi dalam merubah masyarakat yang tidak tulus menjadi tulus tanpa kepura-puraan.

Dalam buku setebal 200 halaman ini Nurudin mengingatkan kepada semua pembaca agar tak perlu fanatik pada figur tertentu. Bisa jadi orang yang kita bela mati-matian ternyata berkhianat. Seperti halnya orang pacaran, kalau cinta tak perlu 100 persen. Nanti kalau ternyata diselingkuhi maka tak lantas cupet ati dan mau bunuh diri. Take it easy saja, karena para elit politik itu kebanyakan juga tak terlalu serius memikirkan dan bekerja demi konstituennya.

Buku ini muncul pada momentum yang pas, jelang kontestasi politik tahun ini. Buku ini layak menjadi referensi dan dibaca oleh banyak kalangan; para akademisi, mahasiswa, praktisi partai, juga para elit politik dan para peminat yang sedang ingin ikut dalam kontestasi politik. Buku ini bisa menjadi media yang mengedukasi semua pihak. Penulis buku ini secara kritis banyak mengingatkan kepada para penguasa juga pada masyarakat. Melalui buku ini juga bisa jadi oto kritik bagi elit politik dan masyarakat. Selamat membaca.

———— *** —————

Tags: