Kontroversi RUU Pilkada

RUU Pilkada kini sedang berada dalam polemik dan banyak mendapat kritikan dari masyarakat. RUU tersebut mencantumkan bahwa kepala daerah kelak akan dipilih oleh DPRD. Pendukung ide tersebut adalah Partai Golkar, PKS, PPP, Demokrat dan Gerindra. Sementara PDI-P, Hanura dan PKB tetap menginginkan Pilkada diselenggarakan secara langsung. Apa argumentasi pendukung? Setidaknya mereka memiliki tiga alasan. Pertama bahwa Pilkada langsung dituding menjadi asal muasal dari praktik money politics. Kedua, Pilkada langsung berbiaya mahal. Lebih dari 500-an daerah menyelenggarakan Pilkada dalam waktu 5 tahun memerlukan ongkos yang besar. Ketiga, Pilkada dituding sebagai biang konflik horizontal. Akan tetapi alasan tersebut kelihatannya adalah alasan yang tidak terlalu masuk akal. Selama ini money politics dalam Pilkada diduga justru banyak terjadi ketika Pilkada masih dilakukan oleh anggota  dewan. Ditengarai Pilkada di tangan DPRD justru menyebabkan transaksi uang menjadi lebih terbuka dan kasat mata. Bahkan jika itu benar terjadi kelak, bukan tidak mungkin ada DPRD yang akan lumpuh karena anggotanya menerima suap dari peserta Pilkada. Alasan mahalnya ongkos Pilkada memang sudah disadari oleh banyak pihak. Maka tidak heran jika MK memerintahkan, Pilkada dilaksanakan secara serempak mulai tahun 2019 nanti. Argumentasi bahwa karena itulah Pilkada dilaksanakan oleh DPRD sudah tidak selaras dengan putusan MK mengenai hal itu. Mengenai konflik horizontal juga sulit untuk dibuktikan. Dalam sejarah Pilkada di negeri ini, amat tidak mudah menemukan bukti mengenai konflik yang kemudian berujung kepada perpecahan di masyarakat. Bahkan ketika baru saja kompetisi Pilpres terjadi pada skala nasional, tidak ada masalah yang begitu luar biasa. Elit politik justru mengalami keengganan untuk berdamai, berbeda dengan masyarakat yang langsung saja kembali kepada aktifitasnya masing-masing. Kita sudah sampai pada titik yang luar biasa dalam demokrasi kita. Selama ini masyarakat tahu bahwa merekalah yang memiliki kedaulatan. Prinsip kedaulatan itu adalah ketika masyarakat memberikan pilihannya sendiri dan menentukan sendiri pemimpinnya. Kita sudah mengalami berbagai macam Pilkada sejak hal itu dilangsungkan. Memutar mundur proses tersebut ke alam Orde Baru jelas hanya akan menyebabkan kekecewaan pada masyarakat. Kurang lebihnya Pilkada langsung, tetaplah sebuah kemajuan yang luar biasa dan hak rakyat untuk memilih langsung pemilihnya rasanya tidak pantas kembali dikekang. Masa lalu dimana bukan pemimpin yang dikehendaki oleh rakyat yang berkuasa, justru akan menyebabkan konflik baru yang tidak mudah ditangani. Kita tidak tahu logika apa yang sedang menimpa parpol di parlemen. Kelihatannya asal bisa mendapatkan jabatan, apapun cara ditempuh untuk melanggengkan oligarki politik. Jelas-jelas ini merupakan strategi dari oligarki yang kelak kita kuatir justru akan merusak citra demokrasi kita sendiri. RUU Pilkada ini tidak perlu disahkan. Sama seperti nasib UU MD3 yang terkesan dipaksakan di masa “injury time”, pengesahan RUU Pilkada juga pastilah akan digugat ke MK. Jika melihat model putusan  yang sudah dilaksanakan oleh MK selama ini, mustahil RUU Pilkada yang model pemilihan kepala daerah menggunakan DPRD tidak dibatalkan. Pekerjaan yang sia-sia hanyalah membuang energi dan membuang uang rakyat saja. Sebaiknya masyarakat ramai-ramai menggugat pengesahan RUU ini.

                                                          ————————- 000 —————————

Rate this article!
Kontroversi RUU Pilkada,5 / 5 ( 1votes )
Tags: