Lestarikan Budaya, Berbagi Rizki dan Terciptanya Guyup Rukun

Wakil Bupati Sidoarjo sedang memimpin arak-arakan tumpeng di Dusun Pokokaton, Desa Kedungcangkring, Jabon, Sidoarjo.

Melihat dari Dekat Manfaat Ruwah Desa
Kabupaten Sidoarjo, Bhirawa
Memasuki bulan Muharam, atau bulan Suro dianggap sebagian orang Jawa sangat istimewa, banyak masyarakat yang melakukan hajatan besar, yakni ‘Ruwah Desa’ sebuah tradisi syukuran berbagi sesama, melalui sebuah budaya tradisional. Selain melestarikan seni budaya tradisional Jawa, juga tercipta suasana guyup rukun seluruh warga desa.
Ada banyak cara yang dilakukan masyarakat untuk mensyukuri nikmat hidup atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT. Seperti halnya yang dilakukan oleh penduduk Dusun Podokaton, Desa Kedungcangkring Kecamatan Jabon, Kabupaten Sidoarjo.
Mereka setiap dua tahun sekali warga Podokaton Kedungcangkring yang mayoritas warganya bermata pencaharian sebagai petani padi dan petani tambak ini melakukan syukuran Ruwah Dusun. Pada Sabtu (14/9), mulai pagi semua warga sudah sibuk membuat tumpeng yang akan diarak keliling dusun, warga Ponokawan mengaku tradisi ini sudah turun temurun dari sesepuh dusun.
“Tiap rumah membuat satu tumpeng, ada puluhan tumpeng yang diarak, setelah diarak keliling dusun, kemudian tumpeng dibagikan kembali kepada warga, sebelum dibagi dilakukan istighosah terlebih dahulu kirim do’a kepada keluarga dan sesepuh yang sudah meninggal,” ungkap Zainudin Fanani Tokoh Masyarakat sekaligus Kepala Desa Kedungcangkring.
Dari puluhan tumpeng tersebut, ada tumpeng yang berukuran besar yang diarak para tokoh masyarakat, termasuk Wakil Bupati Sidoarjo Nur Ahmad Syaifuddin ikut mengaraknya.
Ada beberapa tumpeng berukuran jumbo yang berisi hasil panen bumi seperti padi, timun, ikan hasil tambak dan olahan kedelai atau disebut tempe.
Setelah diarak keliling dan selesai di do’akan warga kemudian beramai-ramai menggrebek tumpeng yang berukuran lebih dari 1 meter. “Tradisi ruwah dusun ini dilakukan setiap dua tahun sekali, sebagai bentuk rasa syukur warga kepada Allah SWT, acara digelar mulai pagi dan ditutup dengan pagelaran wayang kulit,” terang Kades Zainudin lagi.
Ia juga mengakatakan kalau kegiatan ruwah dusun ini sudah diadakan selama dua tahun, dan murni dari swadaya masyarakat. “Untuk acara slametan tiap 8 rumah satu tumpeng. Harapan saya kegiatan seperti ini langeng, seperti program pemerintah guyup rukun bangun desaku. Saya bisa merasakan guyup rukun ada dikegiatan ruwah dusun ini,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Nur Ahmad Syaifuddin menilai, tradisi ruwah dusun atau ruwah desa sangat positif sekali, sebab tradisi ini mengajak masyarakat untuk berbagi rezeki sekaligus bersyukur atas rezeki dan nikmat yang diperoleh dari bertani. “Tradisi ruwah desa ini tidak ada negatifnya, semuanya positif. Ruwah desa menjadi ajang silaturahmi antar warga, dan ada istighosah bersama kirim do’a ke sesepuh desa,” katanya.
Ia berharap Tradisi Ruwah Dusun Podokaton Kedungcangkring Jabon ini terus dilestarikan. “Budaya kita, kalau bukan kita sendiri siapa yang melestarikan. Jangan menunggu dilestarikan oleh orang lain. Lebih baik kita sendiri yang melestarikan, karena warga kita sendiri yang lebih paham kondisinya,” terang Cak Nur_sapaan akrabnya.
Kegiatan tersebut diawali dengan acara Khotmil Qur’an, Ruwah Dusun, Istiqosah kirim doa leluhur, campur sari dangdutan, Tari Ngremo dan ditutup dengan pagelaran wayang kulit, Ki Dalang Said Wibowo dari Jombang. Menurutnya, sebagai contoh kegiatan positif yang pertama memperkuat silahturahim, kirim doa kepada keleluhur, bisa mencari suritauladan dari para pendahulu pejuang desa.
“Desa Kedungcangkring ibaratnya kalo di Arab, adalah desa ini seperti Makkahnya. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan penerangan ilmu agama, lahir di Desa Kedungcangkring ini. Saya juga berpesan, dengan diadakan Ruwah Dusun, langkah kedepan masyarakat tidak akan keliru, karena sudah mengetahui bagaimana perjuangan para pendahulu untuk memantapkan, membangun Desa Kedungcangring secara gotong royong,” pesan Cak Nur. [Achmad Suprayogi]

Tags: