Larungan Telaga Ngebel, Kreasi Budaya Yang Lestari

Tokoh Masyarakat dan Tokoh Budaya Ponorogo KRAT. Hartono Dwijo Abdinagoro (Setelan Putih) Mengatakan Larungan Telaga Ngebel Adalah Kreasi Budaya Yang Lestari.

Ponorogo, Bhirawa
Larungan sesaji Telaga Ngebel merupakan kegiatan khas masyarakat Ponorogo. Kegiatan yang dilakukan setiap Suro ini menjadi magnet yang menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Tidak bisa dipungkiri, larungan dapat meningkatkan daya tarik dan pendapatan pelaku pariwisata maupun pedagang.
Tetapi apakah mitos kesakralan larungan yang berkembang di masyarakat adalah suatu kebenaran jua? Benarkan Telaga Ngebel merupakan tempat angker yang harus “ditenangkan” dengan sesaji?
Menurut tokoh budaya Ponorogo sekaligus tokoh masyarakat Ngebel, KRAT. Hartono Dwijo Abdinagoro, larungan sebenarnya merupakan kreasi budaya masyarakat Ponorogo. Kreasi budaya yang dilestarikan hingga kini dan perlu dilestarikan sampai masa mendatang.
“Larungan Telaga Ngebel adalah sebuah kreasi budaya yang tercipta pada tahun 1993. Hanya saja, dulu sebelum tahun 1993, desa – desa di sekitar Telaga Ngebel mempunyai tradisi Suroan. Kemudian Camat waktu itu mengajak warga untuk bersama – sama mengadakan Suroan di tingkat Kecamatan. Dulu kemasan kegiatannya sederhana sekali, berbeda dengan sekarang yang sudah terkesan agung,” terang KRAT. Hartono Dwijo Abdinagoro.
Menurut Hartono, pada awalnya acara larungan adalah hasil swadaya masyarakat, dan dilaksanakan oleh masyarakat sendiri.
“Bahkan dulu larungan ini adalah kegiatan swadaya masyarakat, saya masih ingat ketika itu setiap warga menyumbang 500 rupiah. Kemasan kegiatan larungan juga mengalami perubahan – perubahan, misal dulu tumpeng besar itu dibawa keliling dengan jalan kaki. Sekarang dinaikkan kendaraan, diarak bersama parogo – parogo atau tetua,” tambah pria yang akrab dipanggil Mbah Guru ini.
Seiring dengan waktu, kemasan kegiatan Larungan memang berubah. Berbagai kegiatan lain dimasukkan sebagai “bumbu” untuk membuat kegiatan menjadi lebih semarak, diantaranya kegiatan Istighosah, Puji – puji aliran kepercayaan, dan berbagai macam kegiatan yang bersifat hiburan. Tapi semua kegiatan tersebut tidak mengubah tujuan utama dari larungan.
“Tujuan utamanya tetap dari dulu, yaitu sebagai wujud syukur masyarakat. Dan karena sudah rutin kita lakukan, larungan harus kita lestarikan. Larungan sudah menjadi bagian budaya Ponorogo. Selain poin tadi, tentu kita perlu perhatikan dampak ekonomi masyarakat yang meningkat pada saat larungan,” ujar pria yang akarab disapa Mbah Guru.
Kepala Disbudpora Ponorogo Agus Sugiharto menambahkan, larungan Telaga Ngebel telah menjadi budaya yang memiliki nilai interest yang tinggi. Dari sisi pariwisata, objek yang memiliki nilai interest tinggi tentu memiliki daya tarik yang kuat untuk mendatangkan wisatawan. Karena itulah, Disbupora akan terus berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan budaya – budaya yang memiliki nilai interest yang tinggi di Ponorogo. [yan]

Tags: