Lapindo, Tanggungjawab Rezim

Laapindo (8)Protes dengan berkesenian kini menjadi pilihan korban lumpur Lapindo. Namun ganti rugi wilayah terdampak (peta luar maupun peta dalam) masih selalu “tersandera” urusan politik. Lebih lagi menjelang Pilpres, kasus ini dimanfaatkan sebagai salahsatu komoditas politik. Walau sudah terbukti, altar politik tidak pernah efektif. Seharusnya, advokasi lebih diarahkan pada realisasi P-APBN 2013 yang menjamin pembayaran ganti-rugi.
Seniman patung (yang telah sukses membuat tema serupa di Ancol, Jakarta) kini turut hadir di kawasan lumpur Lapindo. Dulu 100 patung di Ancol sukses memperoleh perhatian di Australia. Pematung-nya juga sukses secara ke-ekonomi-an, karena dibeli dengan harga 100 dolar per-patung. Boleh jadi “patung Lapindo” diharapkan bakal memperoleh perhatian internasional, dan pematungnya memperoleh keuntungan.
Sudah sering dilakukan protes murni masyarakat korban Lapindo. Ada pula yang tidak murni, karena didasari sponsor politik. Misalnya, ketika korban Lapindo berjalan kaki menuju Jakarta (rumah Aburizal Bakrie). Berkali-kali pula diterbitkan Perpres (Peraturan Presiden). Dan konon, grup Bakrie sudah mengeluarkan ganti-rugi cukup besar. Toh, tidak cukup. Sehingga pemerintah selaku pemilik sebagian saham juga diminta berpartisipasi menunaikan ganti rugi.
Ganti-rugi dampak lumpur Lapindo oleh pemerintah secara resmi dituangkan dalam undang-undang tentang Perubahan APBN 2013. UU tentang P-APBN telah disahkan oleh DPR-RI, tercantum pada pasal 9 ayat (1). Nilainya sebesar Rp 155 milyar, akan digunakan untuk pembelian tanah dan bangunan diluar peta terdampak di 3 desa melalui BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo). Sedangkan ganti-rugi didalam area terdampak konon, sepenuhnya menjadi tanggungjawab Lapindo.
Tetapi UU tentang P-APBN 2013 itu pernah diduga hanya akal-akalan. Karena itu tiga anggota masyarakat mengajukan judicial review pasal 18 UU APBN 2012. Tetapi gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) itu ditolak. Juga terdapat reasoning cukup meyakinkan, bahwa sumur minyak dan gas itu sebagiannya juga milik negara. Karena itu pemerintah menerbitkan PP (Peraturan Pemerintah), dan selalu diubah sampai beberapa kali seiring dinamika tuntutan masyarakat.
Sejak tahun 2007, memang terdapat pembagian beban ganti-rugi. Yakni oleh pemerintah melalui BPLS untuk area luar peta, serta oleh PT Lapindo Brantas Inc., untuk area dalam. Area luar peta, merupakan desa-desa yang tidak terendam, tetapi secara langsung menerima dampak semburan gas bercampur lumpur. Seluruh warga desa sudah dievakuasi, walau rumah dan tanah tidak terendam. Selain karena bau asap, bahaya luberan semburan lumpur bisa terjadi setiap saat.
Negara (pemerintah), mulai terbebani lumpur Lapindo setelah terbit Perpres Nomor 14 tahun 2007. Perpres itu mengatur pemberian ganti rugi tanah milik korban lumpur lapindo oleh negara. Hal itu cukup realistis, karena sumur migas tersebut milik negara, yang sebagiannya di-kerjasama-kan dengan swasta nasional. Pada zaman orde baru, sumur migas ini pernah ditangani oleh grup Humpuss.
Pada APBN 2012 ganti rugi Lapindo dianggarkan sebesar Rp 1,2 trilyun, khusus untuk asset masyarakat yang dahulu belum masuk peta wilayah terdampak. APBN tahun lalu (2011) pun juga dialokasikan dana sebesar Rp 1,286 trilyun. Sedangkan kerugian total yang diderita oleh warga mencapai Rp 3,2 trilyun, plus kerugian perusahaan sekitar Rp 370-an milyar.
Dalam UU Nomor 22 tentang P-APBN tahun 2012 pasal 18 berkonsekuensi talangan (bail-out) oleh pemerintah sebesar Rp 1,1 trilyun (membengkak menjadi Rp 1,6 trilyun). Jadi, kehadiran negara (pemerintah) untuk korban Lapindo sudah rutin dan disahkan sebagai UU. Tetapi berapapun jumlah ganti-rugi dampak lumpur Lapindo takkan pernah sebanding dengan kehilangan kerugian masyarakat.  Lebih lagi, setelah 8 tahun menunggu, ganti-rugi belum pernah selesai. Apakah rezim yang akan datang siap menyelesaikannya?

——– 000 ———

Rate this article!
Tags: