Kontroversi Pilkada Tak Langsung

Agustin Dwi HaryantiOleh :
Agustin Dwi Haryanti
Pengajar Universitas Muhammadiyah Malang

Akhir-akhir ini wacana Pilkada tidak langsung menjadi sorotan publik, karena di kemudian hari dianggap menjadi sebuah ancaman dalam berdemokrasi. Demokrasi berada dalam ancaman ketika semakin banyak aktor yang luntur kepercayaannya terhadap demokrasi dan kemudian memiliki skenario lain yang berlawanan dengan arus demokratisasi.
Sebenarnya dalam berdemokrasi tidak ada satu metode yang harus pakem, sehingga demokrasi baru terkonsolidasi manakala ia menjadi satu-satunya metode atau “permainan” yang disepakati (the Only Games in Town), demikianlah ungkapan Juan Linz dalam buku proses demokrasi di negara berkembang (1992). Ungkapan Juan Linz tersebut dapat diartinya, semakin tinggi keyakinan semua pihak bahwa demokrasi adalah satu-satunya jembatan untuk menggapai kesejahteraan.
Realiatas tersebut setidaknya menunjukkan bahwa demokrasi itu fluktuatif. Senada dengan ungkapan Samuel Huntington dalam buku Gelombang Demokrasi Ketiga (1993) mengatakan bahwa tidak menjadi jaminan sebuah negara yang sudah stabil level demokrasinya akan terus berada dalam kondisi stabil. Bagi negara yang gagal merawat benih-benih demokratisasinya, konsekuensinya bukan sekadar mengalami stagnasi demokrasi, melainkan juga arus balik demokrasi yang ditandai dengan menguatnya kembali sistem politik konservatif (status quo), atau bahkan sistem politik kontra-demokrasi (otoritarianisme) dan upaya yang bisa dilakukan untuk menepis kondisi itu salah satunya dengan konsolidasi demokrasi.
Konsolidasi Demokrasi
Adapun tokoh yang menyarankan akan pentingnya konsolidasi demokrasi sebagai kunci menuju tatanan demokrasi dan mencegah arus balik demokrasi adalah Huntington sebagaimana juga Robert Dahl dalam On Democracy (1996) dan Larry Diamond dalam Developing Democracy (1998). Konsolidasi demokrasi adalah peningkatan secara prinsipil komitmen seluruh elemen masyarakat pada aturan main demokrasi.
Konsolidasi juga dipahami sebagai sebuah proses panjang yang mengurangi kemungkinan pembalikan demokratisasi, mencegah erosi demokrasi, menghindari keruntuhan demokrasi, yang diteruskan dengan melengkapi demokrasi secara berkelanjutan. Dengan kata lain, struktur dan prosedur politik yang berlangsung selama proses transisi akan dimantapkan, diinternalisasikan, bahkan diabsahkan dalam proses konsolidasi demokrasi. Dengan konsolidasi politik yang tuntas (baik di tataran elite maupun massa), agenda-agenda politik yang sudah dicanangkan tidak akan terganggu oleh riak-riak yang sering kali bergerak destruktif dalam arus demokratisasi.
Relevansinya dengan kontroversi pembahasan regulasi pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sekarang digodok di DPR, prinsip pilkada langsung merupakan ”anak kandung” Reformasi yang menjadi bagian dari proses transisi dari rezim pemilu oligarki di era Orba menuju rezim pemilu yang egaliter, transparan, dan akuntabel. Dengan demikian, model pilkada langsung merupakan bagian dari tahapan konsolidasi demokrasi.
Sedangkan rencana kembalinya pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD adalah arus mundur dan ancaman serius bagi proses konsolidasi demokrasi. Atas nama efisiensi, demokrasi menjadi kehilangan substansi. Atas nama harmoni, konsolidasi demokrasi akan mati suri. Jangan pernah kita lupakan bahwa semangat pilkada langsung adalah untuk mengikis praktik oligarki politik ketika segelintir elite menentukan keseluruhan langgam politik di daerah.
Pilkada langsung juga telah menempatkan warga menjadi aktor utama dalam suksesi kepemimpinan lokal, dengan suatu sistem sirkulasi kepemimpinan yang lebih terbuka dan partisipatif. Pilkada langsung juga membuka jendela harapan warga dalam mengartikulasikan isu-isu lokal yang menjadi perhatian mereka. Ketekunan dan kegigihan untuk secara bertahap menyempurnakan seluruh regulasi dan membangun kultur politik demokratis menentukan kesuksesan kita dalam mengkonsolidasikan demokrasi. Bagi sebuah negara yang sedang berada dalam proses transisi demokrasi sebagaimana terjadi di Indonesia saat ini sebenarnya dibutuhkan konsistensi menjalankan agenda liberalisasi politik.
Liberalisasi politik
Istilah ”liberalisasi” dalam konteks ini tidak berkonotasi negatif sebagaimana orang memandang buruk agenda ”liberalisasi ekonomi”. Sebab, liberalisasi dalam konteks politik berarti penciptaan kesetaraan hak untuk dipilih dan memilih, egalitarianisme, serta keterbukaan proses. Selama ini, liberalisasi politik yang merupakan prasyarat utama menuju demokrasi relatif berjalan dalam wujud pelaksanaan pemilu langsung. Baik untuk level pemilu legislatif, pemilu presiden-Wapres, pemilu gubernur-Wagub, maupun pemilu bupati/wali kota-Wabup/Wawali.
Sekalipun dalam pelaksanaannya masih banyak ditemukan berbagai kekurangan yang menjadi sisi minus dari sistem pilkada langsung, hal tersebut bukan alasan urgen untuk mengembalikan sistem pilkada langsung menjadi sistem pilkada tertutup (tidak langsung). Sebab, sebagai negara yang relatif baru melaksanakan transisi demokrasi pasca-Reformasi 1998, tentu Indonesia masih sering mengalami rintangan dalam melaksanakan konsolidasi demokrasi. Karena itu, Linz dan Stephan (1996) membidik lima arena yang harus berjalan simultan dalam proses konsolidasi demokrasi agar proses tersebut tidak berjalan mundur menuju gelombang balik.
Pertama, masyarakat politik yang relatif mandiri dan bermakna. Kedua, tumbuhnya kehidupan masyarakat sipil yang bebas, mandiri, dan semarak. Ketiga, birokrasi negara yang bisa dipakai (usable) oleh pemerintahan demokratis yang baru. Keempat, harus ada rule of law yang memberikan jaminan legal bagi kebebasan warga negara dan tumbuhnya kehidupan asosiasional independen. Kelima, institusionalisasi masyarakat ekonomi. Artinya, harus ada norma, institusi, dan regulasi yang diterima sebagai jembatan antara negara dan pasar.
Jadi sudah saatnya para parpol pengusung gagasan pilkada tidak langsung menunjukkan kepribadiannya sebagai negarawan. James Clarke, seorang intelektual Amerika abad ke-19, mengatakan, “Seorang politisi berpikir tentang pemilihan ketika seorang negarawan berpikir tentang generasi masa depan.” Setiap keputusan kita hari ini akan dicatat dalam sejarah dan akan menentukan kehidupan generasi masa depan. Tugas kita adalah membangun generasi, bukan hanya berdebat tentang regulasi. Agenda kita adalah penguatan partisipasi, bukan perdebatan koalisi. Rakyat berdaulat, demokrasi sehat, Indonesia kuat, Indonesia hebat!

                                                                      –—————————– *** ——————————-

Rate this article!
Tags: