Konsep Wahyu dalam Kekuasaan dan Segala Persoalannya

Judul : Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang
Penulis : Ong Hok Ham
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : Pertama, Desember 2018
Tebal : xix + 438 halaman
ISBN : 978-602-481-063-4
Peresensi : Ridwan Nurochman

Kekuasaan selalu tergantung akan datangnya sebuah takdir. Soal takdir inilah yang penting bagi hilang dan jatuhnya wahyu ke tangan raja / pemimpin. Tetapi, biarpun takdir adalah penting, si penerima wahyu kerajaan harus berusaha untuk mendapatkannya. Biasanya melalui pertapaan.
Buku menjelaskan mitos wahyu dalam kekuasan sampai keguncangan apa saja ketika wahyu tersebut telah menghilang atau beralih ke calon raja baru. Pun, tentang suksesi kekuasaan dari Hindia-Belanda kepada Jepang terjadi.
Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan dan kepemimpinan selalu diselimuti aura spiritualitas. Irasionalitas kekuasaan selalu dikaitkan dengan sosok pemimpin yang sakral karena melibatkan campur tangan Tuhan. Seseorang menjadi pemimpin karena dikarunia wahyu keprabon / keraton dari Tuhan.
Pada dasarnya, wahyu keprabon adalah restu gaib dari para leluhur dan alam semesta. Semacam kepercayaan yang diberikan untuk memimpin suatu kerajaan / negeri. Mereka yang menerima wahyu inilah, yang kemudian diyakini layak menjadi seorang raja / pemimpin. Masyarakat Jawa meyakini, bahwa mereka yang menerima wahyu keprabon adalah sosok pemimpin sejati. Pemimpin sekaligus satria terpilih yang akan membawa keadilan dan kesejahteraan hidup rakyatnya.
Konsep wahyu keprabon, di dalam khazanah kerajaan Jawa lebih dominan daripada konsep legitimasi hak-hak lain, seperti keturunan. Sebab, konsep wahyu lebih menjelaskan kekuasaan mutlak seorang raja/pemimpin. Dan ada anggapan jika menentang raja itu sama halnya dengan melawan Tuhan.
“‘Beliau adalah Yang Mahasempurna yang jadi raja di dunia seperti para nabi dahulu’. Dengan kata-kata itulah Susuhunan Pakubowono IX melukiskan Sultan Agung, Raja Mataram di abad ke-17. Seakan-akan nenek-moyangnya yang mahsyur ini adalah titisan para nabi-bahkan Tuhan sendiri. Tentu ketuhanan menitis para raja tidak badaniah, tetapi secara spiritual. Artinya, raja adalah penerima wahyu Tuhan yang terkenal sebagai wahyu kedaton (kerajaan)” (hal.11)
Di Mataram juga ditekankan bahwa kesempurnaan seseorang hanya bisa dicapai bila ia menyatukan diri dengan kehendak Tuhan, yang di dunia ini berarti kehendak raja. Sehingga kekuasaan raja dianggap sakral. Menentang raja sama dengan mengkhianati, dan durhaka.
Sesungguhnya, konsep wahyu keraton menjadikan kedudukan raja menjadi tidak stabil. Sebab, wahyu dapat berpindah setiap waktu dan datang pada siapapun saja. Sehingga, sering timbul berbagai gerakan Ratu Adil dalam sejarah Jawa dengan dalil-teori mereka telah menerima wahyu keraton. Ratu Adil mencoba memberontak untuk merebut kekuasaan.
Selain itu, sebenarnya konsep wahyu juga tidak bersifat langgeng, melainkan makin hari makin berkurang. Karena itulah suatu dinasti tidak jarang yang haya bertahan tidak lebih dari 100 tahun. Lebih lagi, kepercayaan akan adanya jatah waktu bagi kekuasaan ini sering dinyatakan dalam ramalan, menjelang kekuasaan mendekati akhir riwayatnya. Kepercayaan bahwa wahyu telah hilang menunjukkan hilangnya kepercayaan diri sendiri, dan hasrat untuk memerintah.
Dalam konsep wahyu keraton juga sering timbul perubahan politik yang drastis maupun kekacauan-kekacauan lain yang dapat meruntuhkan dinasti / kerajaan.
Keguncangan ketika Suksesi Takhta
Sumber keguncangan yang terjadi di Mataram ketika peralihan kekuasaan dari seorang raja tua ke putra mahkota. Hal ini seperti yang terjadi ketika Sultan Agung (1613-1646), wafat, dia digantikan Amangkurat I (1646-1677).
Sejak awal raja baru hendak menyatukan segala kekuasaan di tangannya. Banyak penasihat-penasihat tua yang disingkirkan, bahkan dibunuh, termasuk adiknya sendiri, Pangeran Alit, dibunuh. Amangkurat I mungkin dapat dikatakan raja terkejam dalam sejarah Jawa. Pemerintahan Amangkurat I kelihatannya demikian kuat-dengan sistem teror. Kemudian datang oposisi lain yang mengancam perubahan secara radikal dari daerah. Tokoh ini adalah Panembahan Rama. Dalam kronik dinasti Mataram ia disebut Raden Ambalik (pengkhianat). Muncul lagi perampok Bugis dan dijadikan sekutu oleh Trunojoyo.
Perang suksesi di Jawa muncul ketika abad ke-18 pertengahan. Kompeni mendesak untuk membagi takhta menjadi dua bagian: kesunanan di Surakarta dan kesultanan di Yogyakarta. Sementara itu, masih ada seorang pangeran yang memberontak, yakni Raden Mas Said, yang juga dikenal sebagai Samber Nyawa. Sejak itu, suksesi takhta di Jawa harus melalui persetujuan pihak Belanda. Dan ini bertentangan dengan konsep sebelumnya yang digunakan , konsep “penerima wahyu” dalam pemikiran Jawa.
“Sesungguhnya, suksesi atau pergantian takhta di kerajaan Jawa tradisional tak sepenuhnya pasti dan jelas. Akibatnya, kosongnya suatu takhta hampir selalu menimbulkan keguncangan. Tak jarang seorang raja baru terpaksa menyuruh membunuh para pesaingnya-mungkin adik atau pamannya sendiri. Ini berbeda dengan sistem kerajaan Eropa. Di sana, anak lelaki tertua yang lahir dari permaisuri yang berhak atas takhta sesudah raja wafat. Kalau tak ada anak lelaki, hak jatuh pada anak perempuan tertua dari permaisuri” (hal.51)
Sementara, menurut konsep Jawa yang disampaikan Pangeran Suryawijaya dari Yogyakarta, syarat utama pengganti raja adalah harus berdarah Mataram, tak harus selalu dari permaisuri. Faktor lain yang sama pentingnya yaitu hak raja yang sedang berkuasa untuk mengangkat putra mahkota. Calon penerima takhta harus sehat badan-tai boleh cacat. Dan yang tak kalah pentingnya yaitu harus disenangi rakyat. Namun, ketika Belanda masuk, unsur popularitas di kalangan rakyat mulai dikesampingkan. Bahkan, Belanda juga kerap menentang kehendak raja yang tengah berkuasa saat menunjuk beberapa pangeran sebagai penggantinya. Seperti yang terjadi di Mangkunegaran VI tahun 1916.

———- *** ————

Tags: