Kontroversi RUU Ciptaker bagi Dunia Pendidikan

Kajian bidang pendidikan yang akhir-akhir ini ada dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) terus menuai kontroversi. Logis adanya, jika RUU Ciptaker yang menyentuh ranah atau klaster pendidikan ini mendapat sorotan publik. Pro dan kontra sebagai suatu realitas tidak bisa terelakkan. Semua itu terjadi bukan tanpa alasan. Baik yang pro maupun kontra logikanya pasti punya sisi positif dan negatif atas kontroversi tersebut.

Bagi yang kontra diasumsikan RUU Ciptaker dalam klaster pendidikan bertentangan dengan keberlangsungan pendidikan yang sesuai dengan amanat UUD 1945. Realitas tersebut, bisa dicek di RUU Ciptaker Paragraf 12 tentang Pendidikan dan Kebudayaan pada Pasal 68 ayat (5) terkait ketentuan pada Pasal 62 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) diubah menjadi berbunyi “(1) Penyelenggaraan satuan pendidikan formal dan nonformal yang diselenggarakan oleh masyarakat wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.”

Selanjutnya, masih dalam paragraf yang sama, yakni Pasal 68 ayat (10) terkait ketentuan pada Pasal 71 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas juga turut diubah sehingga berbunyi: “Penyelenggaraan satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/ atau pidana denda paling banyak satu miliar rupiah.” Jelas adanya, semangat komersialisasi, privatisasi serta liberalisasi cukup menonjol dalam batang tubuh RUU tersebut.

Sedangkan yang pro, mengasumsikan bahwa RUU Ciptaker memiliki sisi positif. Salah satunya, melalui Pasal 65 UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Aturan itu mewajibkan lembaga pendidikan asing pada tingkat dasar dan menengah memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan serta menambahkan muatan Bahasa Indonesia baik peserta didiknya.

Masyhud
Pengajar FKIP Universitas Muhammadiyah Malang

Tags: