KPK Dikepung Serangan Politik

Yunus Supanto

Yunus Supanto

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial-politik

Prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat yang merusak lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan penegakan hukum. (Mukadimah Konvensi Hukum PBB untuk Pemberantasan Korupsi)
Sejak lama (zaman awal kerajaan Jawa rezim Shima, abad ke-7) bangsa Indonesia telah mewaspadai pejabat elit busuk, yang suka korupsi, mengutil uang negara. Sejak awal adanya kerajaan di Jawa, abad ke-7, Ratu Shima telah membuat hukum anti-korupsi, dideklarasikan di kaki gunung Merapi. Setahun setelah deklarasi itu, Ratu Shima benar-benar memotong tangan petinggi negeri dari kalangan dalam istana.
Saat ini, koruptor bukan dipotong tangannya, melainkan malah memperoleh potongan (masa) tahanan. Gerakan pemberantasan korupsi, bagai mundur 1.400 tahun (14 abad). Ini benar-benar terjadi manakala rancangan undang-undang (RUU) tentang KUHP dan KUHAP memasukkan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupi (KPK).
Jika revisi itu telah disetujui oleh DPR dan pemerintah, korupsi akan dianggap sebagai tindak kriminal biasa, seperti pencurian ayam. Padahal Indonesia telah meratifikasi konvensi internasioanl, bahwa korupsi sebagai extra ordinary crime, atau kejahatan luar biasa. Elit politik (pemerintah dan DPR) kini sedang mengebiri super-body dibawah Pengadilan biasa.
KPK kini sedang berhadapan dengan kekuatan terbesar tak tertandingi di negeri ini, yakni otoritas pembuat undang-undang (UU). Memang UUD pasal 20  memberi kewenangan otoritas membuat UU kepada “dwi-tunggal,” DPR bersama pemerintah. Walau masyarakat juga diberi hak pula untuk me-judicial review UU manakala dirasa tidak adil, atau mengesankan kezaliman. Masyarakat dapat mengajukan gugatan uji materi UU kepada MK (Mahkamah Konstitusi).
Beberapa UU sudah dinyatakan batal oleh MK. Batal seluruhnya, atau batal pada beberapa pasalnya. Yang batal seluruhnya, antaralain penghapusan institusi BPH Migas. Sedangkan yang dibatalkan sebagian pasal, diantaranya pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Koreksi oleh MK ini menuntut konsekuensi logis ke-peradilan sebagai media hukum acara (perdata). Termasuk hak waris anak hasil hubungan diluar nikah.
Secara tektual, koreksi terhadap pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan menjadi berbunyi, : “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Kewenangan KPK Dipreteli
Begitu pula MK telah menyatakan zalim-nya beberapa pasal dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Diantaranya pasal 64, pasal 65 ayat (7) dan pasal 66 ayat (2) huruf b. MK berpendapat berbagai pasal zalim itu bertentangan dengan UUD pasal 28D ayat (2). Dalam bahasa MK dinyatakan sebagai tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam hal RUU tentang KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) beserta KUHAP-nya, boleh jadi akan dicapai kata sepakat oleh “dwi-tunggal.” Tetapi pasti akan serta merta respons negatif masyarakat. Ahli hukum pidana yang lebih expert dibanding anggota DPR dan tim pemerintah, akan segera me-judicial review.  Bahkan saat inipun, RUU tentang KUHP dan KUHAP telah direspons negatif. Sudah banyak tudingan, bahwa politisi busuk berada di balik pembahasan RUU ini di DPR.
Draft RUU (termasuk naskah akademiknya) konon sudah mulai dibahas di DPR, secara kebutan. Mengesankan secepatnya disahkan. Sudah banyak pasal diusulkan anggota DPR sebagai penambahan pengaturan pasal-pasal. Seperti telah diduga sebelumnya, kewenangan KPK akan dipreteli. Diantaranya, kewenangan penyidikan (dengan penyadapan) serta proses penyitaan. Sebagai institusi pemberantasan korupsi, KPK memiliki ke-super body-an, yang disebut-sebut sebagai “kesaktian,” luar biasa.
Kewenangan penyadapan dan penyitaan tanpa izin pengadilan, menjadi kekhususan KPK dibanding penegak hukum lain. Kewenangan luar biasa itu merupakan amanat UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada pasal 30 tentang penyidikan, dinyatakan: “Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos, telekomunikasi atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.”
Frasa kata-kata “berhak membuka, memeriksa dan menyita,” secara analogis menjadi izin, selain perizinan yang diberikan melalui pengadilan atau hakim komisaris.  Hal itu lazim, mengingat korupsi sebagai extra ordinary, harus ditangani secara luar biasa, dengan kekuatan luar biasa. Sebagai extra-ordinary crime (kriminal luar biasa) seluruh dunia juga mendendam sengit. Sampai PBB menerbitkan konvensi khusus korupsi (United Nations Convention Againt Corruption), tahun 2003.
Di Daerah Lebih Masif
Maka setiap komisioner KPK mestilah kukuh, sebagai janjinya saat fit and proper test. Maka tentang apa (dan siapa) kekauatan besar “dwi-tunggal” menjadi tidak penting benar. Tidak akan mengalahkan kekuatan rakyat. Sebab pemberantasan korupsi di seluruh dunia (sejak zaman dahulu pula), selalu recoki campur tangan “orang dalam” penguasa. Sejarah telah membuktikan, sebesar apapun kekuatan penguasa yang zalim pasti akan kalah. Raja Idris (Libya), Shah Iran, Ferdinand Marcos, dan rezim-rezim lain, kalah dalam pertarungan melawan pedang keadilan yang bersih.
Diluar kritisi lemot-nya KPK (karena keterbatasan penyidik), masyarakat masih boleh berharap bisa memberangus korupsi, terutama yang berdampak pengrusakan hebat. Seperti bunyi mukadimah konvensi anti-korupsi PBB. Istilah itulah (pengrusakan hebat) yang dijanjikan oleh Ketua KPK, Abraham Samad: “semua kasus besar yang memenuhi kriteria, dan sudah masuk ke tahap penyidikan akan kita tuntaskan.”
Tetapi KPK juga harus jaga “stamina” dengan tidak mengurus korupsi yang remeh-temeh. Walau kriteria remeh-temeh memerlukan klasifikasi. Remeh-temeh nilai kerugian negara, atau remeh-temeh pelaku koruptor-nya? Biasanya, semakin besar ke-elit-an koruptornya, makin besar pula nilai yang dikorupsi. Yang terjadi di daerah, rata-rata korupsinya tak lebih dari Rp 10 milyar per-orang, tetapi dampak pengrusakannya (di daerah) cukup besar. Apakah ini akan diabaikan?
Berdasar bisik-bisik (tetapi cukup luas dan faktual) bahwa kasus dugaan mega-korupsi di Jawa Timur akan dibuka lagi oleh KPK. Bukti permulaan sudah terkumpul sangat banyak, lebih dari satu truk kertas data. Yakni, kasus P2SEM yang mandeg ditengah jalan. Jika tidak dilanjutkan, akan berpotensi terulang lagi. Karena saat ini, setiap catur-wulan DPRD memperoleh jatah proyek reses jaring aspirasi masyarakat, nilainya lebih dari P2SEM tahun 2009 lalu.
Mungkinkah KPK akan se-pemahaman dengan rakyat? Walau masyarakat juga paham, terdapat kekuatan besar yang harus dilawan oleh KPK dengan segala keberanian. Tetapi itulah utang KPK kepada rakyat yang dijanjikan para calon komisioner ketika di-fit and proper di Komisi III DPR-RI. Konon seluruh komisioner tiada yang gentar untuk menangkap kalangan Istana (kabinet) maupun kalangan Senayan (DPR). Benarkah?

Rate this article!
Tags: